''Woy, Ra! Bengong aja.'' teriakan Alvaro berhasil mengejutkan Maura yang tengah termenung sendiri di kantin rumah sakit.
''Ck, apa, sih? Ganggu ketenangan orang aja,'' decak Maura dengan kesalnya.
''Sudah, Ra. Sedih boleh tapi jangan keterusan. Kasihan ibumu disana,'' ujar Alvaro dengan menyeruput kopinya.
Maura menghela nafas. ''Bukan itu yang gue pikirin, Al.''
''Lha terus? Jelas-jelas murung gitu,'' sanggah pria berkacamata itu.
''Pesan terakhir ibu gue,'' lirih Maura, ''Gue diminta nyari ayah gue di Jakarta.''
''Ayah loe masih hidup, Ra?'' tanya Alvaro yang tak bisa menutupi keterkejutannya.
''Biasa aja kali, lebay loe.'' Maura merotasi bola matanya malas.
''Ya, tinggal cari, Ra. Gampang, 'kan?'' sahut Alvaro dengan entengnya.
''Kerjaan gue, gimana, Al? Gue gak mungkin ninggalin tanggung jawab gue gitu aja,'' kata Maura dengan kesalnya, ''Gue juga gak mau mengecewakan orang tua angkat gue yang udah usaha mati-matian, nyekolahin gue. Gue bisa sampai di titik ini juga karena mereka.''
''Coba loe buat pengajuan pindah tugas, deh, Ra.'' Alvaro memberi saran pada sahabatnya.
''Iya, kalau gue di tempatkan di Jakarta. Kalau di tempat lain? Pedalaman misalnya. Bukannya dekat malah jauh, Alvaro,'' sahut Maura.
''Iya juga, ya.'' Pemuda itu menggaruk sebelah alisnya.
Dia ikutan bingung mencarikan solusi untuk masalah sahabatnya.
''Gue ada tugas, pasien gue yang ada di ruang ICU sudah sadar,'' pamit Maura setelah memeriksa ponselnya.
Dia beranjak dari sana meninggalkan sang sahabat sendirian.
''Iya, fokus. Masalah loe pasti akan ada jalan keluarnya,'' pesan Alvaro sebelum Maura jauh darinya.
Gadis itu hanya melingkarkan jari telunjuk dan ibu jarinya, sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu kantin.
...----------------...
''Ra, Maura....''
Tok-tok-tok
''Ra....''
Tok-tok-tok
''Ra, gue punya berita penting!'' Alvaro terus berteriak sembari mengetuk kaca rumah sahabatnya.
''Astaga, Ra! Lu molor, ya? Tangan gue sampai pegel kagak di bukain,'' keluhnya frustasi.
''Ck, apa, sih, Alvaro! Gue masih ngantuk!'' Maura berteriak dari dalam kamarnya.
dia turun dari tempat tidur dengan muka bantalnya. Melangkah menuju pintu untuk membukakan sahabatnya yang terus berteriak seperti orang gila.
''Apa!'' sewot Maura dengan berkacak pinggang.
''Ya ampun, Maura. Sepuluh menit lebih gue gedor-gedor kaca rumah loe. Loe tidur apa mati, sih?'' balas Alvaro tak kalah kesalnya.
''Kalau nggak ingat masalah loe kemarin, ogah gue gedorin rumah loe, pagi-pagi buta begini,'' lanjutnya lagi masih dengan kekesalan yang sama.
''Gak usah berbelit-belit, Al. Buruan ada apa? Berita penting apa? Yang mau loe sampaikan ke gue,'' cecar Maura dengan tidak sabarnya.
''Gue habis baca pengumuman tadi, rumah sakit pusat membutuhkan tambahan tenaga medis. Mending loe buruan mengajukan diri, deh, Ra. Sebelum keduluan yang lain.''
''Loe serius, Al?'' Kantuknya langsung menghilang setelah mendengar berita ini.
''Duarius.''
''Rumah sakit pusat ada di Jakarta, 'kan?'' tanya Maura untuk memastikan.
Alvaro mengangguk dengan tampang polosnya.
''Oke, gue mau siap-siap ke rumah sakit. Gue harus dapatkan ini,'' kata Maura dengan antusias.
Bhakk!
Maura menutup pintu dengan kencang. Hingga, membuat pemuda itu terjengkit.
''Makasih, Alvaro!'' teriak Maura dari dalam.
''Iye,'' jawab Alvaro keki.
''Untung jantung gue sehat," gumamnya pelan sembari berlalu meninggalkan tempat tinggal sahabatnya.
...----------------...
''Permisi, Bu.'' Maura berucap sopan saat memasuki ruangan pimpinan rumah sakit tempatnya bekerja.
''Dokter Maura, silahkan duduk.'' Seorang perempuan paruh baya menyambut ramah kedatangan Maura.
''Ada yang bisa saya bantu?''
''Begini, Dok. Saya mendengar pengumuman dari salah satu rekan saya, mengenai rumah sakit pusat yang membutuhkan tambahan tenaga medis. Apa saya bisa mengajukan diri, Dok?''
''Tentu bisa, kebetulan belum ada yang mendaftar. Tapi, apa Dokter Maura yakin, mau dipindahkan kesana?''
''Sangat yakin, Dok,'' jawab Maura mantap.
''Baiklah, saya akan mengurus semuanya. Jika semua sudah rampung, Dokter Maura akan saya hubungi. Untuk sementara, tolong segera selesaikan tanggung jawab dokter disini,'' pinta Wanita itu.
''Baik, Dok. Terimakasih.''
Ada kelegaan dalam hati gadis itu, langkahnya untuk bertemu sang ayah semakin dekat.
'Bu, aku akan memenuhi permintaan ibu. Doakan aku,'' batin Maura.
...----------------...
Sepulang bekerja, Maura berinisiatif mengunjungi rumah orang tua angkatnya. Dia ingin memberitahu perihal kepindahannya ke Jakarta esok hari. Dia juga tidak menyangka, proses pemindahannya akan secepat ini. Padahal, baru tadi pagi dia mengajukan diri dan sorenya sudah mendapat kabar.
''Assalamu'alaikum....''
Maura memasuki ruang tamu yang tampak lengang, sepertinya ibu angkatnya sedang memasak di dapur.
''Bunda,'' panggil Maura.
''Eh, Maura, sini sayang. Kebetulan kamu kesini, bunda lagi buat kue.''
Maura menyalami tangan ibu angkatnya dan mulai membantu sedikit pekerjaan Yunita.
''Ayah ada, Bun?''
''Ada di belakang, kenapa?'' tanya Yunita karena merasa kedatangan anak angkatnya kali ini, ada sesuatu yang penting.
''Maura mau ngomong sesuatu sama kalian,'' tutur Maura.
''Ya sudah. Yuk, ke belakang,'' ajak Yunita setelah menyetel waktu pada ovennya.
''Yah.'' Yunita memanggil suaminya.
Mahesa yang merasa terpanggilpun menoleh. Senyumnya merekah saat melihat kedatangan anak angkatnya.
''Yah, Bun. Maura kemari mau pamitan sama kalian.'' Maura mengutarakan maksudnya dengan hati-hati, berharap ayah dan bundanya tidak tersinggung.
Pasangan paruh baya itu saling menatap satu sama lain.
''Ada apa, Ra?'' tanya Yunita.
''Maura dipindah tugas ke Jakarta, Bun. Dan besok pagi berangkatnya.''
''Kok mendadak?'' tanya Mahesa.
''Maura juga tidak menyangka, Yah. Akan secepat ini prosesnya. Padahal baru tadi pagi Maura mengajukan diri.''
''Ada apa, Ra? Cerita sama bunda. Pasti ada yang kamu sembunyikan dari kami,'' kata Yunita penuh kelembutan.
Maura menghela nafas panjang, pelan-pelan dia menceritakan tentang pesan terakhir Riyana mengenai keberadaan ayah kandungnya.
''Siapa nama ayahmu, Ra? Barangkali ayah mengenalnya. Ayah juga banyak kenalan di Jakarta sebelum pindah kemari,'' tanya Mahesa.
''Bramasta Haidar.''
Mahesa mengerutkan alisnya. Mencoba mengingat nama yang disebut anak angkatnya barusan.
''Ayah kenal?'' tanya Yunita dengan sejuta rasa penasarannya.
Mahesa menggelengkan kepalanya yang membuat istrinya langsung mencebikkan bibirnya.
''Sok tau. Dasar tukang kepo,'' cibir Yunita.
''Kamu beneran mau ninggalin bunda, Ra? Bunda bakal kesepian dong,'' kata Yunita dengan wajah murungnya.
Maura langsung menghampiri ibu angkatnya lalu memeluk lembut permpuan paruh baya itu.
''Maura janji, akan sering-sering mengunjungi ayah sama bunda.''
''Janji, ya?'' Yunita menyodorkan jari kelingkingnya dan dibalas tautan kelingking oleh Maura.
''Janji.''
''Berangakat jam berapa, Ra?'' tanya Mahesa.
''Pagi, Yah. Aku mau naik bus saja.''
''Ya sudah, besok ayah sama bunda akan mengantarmu,'' ucap Mahesa.
Maura mengembangkan senyumnya. ''Terimakasih, Yah....''
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 114 Episodes
Comments