Divia mendatangi rumah sakit milik keluarganya. Yang mana, Emran menjadi pimpinan tertinggi disana. Banyak karyawan menunduk hormat ketika istri pemilik tempat mereka bekerja melintas di hadapan mereka dengan gaya angkuhnya. Seorang pria paruh baya menghampiri wanita paruh baya itu, lalu membawanya ke sebuah ruangan yang memang di khususkan untuk tamu-tamu penting.
''Ada perihal apa, hingga Nyonya Divia berkunjung tanpa ada pemberitahuan terlebih dahulu. Apa mungkin ada sesuatu yang mendesak?'' tanya pria itu penuh kesopanan.
''Aku ingin bertemu dengan dokter pindahan bernama Maura.''
Pria itu tampak berfikir sejenak, kemudian teringat akan nama yang disebut itu.
''Oh, Dokter Maura. Mohon tunggu sebentar, Nyonya. Akan saya panggilkan terlebih dulu," pamitnya.
Divia hanya mengangguk tanpa berniat menjawab sepatah katapun.
Tak berselang lama, pria itu kembali dengan membawa seorang wanita muda.
''Permisi, Nyonya."
Divia mengalihkan pandangannya, netranya memindai penampilan gadis itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki. ''Kenapa bukan seseorang yang seperti di foto yang sering dikirimkan orang suruhannya," batinnya.
''Kau yang bernama Maura?"
''Bukan, Nyonya. Saya Mira—Asistennya, saat ini Dokter Maura tengah menjalani masa pemulihan akibat patah tulang yang disebabkan kecelakaan beberapa waktu yang lalu. Bila Anda ada sesuatu yang penting, ingin disampaikan. Bisa melalui saya, Nyonya," papar gadis itu dengan sopan.
''Tidak perlu. Aku hanya ingin berbicara empat mata langsung dengan wanita itu," balas Divia dengan datar.
''Beri aku alamat tempat tinggalnya, aku akan menemuinya secara langsung."
Mira pun menyebut nama tempat tinggal beserta lantai dan nomor unitnya.
''"Kau boleh pergi."
''Baik, Nyonya. Permisi....''
Mira menghembuskan nafas lega setelah keluar dari ruangan itu. Suasana di dalam sana, seperti ruang persidangan yang akan menjatuhkan hukuman mati bagi terdakwanya. Sangat menegangkan.
''Ngomong-ngomong, ada apa si Nyonya mencari Mbak Maura?''
"Apa si Nyonya mengetahui kedekatan Dokter Emran dan Mbak Maura? Hih, kok ngeri sendiri ya.... Punya mama mertua jelmaan Nenek Lampir seperti itu."
"Jangan-jangan, si Nyonya gak merestui hubungan mereka. Biasanya sih, gitu. Biasalah orang kaya memang ribet masalah kasta selalu menjadi prioritas."
Gadis itu masih sibuk dengan dugaannya sendiri, di sepanjang lorong menuju ruang kerjanya, hingga tidak menyadari di hadapannya ada Rayyan yang menghadangnya dengan berkacak pinggang.
''Heh, ngelamun aja." Pria itu mendorong pelan kening Mira dengan jari telunjuknya.
''Apa sih, Dokter Rayyan. Dasar jelangkung! Bikin kaget orang aja kerjaannya," gerutu Mira dengan kekesalannya.
''Loe harus bantuin gue."
"Ap— Dokter! Main tarik aja," pekik Mira saat tangannya tiba-tiba ditarik paksa oleh pria itu.
...----------------...
"Anda siapa? Ada yang bisa saya bantu, Bu," sapa Maura saat melihat seorang wanita paruh baya bertamu ke tempat tinggalnya.
''Kau yang bernama Maura?" tanyanya dengan menatap intens wanita muda di depannya.
''Iya. Mari masuk, Bu. Lebih enak bicara di dalam. Tidak etis rasanya mengajak berbincang di depan pintu seperti ini."
Maura membuka lebar pintu unitnya, kemudian mempersilahkan tamunya masuk.
''Mau minum apa, Bu?" tanyanya untuk berbasa-basi.
''Tidak perlu! Aku tidak lama berada disini, bahkan aku tidak yakin melihat kondisimu yang seperti itu bisa melayani tamu dengan baik.'' Wanita itu berucap penuh kelembutan namun mampu menus*k jantung si pendengar. Tatapan sinisnya menjurus kearah belitan yang membelit tangan kanan gadis itu.
''Duduklah! Aku ingin berbicara empat mata denganmu."
Maura hanya bisa menurut, berusaha sabar menghadapi wanita sombong yang menjadi tamunya. ''Bukankah kita harus menghormati orang yang lebih tua, bukan?'' batinnya.
"Langsung saja, aku ingin kau menjauhi putraku," ucapnya penuh penekanan.
"Putra ibu." Maura membeo.
"Emran."
Kini, gadis itu sadar jika wanita yang berada di hadapannya ini adalah ibu Emran.
''Kau mengerti, 'kan? Maksudku, Gadis Muda. Jauhi putraku jika kau masih ingin bekerja di rumah sakit milik keluargaku. Wanita sepertimu tidak pantas untuk menjadi pendampingnya."
''Jangan pernah bermimpi! Upik Abu murahan sepertimu bisa naik kasta dengan menikahi pangeran tampan."
Maura semakin tak mengerti arah pembicaraan wanita itu.
''Apa maksud Anda menyebut saya seperti itu?'' tanyanya dengan nada tidak suka.
Divia melempar beberapa lembar foto ke hadapan gadis itu. Karena penasaran, Maura segera membuka kertas-kertas foto itu. Dia cukup terkejut ketika melihat beberapa potret dirinya bersama pria ia tolong tempo hari, terpampang nyata di sana. Bagaimana bisa wanita ini mendapatkan semua ini. Apa selama ini, ada orang yang diam-diam mengintainya. Berbagai dugaan berkelebat dalam benak Maura.
''I-ini, bagaimana bisa Anda mendapatkan semua ini?''
''Kenapa? Apa kau cukup terkejut, Maura?"
''Ini tidak seperti yang terlihat. Waktu itu...."
''Waktu itu kamu berkencan dengan pria itu. Benar, 'kan dugaanku?" Divia memotong cepat ucapan gadis itu.
Maura menggeleng keras. Bukan itu yang ingin dia katakan.
Divia hanya terkekeh sinis. " Mana ada maling ngaku? Yang ada penjara penuh."
''Sudahlah, sudah cukup aku menyita waktuku di tempat ini. Aku harap kau paham maksudku tanpa harus aku mengulanginya. Jauhi putraku!" Divia menekan kalimat terakhirnya.
''Tapi, Bu. Saya tidak memiliki hubungan apapun dengan Emran," sahut Maura.
Bagaimanapun juga, dia tidak ingin kesalahpahaman ini semakin parah.
''Wow, aku terkejut, Maura. Sedekat itu hubunganmu dengan putraku. Sehingga, kau lancang hanya memanggil nama pada pimpinan tertinggi tempatmu bekerja."
"Ku acungi jempol dengan murahnya dirimu ini." Divia menunjuk tubuh wanita di depannya dari atas hingga bawah, "pelet apa yang kau punya? Sampai-sampai putraku begitu tergila-gila padamu. Sebelumnya, dia tak pernah segila ini jika menyukai seorang wanita.''
''Saya semakin tidak memahami ucapan Anda, Bu. Saya benar-benar tidak memiliki hubungan apapun dengan putra ibu. Hanya sekedar dekat tidak lebih. Lagipula, saya juga tidak berminat sedikitpun untuk menjalin asmara dengan siapapun. Saya punya misi yang lebih penting dari sekedar urusan percintaan," tutur Maura panjang lebar, berharap tamunya ini mengerti.
"Kalau begitu, segera jauhi putraku! Jika kau masih dekat dengannya. Jangan salahkan aku bila aku akan menendangmu dari rumah sakit milik keluargaku."
Setelah mengatakan itu, Divia berlalu begitu saja tanpa memedulikan perasaan Maura.
Wanita itu hanya bisa terduduk lemas di posisinya. Kenapa dia mendapat masalah seperti ini, padahal dia tidak pernah menyalahi siapapun. Dia hanya ingin fokus pada pencariannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Evi
lanjut thoor...
sebentar lagi kebenaran akan terungkap??
2022-11-02
0