Emran mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi, tatapannya menajam ke depan. Entah kenapa, ada rasa tidak terima mendengar gadis pujaannya dituduh seperti itu. Kesal, marah, geram menjadi satu, meskipun yang mengatakan hal itu ibunya sendiri.
Saat tiba di parkiran rumah sakit, dia melihat Maura tengah berjalan membelakanginya bersama pria yang ia anggap sebagai saingannya, Rayyan. Dari arah itu, Emran bisa melihat Maura menanggapi setiap apa yang di ucapkan pria itu. Sesekali, wanita itu juga tertawa.
Rasa panas dalam dadanya semakin bertambah bagaikan bara yang di siram bensin. Hawa panas itu menjalar ke seluruh tubuhnya hingga ubun-ubun, mata memerah, rahang mengeras dan tangan terkepal kuat. Emran bergegas menghampiri Maura, lalu menarik paksa tangan gadis itu.
"Em, ada apa?" tanya Maura dengan wajah bingungnya.
"Emran, lepas!'' Gadis itu berusaha memberontak melepas belitan kuat itu.
Tak dapat dipungkiri cengkraman tangan itu begitu kuat hingga menimbulkan rasa panas disana.
"Emran, lepas! Kau menyakitiku,'' teriak Maura.
Pekikan keras itu, berhasil menarik kesadaran Emran. Dia menghentikan langkahnya, lalu melepasnya perlahan.
"Maaf,'' kata Emran dengan nada rendahnya.
"Kamu kenapa, sih? Datang-datang main tarik. Lihatlah sampai membekas seperti ini." Maura menunjukkan pergelangan tangannya yang memerah.
''Aku minta maaf."
''Kamu gak apa-apa, Ra." Rayyan menghampirinya dengan raut khawatirnya.
Maura mengangguk menanggapi.
"Aku permisi, sebentar lagi ada jadwal operasi,'' pamit Maura, kemudian meninggalkan kedua pria itu begitu saja.
Melihat itupun, Rayyan juga berniat pergi dari sana tapi suara dingin Emran menghentikan langkahnya.
''Jauhi, Maura.''
''Ada hak apa kau melarangku?" tanya Rayyan tanpa membalikkan punggungnya.
''Tidak usah banyak tanya. Jauhi saja gadis itu karena dia milikku." Nada bicaranya semakin dingin.
"Wohoo, apa kau juga menyukainya?" Rayyan berbalik arah, kemudian berdiri tepat di depan pria dingin itu.
"Sayangnya, aku juga menginginkannya menjadi milikku."
Tanpa rasa takut, Rayyan membalas tatapan tajam itu. Dia tidak peduli yang berada di hadapannya ini pimpinan rumah sakit tempatnya bekerja. Pemimpin yang baik tidak akan mencampur adukkan urusan pribadi dengan pekerjaan, bukan? batinnya jumawa.
Toh, dia juga masih mempunyai usaha sampingan selain profesinya ini.
''Kau-''
Emran menunjuk marah tepat di muka pria tengil itu.
"Kita bersaing secara sehat. Biar Maura sendiri yang menentukan pilihannya nanti."
''Aku terima tantanganmu."
...----------------...
Selepas jam kerja usai, Rayyan berniat menemui Maura di ruangannya. Tapi, belum sampai tempat tujuannya. Dia melihat Maura berjalan tergesa menuju ke suatu tempat. Keningnya berkerut dalam, ketika tempat yang di tuju gadis itu adalah ruangan pimpinan rumah sakit ini.
Dengan mengendap-endap, Rayyan membuntuti langkah Maura karena penasaran apa yang akan dilakukan oleh gadis itu.
"Mau apa dia kemari?''
"Permisi."
Suara Maura di tangkap oleh indra pendengarannya
Rayyan semakin mendekat kearah pintu untuk menguping pembicaraan mereka. Beruntung pintunya tidak di tutup sempurna oleh gadis itu, jadi dia bisa mendengar suara-suara di dalam sana.
''Ada apa, Maura? Sampai repot-repot mendatangiku kemari."
''Ini punyamu ketinggalan.'' Maura menyodorkan benda mewah itu ke dekat Emran.
''Pantas tadi ku cari-cari tidak ada. Ternyata, ketinggalan di tempatmu."
''Terimakasih untuk semalam, kamu bersedia menginap di tempatku yang sempit. Pasti kamu merasa tidak nyaman. Lain kali, tidak usah seperti itu. Aku sudah terbiasa sendiri."
''Kamu tidak usah sungkan. Aku yang mau dengan sukarela. Aku hanya tidak tega meninggalkan seorang gadis tinggal sendirian di malam hari.''
Rayyan sedikit terkejut mendengarnya. ''Sejauh apa hubungan mereka? Sampai Emran pakai acara menginap segala di tempat Maura."
"Si*l! Aku kalah start. Ini tidak bisa di biarkan. Aku yang lebih dulu mengincarnya."
Rayyan segera pergi meninggalkan tempat itu sebelum ada yang melihat aksinya .
...----------------...
''Ra,'' panggil Rayyan dari dalam mobilnya.
Maura mengalihkan perhatiannya dari layar ponselnya. Saat ini, dia berada di halte tak jauh dari rumah sakit untuk menunggu ojek pesanannya.
''Ya.''
"Naiklah, biar ku antar," titah Rayyan.
''Tapi aku udah pesan ojol," kata Maura dengan menunjukkan layar ponselnya.
"Cancel ajalah, mau hujan ini. Nanti kamu bisa masuk angin."
Dan benar saja, setelah Rayyan mengatakan itu. Suara petir menggelegar menyapa indra pendengaran Maura. Tak berselang lama, hujan turun dengan lebatnya.
Tanpa berfikir panjang, gadis itu langsung membuka pintu, lalu duduk tepat di samping kemudi.
"Untung ada kamu, Ray. Kalau tidak bisa basah kuyup aku. Mana aku paling tidak tahan dengan hujan," ucap Maura sambil mengusap tangannya yang sedikit basah terkena air tadi.
"Masa sih?"
"Iya, dulu aku pernah pulang sekolah kehujanan. Sorenya langsung demam plus batuk pilek."
Seketika, pria itu teringat dengan omnya di rumah. Omnya juga memiliki kebiasaan yang sama seperti gadis itu.
''Kamu seperti om ku saja, Ra," celetuk Rayyan.
''Dia juga seperti itu, langsung sakit tiap kali kena hujan, bahkan sampai demam berhari-hari."
Ada perasaan aneh yang merasuk dalam hati Maura setelah mendengar itu. Kenapa pria ini selalu menyamakan dirinya dengan orang yang dia sebut om. Sempat terbesit dalam hatinya, jika orang itu adalah ayahnya. Tapi sedetik kemudian, dia menyangkal keras pikiran itu.
''Mungkin hanya kebetulan," pikirnya.
''Dimana tempat tinggalmu, Ra?"
Suara Rayyan membuyarkan lamunan gadis itu.
"Eh, apa, Ray?''
"Tempat tinggalmu, di mana?'' Rayyan mengulang pertanyaannya.
''Oh, itu perempatan ke kiri ada apartemen kanan jalan, disitu aku tinggal." Maura memberi petunjuk pada pemuda di sampingnya.
''Oke.''
Beberapa menit kemudian, mobil yang di kendarai Rayyan tampak berhenti di depan sebuah gerbang.
"Hujan masih lumayan deras, Ra. Ini aku ada payung, kamu pakai saja." Rayyan memberikan sebuah payung berwarna abu yang sempat diambil di jok belakang.
''Terimakasih. Aku pinjam dulu, ya. Besok ku kembalikan," ucap Maura.
"Ra, tunggu!" Rayyan mencekal tangan Maura yang ingin membuka pintu.
"Ya?''
"Aku senang, kamu tidak jutek lagi sama aku. Nada bicaramu juga lebih bersahabat dari sebelumnya."
Gadis itu hanya menanggapi dengan senyum manisnya.
"Aku juga minta maaf. Kemarin-kemarin, aku selalu berkata kasar padamu. Harap maklum, itu termasuk salah satu watakku."
''Tanpa kamu meminta maaf pun aku sudah memaafkan. Karena aku mencintaimu, Ra." Rayyan menatap hangat wanita di sampingnya.
Maura cukup terkejut mendengarnya, tapi dia berusaha untuk bersikap biasa saja.
"Aku serius, Ra. Aku sudah menyukaimu sejak pertama melihatmu,'' sambungnya untuk meyakinkan gadis itu.
''Aku harap kau mau menerima dan membalas perasaanku,'' kata Rayyan dengan menggenggam lembut tangan Maura.
"Maaf, Rayyan. Aku tidak bisa."
Perlahan, Maura menarik tangannya yang di genggam pria itu.
''Kenapa, Ra? Apa karena Emran?''
Sorot kekecewaan tergambar jelas di mata Rayyan.
"Bukan."
''Untuk saat ini, menjalin asmara bukan prioritasku. Itu urutan kesekian dalam hidupku. Sebenarnya, tujuanku pindah kemari untuk mencari seseorang. Dan aku ingin fokus pada pencarian ku. Jadi, maaf aku tidak bisa memenuhi permintaanmu, Ray. Aku permisi...."
Maura segera membuka pintu, lalu membuka payungnya.
''Terimakasih untuk tumpangannya, hati-hati," pesannya sebelum meninggalkan pemuda itu.
Rayyan hanya bisa menatap nanar punggung berambut panjang yang semakin menjauh.
''Begini, rasanya kalah sebelum berperang. Tapi, aku tidak akan menyerah, Maura. Aku akan terus berusaha merebut hatimu, meski ribuan kali kau menolak ku."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments