"Ya ampun, Mbak Maura! Darimana aja, sih?"
Kedatangan Maura disambut lengkingan keras dari sahabat sekaligus asistennya, Mira.
"Aku cariin dari tadi. Mana gak pamit kalau mau berangkat pagi. Aku bawakan sarapan buat mbak. Takutnya mbak belum makan," cerocos Mira.
Maura hanya menanggapi dengan senyum kecil. Beberapa hari tinggal bersama gadis ini, membuat ia semakin memahami karakternya. Gadis berisik, heboh, rempong dan ceriwis. Awalnya saja, Mira terlihat seperti wanita kalem tapi semakin kesini ternyata seperti itulah wataknya.
"Aku cuma pengen menikmati suasana sejuk kota besar. Mumpung masih pagi belum ada polusi."
"Terus, mbak dari mana aja, kok jam segini baru dateng?" tanya Mira dengan kekepoan maksimal.
"Nyari sarapan. Udah, ah mana jadwal hari ini?" Maura segera mengalihkan pembicaraan kearah lain, sebelum mulutnya keceplosan mengenai pertemuannya dengan Emran.
"Ini, hari ini sedikit free karena gak ada operasi, hanya dua orang yang ingin konsultasi." Mira menjelaskan dengan menyerahkan beberapa map.
Maura hanya mengangguk. Dia mulai mempelajari data pasien yang akan masuk penanganannya.
"Oh, ya, Mbak. Aku ada informasi penting buat mbak," ujar Mira tiba-tiba.
"Hmmm," sahut Maura tanpa mengalihkan pandangannya.
"Aku udah nemu titik lokasi alamat yang mbak cari."
Seketika wanita itu menghentikan pekerjaannya, lalu menatap serius kearah Mira.
"Aku dapat tadi pagi, makanya aku langsung mencari, Mbak. Taunya, yang dicari udah ngibrit duluan."
Maura membaca saksama tulisan tangan tertera di ponsel milik Mira. Dia juga memperhatikan secara teliti titik lokasinya.
"Ini akurat, 'kan, Mira?" tanya Maura memastikan.
"Seribu persen, soalnya temanku juga tinggal enggak jauh dari daerah itu."
Ada secercah harapan bagi Maura untuk misinya. Dia berharap bisa segera bertemu ayahnya.
"Kapan jadwal liburku, Mir?" tanya Maura.
"Sebentar." Mira mengutak-atik komputernya karena sebagian jadwal disimpan dalam bentuk dokumen.
"Akhir pekan. Tapi, Mbak juga harus siap ketika ada pasien darurat."
"Sip, kamu mau, 'kan nemenin aku?"
"Mau banget, Mbak. Sekalian healing," jawab Mira antusias.
"Kelihatan banget, sih. Kalau kurang piknik."
"Emang."
Mereka saling melempar candaan sebelum akhirnya melanjutkan kembali pekerjaannya.
...----------------...
Akhir pekan yang dinanti pun tiba. Maura dan Mira sudah siap untuk menuju titik lokasi yang diduga alamat rumah ayah kandung Maura.
Mereka sengaja berangkat pagi-pagi untuk menghindari macet jalanan ibu kota. Jika tidak macet perjalanan yang mereka tempuh sekitar setengah jam saja, tapi jika macet bisa lebih dari itu. Terlebih hari libur seperti ini.
"Pak cari jalan tercepat ke titik lokasi ya," pinta Mira ketika sudah berada didalam mobil.
"Siap, Neng."
Mobil melaju membelah jalanan kota yang masih tampak lengang. Setengah jam berkendara, mereka memasuki sebuah kawasan yang berada di daerah Menteng, lebih tepatnya berada di dekat Taman Suropati. Yang merupakan kawana elit di daerah itu.
Maura dan Mira berdecak kagum melihat bangunan-bangunan mewah yang terpampang nyata di depan matanya. Hunian yang mereka taksir rata-rata berkisar ratusan miliar.
"Kapan aku punya rumah seperti ini, auto jadi sultan aku, Mbak," celetuk Mira.
"Kalau alamat yang mbak cari berada di daerah sini. Berarti, ayah Mbak Maura orang kaya, dong."
Maura mengalihkan atensinya kepada gadis disampingnya.
"Aku gak tau. Ibu gak pernah cerita apapun soal ini. Dia hanya memberikan petunjuk berupa alamat, foto dan barang pemberian ayah." Maura berucap sendu.
"Tapi apapun itu aku akan menerima keadaan ayah. Entah kaya ataupun miskin. Aku ingin merasakan kasih sayang seorang ayah kandung."
Itulah keinginan Maura sejak dulu yang tak berani dia ungkap dihadapan sang ibu. Alasannya, karena tidak ingin membebani ibunya. Meskipun, dia juga sudah mendapat limpahan kasih sayang dari orang tua asuhnya tapi tetap saja, ada kehampaan di relung hatinya yang paling dalam.
"Kita sudah sampai, Neng." Suara sopir taksi memecah pembicaraan kedua gadis itu.
Mobil berhenti tepat di depan pos security komplek.
"Makasih ya, Pak. Bayarnya sesuai aplikasi," kata Mira sebelum turun dari mobil.
"Oke, Neng," jawab sooir dengan senyum ramahnya.
_____________
"Permisi, Pak," sapa Maura pada dua orang satpam berseragam coklat.
"Iya, ada bisa saya bantu, Neng," jawab salah satu satpam ber-name tage, Rusman.
"Saya mau tanya, apa benar ini Perunahan Cempaka Putih?"
"Betul, neng, betul."
Maura menghela nafas lega, dia tidak salah alamat.
"Apa bapak tau alamat ini?" Maura menunjukkan secarik kertas yang bertuliskan alamat yang dia cari.
"Oh, ini rumah milik seorang DPR wanita, Neng," jawab satpam itu.
Maura dan Mira saling pandang, ini rumah ayahnya, kenapa pemiliknya seorang wanita. Maura bertanya kepada Mira melalui tatapan matanya.
"Apa boleh saya bertemu dengan beliau?"
"Kalau boleh tau, neng ini siapanya pemilik rumah? Soalnya, disini tidak bisa sembarangan menerima tamu."
"Kita saudara jauhnya dari kampung, Pak. Ada hal penting yang perlu kita sampaikan." Mira menimpali.
Satpam itu tampak berfikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk menyetujui.
"Baiklah, mari saya antar."
Kedua gadis itu mengembangkan senyum sempurna. Mereka segera mengikuti langkah pria setengah baya itu.
"Ini rumahnya, maaf saya hanya bisa mengantar sampai disini."
"Terimakasih, Pak."
____________
"Permisi."
Maura memencet bel beberapa kali.
"Permisi."
Tak lama keluar seorang wanita paruh baya berdasrer lusuh menghampiri mereka.
"Cari siapa, Neng?" tanya wanita itu.
"Saya ingin bertemu dengan Tuan Bramasta Haidar, apa bisa, Bu?"
Wanita itu mengerutkan keningnya ketika mendengar nama yang tampak asing di telinganya.
"Pemilik rumah ini seorang wanita yang baru bercerai dengan suaminya, Neng. Tidak ada nama orang yang Eneng sebut tadi," jelas bibi itu.
"Mungkin, Enengnya salah alamat kali," lanjutnya lagi.
"Tidak kok, Bu. Ini buktinya...."
Maura menunjukkan secarik kertas yang sedari tadi dalam genggamannya.
Di bibi membaca pelan tulisan disana.
"Apa boleh saya bertemu dengan pemilik rumah, Bu?" tanya Maura dengan tatapan memelas.
Wanita itu bertekad dalam hati misi pencariannya hari ini harus membuahkan hasil.
Tak ada respon berarti dari wanita itu.
"Saya mohon, Bu. Izinkan saya bertemu dengan pemilik rumah, sebentar saja," pinta Maura dengan menangkupkan kedua tangannya.
"Ayolah, Bu. Izinkan. Kasihan teman saya ini jauh-jauh datang dari kampung hanya untuk mencari alamat ini," desak Mira.
"Baiklah, saya tanyakan dulu ke ibu,beliau bersedia atau tidak menerima tamu. Dan kertasnya biar saya bawa untuk dijadikan bukti," putus si bibi setelah berfikir ulang.
"Baik, ini, Bu." Maura menyerahkan yang diminta wanita itu.
Tak menunggu lama, wanita paruh baya itu keluar, lalu membuka pintu gerbang untuk kedua gadis itu.
"Mari, silahkan, Neng. Ibu menunggu di ruang tamu."
Maura dan Mira segera mengikuti langkah si bibi untuk bertemu dengan si empu rumah.
"Bu, ini perempuan smyang saya bilang tadi," ucap pada majikannya.
Tampak seorang wanita berusia empat puluh tahunan tengah duduk dengan anggun sembari meletakkan cangkir tehnya.
"Oh, iya. Mari silahkan duduk." Perempuan itu menyambut ramah kedatangan mereka.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Sebelumnya, saya minta maaf karena sudah mengganganggu waktu ibu. Saya benar-benar membutuhkan informasi ini. Jadi begini ... "
Maura menjelaskan secara runtut masalahnya dengan sejelas mungkin.
"Emmm, begitu. Sebenarnya, ini juga bukan asli rumah saya. Rumah ini di beli oleh ibu saya sekitar dua puluhan tahun lalu," jelas wanita itu.
"Jadi, ada kemungkinan pemilik rumah sebelum ibu adalah ayah saya?" tanya Maura dengan mata berbinar.
Wanita itu mengangguk.
"Kalau begitu, apa ibu mengenal pria ini?" Maura menunjukkan foto lawas yang sengaja dia bawa.
"Orang ini, seperti pernah melihat," gumamnya.
"Sebentar saya panggilkan ibu saya dulu. Barangkali, dia mengetahui."
Wanita itu tampak memasuki sebuah kamar. Tak lama setelahnya, dia keluar bersama seorang wanita tua yang tengah dituntun menuju tempat duduk.
Setelah memastikan, ibunya merasa nyaman. Wanita itu menunjukkan sebuah foto yang sebelumnya ditunjukkan oleh Maura.
"Apa ibu kenal laki-laki di foto ini?"
Mata tua itu seperti fokus mengamati gambar yang di berikan kepadanya.
"Ini, 'kan, Asta bersama Riyana istrinya?"
"Asta siapa, Bu?" tanya Wanita itu memastikan.
"Asta, Bramasta Haidar rekan bisnis ibu dulu. Kasihan dia, terpisah dengan istrinya yang tengah hamil. Entah, anak dan istrinya bisa selamat apa tidak." Wanita sepuh itu mengenang sosok pria yang pernah dia bantu dulu.
Maura tertegun mendengar hal itu.
"Jadi, nenek mengenal ayah saya?" Pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Maura .
Si nenek segera mengalihkan perhatiannya. Dia menatap lamat-lamat gadis yang berada tepat di hadapannya.
"Wajahmu, kenapa mirip sekali dengannya?" Nenek itu meraba wajah putih Maura.
"Saya putrinya, Nek. Sejak kecil saya tak pernah tau perihal ayah karena ibu menyebunyikan ini dengan alasan keselamatan saya. Sebab wasiat ibu, saya nekad mencarinya kesini," tutur Maura.
"Wasiat?"
Maura mengangguk. "Lebih tepatnya satu bulan lalu."
"Astaga! Bagaimana reaksi Asta mendengar ini, pasti sangat terpukul. Dia begitu menyayangi istrinya. Dia bahkan rela kehilangan semua kekayaannya untuk mencari istrinya hingga rela melepas rumah penuh kenangan ini untuk melanjutkan bisnisnya yang hampir gulug tikar waktu itu."
"Apa nenek tahu tempat tinggalnya sekarang?" Maura menatap penuh harap.
Nenek menggeleng pelan.
"Tapi saya tahu alamat kantornya," celetuk wanita muda yang berada di samping si nenek.
"Sebentar saya catatkan dulu."
Maura menghembuskan nafas lega. Perjuangannya tidak sia-sia, setidaknya ada petunjuk baru untuk misinya.
...----------------...
"Setelah ini, kita kemana, Mbak?"
Maura melirik jam di pergelangan tangannya.
"Kamu capek apa nggak?" Maura balik bertanya.
"Enggak."
"Kalau kita lanjut nyari, gimana? Mumpung masih jam segini."
"Ayo, deh. Aku pesankan taksi dulu ya," tawar Mira.
Maura hanya mengangguk saja.
Belum sampai taksi yang dipesan tiba, ponsel Maura tiba-tiba berbunyi petanda ada panggilan masuk.
"Hallo."
"Apa? Iya, baik. Saya segera kesana."
Panggilan pun berakhir.
"Ada apa, Mbak?"
"Kita tunda pencariannya. Ada pasien kecelakaan yang harus segera di tangani. Dokter Erwin sedang menangani pasien cangkok lain, tidak bisa di ganggu. Kita langsung ke rumah sakit saja," putus Maura.
"Baiklah."
Bersamaan dengan itu, taksi yang di pesan Mira pun tiba. Kedua gadis itu segera masuk dan segera pergi ke rumah sakit untuk tugas mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Qillah julyan
seru ,baru mampir thor..lanjut
2023-07-11
1