Rayyan termenung sendiri di teras belakang rumah, tatapan kosong ke depan memandang hamparan rerumputan hijau yang tengah di rapikan si tukang kebun. Berkali-kali, terdengar helaan nafas berat keluar dari bibir pria itu.
''Kenapa, kamu loyo begitu?''
Tak ada tanggapan karena pemuda itu masih setia dengan posisinya. Akhirnya, si Om mengikuti arah pandang keponakannya.
''Jangan bilang kamu naksir sama Mang Dadang,'' tebak pria paruh baya itu dengan menyebut nama salah satu pekerjanya.
Rayyan berdecak sebal. Darimana omnya mendapat pemikiran seperti itu.
''Aku masih normal, Om,'' jawab Rayyan dengan lesu.
''Lah, terus? Wong jelas-jelas kamu ngeliat Mang Dadang sampai gak berkedip begitu," kelakar si Om.
''Aku kalah sebelum perang, Om,'' kata Rayyan setelah terjadi keheningan beberapa saat.
Si Om mengalihkan perhatian dari koran yang dibaca.
''Sudah merdeka kok masih mikirin perang. Yang mesti di pikirin sekarang duit. Cari duit buat masa depan."
''Gini nih, ngobrol sama orang jaman old pikiran juga ikutan old.''
''Apa kamu bilang?'' Si Om melayangkan gulungan koran ke kepala belakang pria itu.
''Lagian, Om masa gak paham sama perumpamaan, sih," ucap Rayyan sambil mengusap kepalanya yang sedikit panas.
''Di tolak lagi."
Rayyan mengangguk dengan wajah murungnya.
''Cari yang lain. Wanita bukan hanya dia di dunia ini.''
''Hatiku mentok ke dia.''
''Perjuangkan! Laki kok mudah loyo.'' Si Om mencibir keponakannya.
''Memang apa alasan dia menolakmu? Jangan bilang karena laki-laki lain.''
''Bukan. Katanya dia ingin fokus sama pencariannya karena dia sedang mencari seseorang."
Sedetik kemudian, dia teringat sesuatu.
''Wanita itu juga memiliki kesamaan dengan Om. Dari segi wajah seperti om versi wanita, dia juga tidak tahan dengan air hujan, bisa langsung sakit katanya. Jangan-jangan, dia anak om.''
''Kalau dia anak om berarti kamu harus rela kehilangannya. Karena sampai kapanpun juga, kamu sama dia tidak bisa bersatu.''
Rayyan terbungkam dengan tebakannya sendiri. Merelakan, satu kata yang tidak ada dalam kamus hidupnya. Dia akan terus berjuang sampai titik darah penghabisan.
"Kok bisa gitu,'' sanggahnya yang tidak terima.
''Karena kamu anak dari adik laki-lakiku.''
...----------------...
DORR!
Teriakan keras berhasil mengagetkan Maura dari kegiatannya hingga dia harus mengusap dadanya sendiri.
''Issh, nyebelin! Bikin orang kaget aja," sungutnya.
''Habis serius amat sama laptop, ada orang masuk sampai gak sadar. Pacarnya ganti laptop ya, Mbak.''
Maura hanya menggeleng menanggapi celotehan gadis itu. Dia fokus kembali pada laman pencariannya, jarinya tampak menggeser kotak kecil yang terletak di bawah papan ketik layar lipat itu.
''Nyari apa, sih? Serius amat.''
Mira yang penasaran pun mendekat, lalu duduk di samping wanita itu.
"Mencari rute tercepat."
"Gila ini perusahaan gede banget."
''Mbak yakin mau mendatangi tempat ini?'' tanya Mira penuh keraguan.
''Yakin gak yakin harus yakin. Aku juga ingin bertemu ayahku.'' Maura menatap sendu ke depan.
''Rencananya, kapan mbak mau mendatangi tempat itu?''
''Nyari waktu senggang asal bukan weekend."
"Kenapa?"
"Kantor tutup, Mira," jawab Maura dengan gemas.
"Oh, Iya," cengirnya dengan menunjukkan deretan gigi putihnya.
Maura hanya menggelengkan kepalanya.
...----------------...
Akhir pekan adalah hari yang di tunggu para karyawan. Karena mereka bisa merehatkan sejenak tubuh terutama mata dari layar datar yang cukup membuat mata panas, bila terlalu lama melihatnya. Selain itu, mereka juga bisa menyegarkan otak dari deretan angka yang berjajar seperti barisan para semut dengan liburan bersama keluarga ataupun orang terdekat.
Seperti halnya Maura. Weekend ini, dia berniat olah raga meski sekedar jogging di taman yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
Dia mulai melakukan beberapa gerakan pemanasan agar otot-ototnya tidak kaku, kemudian mulai berlari-lari kecil mengelilingi taman yang tidak terlalu luas itu.
Di putaran ketiga, pendengarannya menangkap tawa riang seorang gadis kecil yang tengah diajari naik sepeda oleh ayahnya. Maura menghentikan kegiatannya, memilih fokus memperhatikan interaksi anak dan ayah itu.
"Ayo, Dek. Pasti bisa!" ucap si ayah untuk menyemangati putrinya.
Gadis kecil itu berusaha mempertahankan keseimbangannya agar tidak terjatuh dari sepeda kecil tanpa dua roda pembantu.
"Ayah, jangan dilepas adik takut," rengek gadis berkuncir dua tersebut.
"Tidak akan jatuh, ayah ada di dekatmu." Si ayah berusaha menenangkan putrinya.
"Hati-hati, Sayang. Adek pasti bisa."
Terdengar pekikan seorang wanita yang tak jauh darinya. Bisa dipastikan jika itu adalah ibu dari gadis itu.
Maura terus memperhatikannya interaksi keluarga kecil itu. Dalam hatinya berkata, betapa beruntungnya anak itu, bisa merasakan kasih sayang seorang ayah sedari kecil. Tidak seperti dirinya.
Tak lama kemudian, terdengar tangisan keras dari si anak. Rupanya, dia terjatuh hingga lututnya berdarah. Si ayah segera menolong putriya, lalu membawanya ke dekat si ibu. Tampak pria itu juga meniup luka pada lutut mungil itu.
Dan semua itu, tak lepas dari pengamatan Maura. Karena tak ingin terlalu larut dalam kesedihan, Maura memilih bergegas pulang meninggalkan kebahagiaan keluarga kecil yang selalu dia impikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Oz An
lanjut thor...
2022-10-25
1