''Welcome to my home,'' teriak Mira begitu membuka pintu unitnya, ''tempatnya gak mewah tapi lumayan layak, Mbak.''
Maura meniti tempat yang akan dia tempati. Ruangan yang tidak terlalu luas. Terdapat dua buah kamar, dapur dengan kitchen set, yang menyatu dengan ruang televisi. Dan ada sekat kecil untuk ruang tamu.
''Gimana, Mbak Maura tertarik tinggal bareng aku?''
Maura menanggapi dengan senyum manisnya. ''Iya, tempatnya lumayan bagus, juga nyaman.''
Dia mendaratkan bobot tubuhnya pada sofa, kemudian di susul Mira yang duduk di sebelahnya.
''Mbak Maura kalau mau istirahat di kamar itu. Mau aku bantu menata barang-barang?'' Mira menawarkan diri.
''Nanti saja, Mir. Barang bawaanku juga tidak banyak,'' ucap Maura dengan memejamkan matanya.
Tak dapat di pungkiri, tubuhnya masih terasa lelah sisa perjalanan kemarin. Jika tidak teringat akan pekerjaannya, mungkin Maura tidak beranjak dari tempat tidur.
''Oh, ya, Mir. Ada yang ingin aku tanyakan.'' Maura merogoh saku tasnya.
''Kamu tahu alamat ini?'' tanya Maura dengan menyodorkan secarik kertas kehadapan Mira.
''Coba lihat, Mbak.'' Mira mendekatkan tubuhnya, lalu membaca tulisan yang ada di kertas itu.
''Ini lumayan jauh, Mbak. Kalau naik angkot mesti ganti dua kali. Tapi kalau mau cepat, bisa naik kereta listrik. Paling setengah jam-an. Itupun kita masih harus muter-muter mencari perumahan ini,'' tutur Mira.
''Aku juga kurang faham daerah sini. Coba besok aku tanyakan ke temen-temen. Barangkali ada yang tahu,'' sambungnya.
''Hemmm, iya, deh. Santai aja, enggak buru-buru juga, kok.''
''Kalau boleh tahu, ini alamat siapa, Mbak?'' tanya Mira yang mulai kepo.
Maura terdiam sejenak, memikirkan jawaban yang pas untuk menjawabnya. Apakah dia jujur saja? tanyanya dalam hati.
''Ini alamat ayah kandungku,'' lirih Maura.
''Sejak kecil aku tidak pernah tahu perihal ayahku. Ibuku menyembunyikan kenyataan ini, karena suatu alasan yang tak pernah ia beritahukan. Aku nekat mengajukan pindah tugas kemari juga demi ini, wasiat ibuku.'' Pandangan Maura berubah sendu.
''Jadi, ibunya mbak....''
''Ibuku sudah meninggal satu minggu yang lalu, sebab lemah jantung dan komplikasi yang dia derita.'' Maura menyergah ucapan gadis itu.
''Astaga, Mbak. Maaf...,'' kata Mira.
Dia merasa bersalah telah membuka kesedihan teman barunya.
''Tidak apa-apa, tidak usah merasa bersalah seperti itu. Aku sudah mengikhlaskan kepergiannya,'' kata Maura.
''Kamu sendiri, anak rantau atau asli orang sini?'' tanya Maura untuk mengalihkan pembicaraan, agar tidak terlalu canggung.
''Aku pindahan dari Makassar, Mbak.''
''Keluargamu?''
''Aku sebatang kara. Orang tuaku sudah meninggal, saat aku baru lulus SMA.'' Sorot mata Mira berubah sendu, matanya nampak berkaca-kaca, ''harta peninggalan orang tuaku, di kuasai paman dan bibiku. Dengan dalih, jika orang tuaku berhutang pada mereka.''
''Maaf, jadi curhat.'' Mira segera menghapus setetes airmata yang menitik di pipinya.
''Keluarkan, jika kamu ingin menangis. Jangan ditahan, agar bebanmu menjadi ringan.'' Maura merangkul pundak gadis di sampingnya.
''Nasib kita hampir sama, ya, Mir. Kamu mau, 'kan berteman dengan wanita tak ber-ayah sepertiku?'' tanya Mira.
''Apa, sih, Mbak? Ya maulah. Ada Mbak disini aku bakal punya teman dan gak kesepian lagi.''
Keduanya melanjutkan pembicaraan membahas banyak hal untuk mendekatkan diri satu sama lain. Kadang pula, di selipi canda tawa dalam pembicaraan mereka.
...----------------...
Hari ini, hari pertama Maura bekerja di rumah sakit itu. Sebagai orang baru, tentulah dia masih beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Dia melangkah ringan menyusuri lobby hingga koridor untuk sampai ke ruangannya. Senyum manis tak pernah pudar dari bibir yang sengaja di poles natural, saat menanggapi orang-orang yang menyapanya.
''Kamu dokter baru di rumah sakit ini?'' tanya seorang wanita berhijab yang mencegat langkahnya.
''I-iya,'' jawab Maura kikuk.
''Kenalin, aku Resty, dokter anestesi disini. Kamu dokter bedah, 'kan?''
Lagi-lagi, Maura mengangguk menanggapinya.
''Ke depan pasti kita sering kerja bareng, selamat bergabung, ya. Selamat bekerja, semoga betah, bye....'' Resty berlalu begitu saja, masuk ke ruangan yang terletak tak jauh dari ruangannya.
''Bye....''
Maura memasuki ruangannya, disana sudah ada Mira yang sudah standby, mempersiapkan segala sesuatu yang akan ia butuhkan.
''Pagi, Mir,'' sapa Maura.
''Pagi, Mbak. Maaf aku berangkat duluan, karena masih ada sesuatu yang mesti aku persiapkan.''
''Iya, enggak apa-apa.''
''Ini berkas-berkas pasien yang akan dioperasi nanti setelah makan siang.'' Mira menyerahkan setumpuk map kehadapan Maura.
''Sebanyak ini?'' tanya Maura.
''Iya, tapi sebagian ada berkas pasien yang ingin konsultasi saja. Terus yang warna kuning itu, untuk operasi besok pagi.'' Mira memberi penjelasan pada atasannya.
''Oh, oke. Kamu atur saja jadwal pasien yang ingin konsultasi sama saya,'' titah Maura yang mulai fokus dengan berkas di tangannya.
''Baik.''
Maura dan Mira disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Hingga, tanpa terasa sudah menunjukkan waktu makan siang.
''Mbak Maura ingin makan siang di kantin apa disini?'' tanya Mira sembari membereskan pekerjaannya.
''Emmm, di kantin saja. Sekalian aku mau melihat-lihat tempat ini,'' jawab Maura.
''Kamu mau, 'kan nemenin aku?''
''Boleh, Ayo...,'' ajak Mira.
''Aku seneng banget, punya atasan dan teman seperti Mbak,'' ucap Mira tiba-tiba.
Maura menoleh sekilas, kemudian melanjutkan langkahnya.
''Lah, atasanmu sebelum aku, bagaimana?''
''Galak, mana rada ganjen lagi. Pantas, jika dibilang tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi.'' Mira bergidik ngeri kala teringat atasan yang sebelumnya.
''Ada yang seperti itu?'' tanya Maura dengan ketidakpercayaannya.
Mira mengangguk mantap. ''Untung dia udah pensiun.''
Karena asik berbincang, tanpa terasa keduanya sampai ke tempat yang dituju.
''Mbak Maura tunggu disini, biar aku yang pesan,'' kata Mira.
''Mbak mau apa?'' tanyanya lagi
''Eh, gak usah. Aku pesan sendiri aja nanti ngerepotin,'' tolak Maura merasa tidak enak.
''Enggak ada penolakan. Mbak tunggu disini. Samaan punyaku aja, ya.''
Setelah mengatakan itu, Mira berlalu begitu saja dari adapan Maura tanpa mempedulikan protes dari gadis itu.
''Tapi....''
''Terserahmu lah, Mir. Kamu yang mau.'' Maura mendesah pasrah.
''Hai....''
Maura yang sibuk dengan ponselnya pun mendongak. Dia cukup terkejut mendapati pria menyebalkan yang di temuinya waktu itu, berada tepat di depannya.
''Astaga,'' keluh Maura, ''kenapa selalu ada kamu dimana-mana? Kamu seperti jelangkung. Datang gak dijemput pulang gak diantar,'' kesal Maura.
Rayyan menebar senyum menawannya, yang menurut Maura itu adalah senyum ter-menyebalkan.
''Kemarin dikata copet dan modus. Sekarang, jelangkung. Besok apalagi?''
''Maura Putri R.'' Rayyan mengeja name-tage yang bertengger di jas putih gadis itu.
''Ooo, jadi namamu Maura. Nama yang indah seindah parasnya.'' Rayyan mencoba merayu gadis cuek pujaan hatinya.
''Oh, God. Bisa tidak dia disingkirkan dari hidupku,'' keluh Maura.
''Kenapa?'' tanya Rayyan dengan tampang polosnya.
''Sepet liat mukamu.''
...----------------...
Maaf, jika terlalu bertele-tele ya, masih sesi perkenalan. Semoga kalian tidak bosan dengan alurnya.
Jangan lupa tinggalkan jejak....
Babay....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments
Jumi Saddah
go go semangat,,,
2022-10-23
1