Hari ini, Maura berangkat lebih pagi dari biasanya. Dia ingin menikmati suasana sejuk pagi hari kota Jakarta, sekalian mencari sarapan. Waktu masih menunjukkan pukul 06.00. Masih banyak waktu untuk jalan-jalan sekalian olahraga.
Tin-tin-tin!
Maura terlonjak ketika mendengar suara klakson dari arah sampingnya. Sebuah mobil sedan berwarna hitam, berjalan sangat lambat mengiringi langkahnya.
''Dokter Emran,'' sapa Maura
''Hai,'' balas Emran diringi senyum termanisnya.
Senyum yang mampu menyihir seorang Maura. Sejurus kemudian, wanita itu menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri dari kekagumannya.
Maura menghentikan langkahnya, yang otomatis laju mobil itu ikut berhenti.
''Kenapa, dokter pagi-pagi sudah disini?'' tanya Maura.
''Apa ada larangan saya lewat sini?'
Bukan menjawab, Emran malah balik bertanya. Jangan lupakan tatapannya yang tajam menusuk.
''Bo-boleh.''
Maura selalu gugup, ketika ditatap seperti itu. Jantungnya pun berdetak lebih kencang dari sebelumnya.
''Ka-kalau begitu, sa-saya permisi.'' Maura memilih menghindar untuk menghilangkan kegugupannya
''Saya ingin mengajakmu sarapan,'' teriak Emran dari dalam mobil dan sedikit melongokkam kepalanya.
Suara itu berhasil menghentikan langkah Maura.
''Sa-saya, sudah sarapan,'' jawab Maura tanpa membalikkan tubuh, lalu mempercepat langkahnya.
''Saya tahu kamu berbohong!''
Entah sajak kapan, Emran sudah berada di samping Maura.
Pria itu langsung menarik tangan gadis itu, lalu membawanya ke dalam mobil.
''Saya tidak menerima penolakan.''
''Kita sarapan dimana?'' tanya Emran yang sudah melajukan mobilnya.
''Terserah dokter saja,'' lirih Maura.
''Panggil namaku saja. Tidak usah terlalu formal,'' balas Emran.
Setelahnya, hanya keheningan diantara mereka. Sesekali terdengar senandung lirih dari mulut dokter berkacamata itu.
Emran menghentikan mobilnya tepat di dekat gerobak penjual bubur ayam. Dia keluar lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Maura.
''Tidak usah seperti ini. Saya bisa sendiri, Dok. Eh, Em-ran,'' kata Maura hati-hati.
''Tidak apa-apa. Saya yang ingin memperlakukanmu secara istimewa.''
''Maksdunya?" sahut Maura.
''Sudahlah, kita sarapan dulu. Ini bubur langgananku. Rasanya lumayan enak,'' kata Emran yang seolah sedang mempromosikan dagangannya.
''Pak dokter bisa saja,'' ucap si abang bubur yang mendengar perkataan Emran.
''Tumben pak dokter bawa cewek. Pacarnya ya...,'' tebaknya.
''Bu....''
''Calon. Doakan saja.'' Emran menyela cepat ucapan gadis di sampingnya.
Maura yang mendengar itupun langsung menoleh, tatapannya seolah minta penjelasan dari pria berkacamata itu.
''Wah, pak dokter tokcer. Gak pernah gandeng cewek sekali gandengan langsung calon,'' sambut abang itu dengan riangnya.
''Saya bu....''
''Dua porsi biasa, Bang.''
Lagi dan lagi, Emran menyela ucapan Maura. Hingga gadis itu hanya bisa menghela nafas pasrah.
''Terserahmu sajalah, Pak Dokter,'' batin Maura.
...----------------...
Ruang makan kediaman Raychand.....
''Loh, ini si kakak kemana? Apa belum bangun? Tumben sekali,'' tanya Divia yang baru tiba, melihat masih ada satu kursi kosong.
''Ngacir dari pagi, Mam,'' jawab Emru yang sedang menikmati roti bakarnya.
''Kemana?'' tanya Divia lagi.
''Biasa orang kasmaran.''
''Sok tahu kamu.'' Raychand menimpali ucapan putra bungsunya dengan tangan masih membolak-balikan koran yang tengah ia baca.
''Bukan sok tahu, Pap. Tadi, pagi-pagi sekali kakak sudah rapi. Keluar rumah senyam-senyum sendiri mirip orang gila. Aku aja sampai gak disapa,'' sanggah Emru mencari pembenaran.
Divia terdiam mendengar perkataan yang keluar dari mulut putra bungsunya. Dalam hati menerka-nerka, pelet apa yang dimiliki gadis itu hingga putranya bertingkah aneh seperti itu
''Aku harus mencari tau,'' batin Divia.
''Mana makanan papa, Mam?''
Divia tersentak, ketika mendengar suara suaminya.
''Eh, iya, Pap.''
Dia segera mengambilkan nasi berserta lauknya untuk sang suami. Baru kemudian, mengambil untuk dirinya sendiri. Dan mereka memulai sarapannya.
''Mama mikirin apa sih? Pagi-pagi sudah melamun,'' tanya Raychand.
''Bukan apa-apa,'' elak Divia.
''Biarkan Emran mencari kebahagiaannya, Mam. Mama tidak usah terlalu ikut campur,'' ucap Raychand yang seolah bisa membaca pikiran istrinya.
Divia menghentikan kunyahannya, lalu menatap tajam suaminya.
''Mama tidak ikut campur. Hanya ingin memastikan, anak-anak mendapat wanita terbaik. Ingat, Pap. Bibit, bebet, bobot sangat penting untuk dijadikan patokan mencari mantu.''
''Iya, karena mama terlalu perfeksionis orangnya.'' Emru ikut menimpali pembicaraan orang tuanya.
''Aku dan kakak masih melajang di usia yang hampir kepala empat ini, juga karena mama selalu menolak wanita yang kita kenalkan ke mama,'' lanjutnya dengan kesal.
''Mama hanya ingin yang terbaik, Emru,'' sahut Divia tak kalah kesal.
''Sudah! Tidak baik berdebat di depan makanan.'' Raychand segera melerai perdebatan itu.
Karena jika di teruskan, ujung-ujungnya akan memicu pertengkaran ibu dan anak.
''Tapi, Pap...,'' kata Emru yang merasa tidak terima.
''Diam, Emru,'' tegas Raychand.
Emru menutup mulutnya rapat-rapat saat sang papa megeluarkan kata tegasnya.
...----------------...
"Emran, terimakasih untuk traktirannya pagi ini. Maaf sudah merepotkan, saya permisi."
Tanpa menunggu jawaban dari pria itu, Maura melenggang begitu saja.
"Tunggu!"
"Ya," sahut Maura tanpa berbalik arah.
"Mau ke rumah sakit, 'kan?" tanya Emran dengan mendekati gadis itu.
Maura mengangguk pelan.
"Biar ku antar! Kebetulan aku juga akan kesana," kata Emran tanpa mau dibantah.
"Tidak perlu, saya bisa sen...." Ucapan Maura terhenti saat melihat tatapan tajam pria di sampingnya.
Dia meneguk ludah kasar. "Kenapa tatapannya begitu mematikan?" bisiknya dalam hati.
Tanpa memerdulikan penolakan gadis itu, Emran segera menarik tangan Maura, lalu membawanya ke dalam mobil.
"Saya bisa naik taksi."
"Tidak ada bantahan!"
Suara berat itu berhasil membuat nyali Maura menciut. Dengan terpaksa, dia menuruti keinginan pemuda itu lagi.
Emran segera menyalakan mesin mobilnya, kemudian melajukan kendaraannya menuju tempat mereka bekerja.
"Emran," panggil Maura pelan.
"Hmmm."
"Aku mau berhenti agak jauh dari rumah sakit," pinta Maura.
"Kenapa?"
"Aku gak mau orang-orang salah paham dengan kita." Gadis itu menundukkan kepalanya.
"Biarkan saja! Tidak usah pedulikan omongan orang. Kita tidak minta makan sama mereka." Emran menjawab dengan santainya.
"Em...," kata Maura dengan tatapan memohon.
Niatnya hanya ingin menggoda, tapi kenapa setelah melihat Maura memohon seperti itu, Ia menjadi gemas sendiri.
"Seperti kucing kecil yang meminta pertolongan," batin Emran.
"Baiklah."
"Terimakasih," kata Maura, seulas senyum manis terbit di bibir mungilnya.
"Apa hanya itu yang bisa kau ucapkan."
"Maksudnya?"
"Sudahlah. Silahkan turun! sesuai permintaanmu, agak jauh dari rumah sakit."
Maura memperhatikan sekelilingnya. "Eh, iya. Permisi dan te...."
"Terimakasih." Emran menyela cepat ucapan gadis itu.
Mereka saling tatap sejenak, sebelum kemudian keduanya sama-sama tergelak.
"Sampai jumpa nanti."
Maura mengangguk dengan senyum manisnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
mastura librae
lnjut
2022-09-28
3