Pencarian Maura
Di sebuah ruangan bernuansa putih dengan aroma khas obat-obatan yang sangat kuat. Terbaring seorang wanita paruh baya di ranjang pesakitannya. Tubuhnya terlihat begitu ringkih, wajahnya tampak pucat. Ditangan kirinya terpasang selang infus, beberapa alat penunjang kehidupan juga menempel pada tubuhnya.
Tak jauh dari tempatnya, seorang gadis muda tengah sibuk dengan beberapa berkas milik pasien yang akan di tanganinya esok hari.
''Maura....''
Maura mengalihkan perhatiannya, dilihatnya jemari ibunya bergerak pelan. Dia segera menghampiri.
''Bu....''
''Maura....''
''Aku disini, Bu.'' Maura menggenggam lembut jemari itu.
''Maura.'' Riyana terus memanggil putrinya dengan mata terpejam.
''Maura disini, Bu,'' bisik Maura di telinga ibunya.
Perlahan-lahan, Riyana mulai membuka mata. Senyum manis putrinya menyapa penglihatannya untuk pertama kali.
''Akhirnya, Ibu sadar,'' kata Maura, binar bahagia terpancar jelas di mata gadis itu.
''Maura, putriku.'' Riyana mengusap lembut pipi halus putrinya, ''Ibu ingin memberitahu sebuah kebenaran,'' ucap Riyana dengan suara lemahnya.
Maura mengernyit bingung. ''Apa, Bu?''
''Ayahmu....''
Maura tertegun sejenak, berbagai pertanyaan terlintas dalam benaknya. Kenapa ibunya tiba-tiba membahas ini? Padahal, pembahasan inilah selalu di hindarinya.
Setiap kali, Maura bertanya mengenai keberadaan ayahnya. Riyana selalu berpaling, kadang berpura-pura tidak mendengar, kadang langsung mengalihkan pembicaraan kearah lain.
Sampai pernah, suatu ketika Maura marah kepada ibunya. Kenapa dia tidak boleh tahu tentang ayahnya sendiri? Apa ayahnya sosok yang bejat yang tidak mau mengakui dirinya sebagai anak. Itu dia lakukan agar Riyana marah, lalu memberitahu semuanya. Tapi tetap saja, sia-sia. Ibunya malah pergi meninggalkan dirinya tanpa sepatah katapun
''Ibu di periksa dulu, ya. Aku panggilkan temanku,'' ucap Maura untuk mengalihkan pembicaraan.
Menurutnya, pembahasan ini terlalu berat. Kondisi Riyana masih lemah, dia tidak ingin terjadi apa-apa pada ibunya.
Riyana segera menahan lengan putrinya. ''Ayahmu a-da di Jakarta, te-mu-i dia. Ba-wa serta ko-tak yang ibu simpan di lemari. D-dia pasti akan me-ngena-limu.'' Dia berucap dengan nafas yang mulai tersenggal.
''Kita temui ayah sama-sama. Yang terpenting ibu sehat dulu.'' Maura menggenggam lembut tangan pucat itu, tangan yang terasa sangat dingin menyapa kulitnya.
''Waktu ibu tidak banyak, Maura,'' kata Riyana dengan suara nyaris menghilang.
Dia semakin kesulitan bernafas.
''Bu!'' Maura berteriak dengan panik.
Dia segera menekan tombol yang ada di samping ranjang ibunya.
''Ibu harus bertahan. Jangan tinggalin Maura!'' Gadis itu mulai meneteskan airmatanya.
''Te-mui a-yah-mu.'' Riyana berpesan dengan nafas semakin tersenggal.
''Kita akan menemuinya sama-sama. Ibu harus sehat!'' Maura masih bersikukuh.
''Ada apa, Ra?'' Suara Alvaro mengalihkan perhatian gadis itu.
''Tolong, tolong ibuku. Selamatkan dia, Al!'' pinta Maura dengan air mata yang sudah mengalir deras di pipinya. Kepanikan terlihat sangat jelas di wajahnya.
Alvaro segera melakukan tugasnya. Hingga, bunyi nyaring sebuah monitor mengejutkan semua yang berada disana.
''IBU!''
''Sabar, Ra. Tuhan lebih menyayanginya.'' Alvaro merangkul gadis itu untuk menenangkannya.
Maura segera memeluk tubuh yang sudah tak bernyawa itu, menumpahkan semua tangisnya disana. Ia tidak menyangka, akan kehilangan keluarga yang paling dia sayangi, secepat ini.
''Kenapa ibu tega, meninggalkan aku sendiri?'' jerit Maura di sela tangisnya yang begitu pilu.
''Sabar, Ra. Kamu harus ikhlas! Ibumu sudah tenang.''
...----------------...
Maura mengusap papan kayu yang bertuliskan nama ibunya. Air matanya kembali menetes saat melihat gundukan tanah yang ditaburi bunga-bunga. Dia masih tidak percaya Riyana telah pergi untuk selamanya.
''Maura, ayo pulang! Kamu tidak sendiri, Nak. Kamu masih punya ayah sama bunda,'' bujuk Yunita, orang tua asuhnya.
''Benar, Maura. Kami akan selalu bersamamu. Kamu sudah kami anggap anak kandung sendiri.'' Mahesa ikut bersuara, agar Maura mau diajak pulang karena hari mulai beranjak malam.
Maura menatap pasangan paruh baya itu bergantian. Yunita memberikan senyum tulus yang begitu menenangkan. Lalu, kembali menatap tempat peristirahatan terakhir ibunya. Dia masih tidak rela untuk meninggalkannya.
''Maura, ibumu pasti sangat sedih melihatmu seperti ini. Apa kamu mau membuat ibumu bersedih?'' Yunita dengan sabar membujuk anak angkatnya.
Maura menggeleng pelan.
''Kita pulang, ya. Do'akan ibu dari rumah, hanya itu yang di butuhkan ibu saat ini. Apalagi dari anak gadis kesayangannya, dia pasti senang,'' kata Yunita yang berusaha menghibur Maura.
''Kita pulang, ya,'' ajak Mahesa.
Maura mengangguk pelan. Dia di bantu berdiri oleh ibu angkatnya dan mulai meninggalkan pusara ibunya.
...----------------...
Maura melangkah pelan, memasuki rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya bersama Riyana. Sunyi, itu yang dia rasakan. Tidak ada lagi senyum hangat ibunya. Yang biasa di tunjukkan setiap kali dia pulang kerja.
Perhatian-perhatian kecil dari ibunya terlintas dalam pikirannya. Mulai dari membangunkan dirinya yang susah bangun, mengingatkan dirinya untuk mengisi perut saat sedang bekerja, jangan terlalu memforsir tenaga, semampunya saja dan masih banyak lagi. Semua itu terlintas seperti kaset rusak dalam benaknya
Maura kembali menagis tergugu dalam kesendiriannya. Dia meraih figura kecil, potret kebersamaannya bersama sang ibu. Disana dia memeluk Riyana dari belakang, senyum bahagia terlukis di bibir keduanya.
''Kenapa ibu pergi secepat ini? hiks...." Maura memeluk erat figura itu.
'Ayahmu a-da di Jakarta, te-mu-i dia. Ba-wa serta ko-tak yang ibu simpan di lemari. D-dia pasti akan me-ngena-limu.'
Seolah mendapat bisikan, Maura segera menghapus air matanya. Kemudian melangkah menuju kamar ibunya.
Dia membongkar isi lemari untuk mencari kotak yang di maksud. Dan ketemu, sebuah kotak berwarna coklat berada di laci yang ada di dalam lemari itu. Maura mendudukkan dirinya di kasur, segera membukanya untuk melihat isinya.
Sebuah foto seorang laki-laki tengah memeluk wanita hamil berada di bagian paling atas. Dan wanita itu adalah Riyana semasa muda, bisa di pastikan yang sedang dikandung ibunya saat itu adalah dirinya. Bagian kedua, kotak beludru berwarna merah berisi satu set anting-anting beserta kalungnya. Kalung dengan liontin berbentuk mahkota seorang ratu dengan hiasan batu safir di tengahnya. Hiasan yang sama dengan warna senada juga menghiasi anting-antingnya.
Bagian ketiga berisi dua buah surat. Satu untuk dirinya dan satu lagi bertuliskan teruntuk suamiku.
Maura segera membuka surat yang ditujukan kepadanya.
Maura putriku,
Mungkin saat kau membaca surat ini, ibu sudah tidak bisa menemanimu lagi, Sayang. Maafkan ibu, jika selama ini ibu selalu berpaling pura-pura tidak tahu, selalu menghindar. Ketika kamu menanyakan tentang ayahmu.
Bukan maksud ibu untuk memisahkan kalian. Ibu juga rindu dengannya. Tapi, Ibu mempunyai alasan tersendiri, kenapa ibu melakukan ini? Itu semua semata-mata demi keselamatanmu, Sayang.
Ayahmu mempunyai banyak musuh, kejadian dua puluh lima tahun silam hampir membuat ibu kehilanganmu. Maafkan Ibu....
Ibu akan memberi sedikit gambaran tentang ayahmu. Bramasta Haydar, dia orang yang tampan, lemah lembut dan penyayang. Dia selalu memperlakukan ibu sebagai ratunya. Terlebih, saat dia mengetahui ibu tengah mengandung dirimu. Dia teramat bahagia, hingga menitikkan air mata.
Percayalah, Maura.... Ayahmu juga sangat menyayangimu. Dia pasti akan bahagia, bila bertemu dengan putrinya.
Temui dia, Maura. Jln. xxx Perumahan Cempaka Putih. No. 28. Jakarta Pusat.
Selalu berhati-hati, Sayang. Pakai kalung dan anting-anting itu! Tunjukkan kedua benda itu kepadanya. Dia akan langsung tahu, jika kau putriku.
^^^Salam sayang, Riyana^^^
Maura memeluk erat tulisan tangan ibunya. Lagi-lagi, air mata mengalir deras di pipinya yang seolah tiada habisnya.
'Iya, Bu. Maura akan menemui ayah sesuai permintaan ibu. Maura akan berusaha mencarinya,' batinnya.
''Tapi, bagaimana caranya? Aku tidak mungkin meninggalkan pekerjaanku disini. Aku tidak mau mengecewakan ayah dan bunda. Tanpa mereka, aku tidak akan bisa sampai pada titik ini.''
...----------------...
Perhatian!
Semua yang ada di dalam cerita ini hanya fiktif belaka ya, Guys. Murni dari otak cetek author.
Semoga, kalian tidak pernah bosan dengan karya Author Remahan ini.
Selamat menikmati, kek makanan aja, hehe..., membaca maksudnya. Semoga terhibur...
Babay....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Melisa Author
Hehehe .. Mbak Miss 👋 hadirrrr!!!
2023-01-14
1
Susana
Hadir, Kak. 🤚
Langsung mewek. 😭😭😭
2022-12-19
1
Zainab ddi
😭😭😭awal ceritanya
2022-10-26
1