Mentari bersinar begitu terik pada siang itu. Debu-debu jalanan bercampur polusi kendaraan seolah menjadi pelengkap panasnya jalanan Ibukota. Maura berjalan menyusuri trotoar, sesekali tampak menyeka keringat dengan punggung tangannya.
Hari ini, ada jadwal siang. Dan dia memilih berjalan kaki karena malas jika harus berdesakan menaiki angkutan umum. Toh, jarak tempat tinggal dan tempat kerjanya tidak terlalu jauh.
Pada saat dia berhenti di sebuah halte bus untuk berteduh, tanpa sengaja netranya melihat seorang pria paruh baya hendak menyeberang. Namun, pria itu sibuk dengan ponsel di telinga. Dari arah berlawanan dengan pria paruh baya itu, seorang pengendara sepeda motor sedang melaju dengan kecepatan tinggi. Tidak ada orang di sekitar yang menyadari termasuk pria paruh baya tersebut.
"Pak, awas!" teriak Maura.
Dia langsung lari secepat mungkin, lalu mendorong tubuh pria itu agar terhindar dari kecelakaan. Namun, nahas tubuhnya terpelanting ke tepi jalan karena ditabrak oleh si pengendara sepeda motor.
Mata pria paruh baya itu terbelalak karena terkejut. Dia langsung mematikan panggilan teleponnya secara sepihak, lalu berlari menolong wanita muda yang menjadi penyelamatnya. Sedangkan, si Pemotor lari tunggang langgang begitu saja tanpa berniat berhenti barang sejenak.
"Bagaimana kondisimu, Nak?" tanya pria itu sambil membantu Maura berdiri posisinya, lalu membawanya duduk di bangku halte yang terletak tidak jauh darinya.
Terdengar desisan pelan dari mulut gadis itu karena tangannya terasa nyeri yang tak tertahankan hingga jari-jarinya sulit di gerakkan. Tadi dia sempat menjadikan tangannya sebagai penyangga tubuhnya.
"Saya tidak apa-apa, Pak. Maaf saya langsung mendorong bapak tadi," kata Maura disela kesakitannya.
"Justru saya yang meminta maaf. Karena kecerobohan saya kamu terluka seperti ini," ucapnya merasa bersalah.
''Tidak apa-apa, Pak. Hanya luka kecil.'' Maura menjawab dengan senyumnya.
Pria itu tertegun melihat hal itu.
''Kenapa senyumnya begitu mirip," batinnya.
Dia menatap intens gadis muda di depannya. Jika dilihat-lihat wajahnya sangat mirip dengan seseorang semasa muda dulu. Dia tidak ingin asal menyimpulkan, mungkin saja wanita ini hanya mirip.
Bukankah di dunia ini ada tujuh orang yang bisa dikatakan mirip dengan kita. Entah itu fakta atau mitos, bahkan ada orang yang tidak memiliki ikatan darah sekalipun bisa mirip seperti anak kembar.
''Kalau boleh tau siapa namamu, Nak?''
"Saya Maura, Pak," jawab Maura penuh kesopanan.
"Nama saya Bram. Kalau kamu berkenan biarkan saya bertanggung jawab atas lukamu."
"Ini hanya luka kecil, Pak. Kebetulan, saya bekerja di rumah sakit daerah sini. Saya bisa mengobati sendiri." Maura menolak halus tawaran pria itu.
"Kalau begitu, tolong terima ini sebagai rasa terimakasih. Saya tidak ingin merasa bersalah atau punya hutang budi kepadamu." Bram menyelipkan beberapa lembar uang ke tangan Maura.
"Eh, tidak usah, Pak. Saya ikhlas. Bapak tidak perlu merasa seperti itu. Sesama manusia harus saling tolong-menolong, bukan?"
''Saya hanya berpesan agar bapak lebih berhati-hati lagi," sambung Maura.
"Baiklah. Tapi tolong izinkan saya untuk membantumu untuk sampai ke rumah sakit. Kebetulan mobil saya ada di dekat sini. Saya mohon untuk kali, tolong jangan menolak penawaran saya."
''Baiklah, Pak."
Beberapa menit kemudian, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan mereka. Karena sebelumnya, Bram sempat menghubungi sopir untuk segera menuju titik lokasi keberadaannya.
"Mari, saya bantu."
Bram memapah tubuh gadis itu hingga masuk ke dalam mobilnya.
Seorang wanita yang tak sengaja melihat itupun hanya memandang sinis penuh kebencian.
"Cih, dasar gadis murahan.''
...----------------...
''Ya ampun, kenapa sampai luka begini, Mbak?" Mira memekik heboh ketika melihat sahabatnya turun dari sebuah mobil mewah dengan dipapah seorang pria.
Kebetulan gadis itu hendak keluar untuk mencari makan siang. Mira memang memiliki jadwal berbeda dengan Maura. Dia masih menjalankan tugasnya sebagai perawat, selain menjadi asisten Maura
Wanita itu langsung mengambil alih tangan Maura, lalu mengalungkan ke pundaknya. Dia segera memapah gadis itu menuju sebuah ruangan bertuliskan UGD.
"Sebentar, aku panggilkan dokter sekalian ambil obat."
Tak berselang lama, Mira datang dengan langkah lebar bersama seorang dokter pria. Di tangannya membawa sekotak peralatan dan obat-obatan.
Si dokter mulai memeriksa keadaan gadis itu. Di mulai dari denyut nadi hingga mengambil foto rontgen untuk memastikan apakah ada tulang yang patah atau tidak.
Setelah menunggu beberapa waktu, si dokter kembali dengan membawa hasilnya.
"Bagaimana hasilnya, Dok?" tanya Bram.
"Ada retakan pada tulang tangan. Untuk sementara, Dokter Maura diharapkan agar tidak terlalu banyak bergerak dulu. Hanya retakan ringan jadi, saya pasangkan gips dan arm slim. Selebihnya, tidak ada yang perlu di khawatirkan. Dokter Maura harus istirahat total."
"Apa perlu dirawat, Dok?'' tanya Bram lagi.
Entah kenapa, dia merasa sangat mengkhawatirkan keadaan gadis ini. Ada perasaan aneh merasuk dalam hatinya, rasa gelisah yang sama saat dia kehilangan seseorang puluhan tahun yang lalu.
'''Tidak usah, Dok. Saya rawat jalan saja," jawab Maura cepat.
"Kenapa sampai seperti ini, Mbak? Mbak habis jatuh apa gimana?" Mira mengulangi pertanyaannya karena tak mendapat jawaban dari temannya itu.
"Dia terluka karena telah menyelamatkan saya." Suara bariton seseorang mengalihkan atensi gadis itu.
''Anda siapa?"
''Saya Bram. Saya mengantarnya kemari untuk bertanggungjawab."
Mira hanya mengangguk sembari melanjutkan kegiatannya memasang alat tangannya.
''Pelan-pelan, Mir," rintih Maura.
"Tahan, Mbak. Sebentar lagi selesai."
"Mbak yakin ingin beristirahat di rumah?"
Maura mengangguk yakin.
"Tapi dengan syarat mbak gak boleh ngapa-ngapain. Mbak harus istirahat," omel Mira seperti ibu yang mengomeli anaknya.
"Nanti aku buatkan surat izin untuk mbak. Biar jadwal operasi mbak dialihkan pada Dokter Erwin."
Maura mengangguk menyetujui. Tak dapat di pungkiri tangannya mulai terasa ngilu.
''Izinkan saya mengantarmu pulang,'' ujar Bram.
"Tidak usah, Pak. Saya bisa pesan taksi online. Takut merepotkan bapak."
"Tidak sama sekali. Kebetulan saya sedang senggang. Tolong, jangan menolak tawaran saya.''
"Iya, Mbak. Lebih baik Mbak pulang sama Pak Bram saja." Mira menimpali, ''saya titip sahabat saya ya, Pak. Kami tinggal di Apartemen yang ada di Jalan Kenanga," kata Mira.
''Baik saya bersedia mengantarnya."
Dengan terpaksa, Maura menyetujui tawaran itu meski ia merasa tak nyaman. Karena pria ini selalu menatap intens kearahnya. Tapi, Maura selalu berusaha untuk berfikiran positif.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Evi
ayah nya tu thoor semoga kebenaran cepat terungkap
2022-10-26
3
Oz An
Lanjut
2022-10-26
3