Di sebuah ruangan bernuansa putih dengan aroma khas obat-obatan yang sangat kuat. Terbaring seorang wanita paruh baya di ranjang pesakitannya. Tubuhnya terlihat begitu ringkih, wajahnya tampak pucat. Ditangan kirinya terpasang selang infus, beberapa alat penunjang kehidupan juga menempel pada tubuhnya.
Tak jauh dari tempatnya, seorang gadis muda tengah sibuk dengan beberapa berkas milik pasien yang akan di tanganinya esok hari.
''Maura....''
Maura mengalihkan perhatiannya, dilihatnya jemari ibunya bergerak pelan. Dia segera menghampiri.
''Bu....''
''Maura....''
''Aku disini, Bu.'' Maura menggenggam lembut jemari itu.
''Maura.'' Riyana terus memanggil putrinya dengan mata terpejam.
''Maura disini, Bu,'' bisik Maura di telinga ibunya.
Perlahan-lahan, Riyana mulai membuka mata. Senyum manis putrinya menyapa penglihatannya untuk pertama kali.
''Akhirnya, Ibu sadar,'' kata Maura, binar bahagia terpancar jelas di mata gadis itu.
''Maura, putriku.'' Riyana mengusap lembut pipi halus putrinya, ''Ibu ingin memberitahu sebuah kebenaran,'' ucap Riyana dengan suara lemahnya.
Maura mengernyit bingung. ''Apa, Bu?''
''Ayahmu....''
Maura tertegun sejenak, berbagai pertanyaan terlintas dalam benaknya. Kenapa ibunya tiba-tiba membahas ini? Padahal, pembahasan inilah selalu di hindarinya.
Setiap kali, Maura bertanya mengenai keberadaan ayahnya. Riyana selalu berpaling, kadang berpura-pura tidak mendengar, kadang langsung mengalihkan pembicaraan kearah lain.
Sampai pernah, suatu ketika Maura marah kepada ibunya. Kenapa dia tidak boleh tahu tentang ayahnya sendiri? Apa ayahnya sosok yang bejat yang tidak mau mengakui dirinya sebagai anak. Itu dia lakukan agar Riyana marah, lalu memberitahu semuanya. Tapi tetap saja, sia-sia. Ibunya malah pergi meninggalkan dirinya tanpa sepatah katapun
''Ibu di periksa dulu, ya. Aku panggilkan temanku,'' ucap Maura untuk mengalihkan pembicaraan.
Menurutnya, pembahasan ini terlalu berat. Kondisi Riyana masih lemah, dia tidak ingin terjadi apa-apa pada ibunya.
Riyana segera menahan lengan putrinya. ''Ayahmu a-da di Jakarta, te-mu-i dia. Ba-wa serta ko-tak yang ibu simpan di lemari. D-dia pasti akan me-ngena-limu.'' Dia berucap dengan nafas yang mulai tersenggal.
''Kita temui ayah sama-sama. Yang terpenting ibu sehat dulu.'' Maura menggenggam lembut tangan pucat itu, tangan yang terasa sangat dingin menyapa kulitnya.
''Waktu ibu tidak banyak, Maura,'' kata Riyana dengan suara nyaris menghilang.
Dia semakin kesulitan bernafas.
''Bu!'' Maura berteriak dengan panik.
Dia segera menekan tombol yang ada di samping ranjang ibunya.
''Ibu harus bertahan. Jangan tinggalin Maura!'' Gadis itu mulai meneteskan airmatanya.
''Te-mui a-yah-mu.'' Riyana berpesan dengan nafas semakin tersenggal.
''Kita akan menemuinya sama-sama. Ibu harus sehat!'' Maura masih bersikukuh.
''Ada apa, Ra?'' Suara Alvaro mengalihkan perhatian gadis itu.
''Tolong, tolong ibuku. Selamatkan dia, Al!'' pinta Maura dengan air mata yang sudah mengalir deras di pipinya. Kepanikan terlihat sangat jelas di wajahnya.
Alvaro segera melakukan tugasnya. Hingga, bunyi nyaring sebuah monitor mengejutkan semua yang berada disana.
''IBU!''
''Sabar, Ra. Tuhan lebih menyayanginya.'' Alvaro merangkul gadis itu untuk menenangkannya.
Maura segera memeluk tubuh yang sudah tak bernyawa itu, menumpahkan semua tangisnya disana. Ia tidak menyangka, akan kehilangan keluarga yang paling dia sayangi, secepat ini.
''Kenapa ibu tega, meninggalkan aku sendiri?'' jerit Maura di sela tangisnya yang begitu pilu.
''Sabar, Ra. Kamu harus ikhlas! Ibumu sudah tenang.''
...----------------...
Maura mengusap papan kayu yang bertuliskan nama ibunya. Air matanya kembali menetes saat melihat gundukan tanah yang ditaburi bunga-bunga. Dia masih tidak percaya Riyana telah pergi untuk selamanya.
''Maura, ayo pulang! Kamu tidak sendiri, Nak. Kamu masih punya ayah sama bunda,'' bujuk Yunita, orang tua asuhnya.
''Benar, Maura. Kami akan selalu bersamamu. Kamu sudah kami anggap anak kandung sendiri.'' Mahesa ikut bersuara, agar Maura mau diajak pulang karena hari mulai beranjak malam.
Maura menatap pasangan paruh baya itu bergantian. Yunita memberikan senyum tulus yang begitu menenangkan. Lalu, kembali menatap tempat peristirahatan terakhir ibunya. Dia masih tidak rela untuk meninggalkannya.
''Maura, ibumu pasti sangat sedih melihatmu seperti ini. Apa kamu mau membuat ibumu bersedih?'' Yunita dengan sabar membujuk anak angkatnya.
Maura menggeleng pelan.
''Kita pulang, ya. Do'akan ibu dari rumah, hanya itu yang di butuhkan ibu saat ini. Apalagi dari anak gadis kesayangannya, dia pasti senang,'' kata Yunita yang berusaha menghibur Maura.
''Kita pulang, ya,'' ajak Mahesa.
Maura mengangguk pelan. Dia di bantu berdiri oleh ibu angkatnya dan mulai meninggalkan pusara ibunya.
...----------------...
Maura melangkah pelan, memasuki rumah yang selama ini menjadi tempat tinggalnya bersama Riyana. Sunyi, itu yang dia rasakan. Tidak ada lagi senyum hangat ibunya. Yang biasa di tunjukkan setiap kali dia pulang kerja.
Perhatian-perhatian kecil dari ibunya terlintas dalam pikirannya. Mulai dari membangunkan dirinya yang susah bangun, mengingatkan dirinya untuk mengisi perut saat sedang bekerja, jangan terlalu memforsir tenaga, semampunya saja dan masih banyak lagi. Semua itu terlintas seperti kaset rusak dalam benaknya
Maura kembali menagis tergugu dalam kesendiriannya. Dia meraih figura kecil, potret kebersamaannya bersama sang ibu. Disana dia memeluk Riyana dari belakang, senyum bahagia terlukis di bibir keduanya.
''Kenapa ibu pergi secepat ini? hiks...." Maura memeluk erat figura itu.
'Ayahmu a-da di Jakarta, te-mu-i dia. Ba-wa serta ko-tak yang ibu simpan di lemari. D-dia pasti akan me-ngena-limu.'
Seolah mendapat bisikan, Maura segera menghapus air matanya. Kemudian melangkah menuju kamar ibunya.
Dia membongkar isi lemari untuk mencari kotak yang di maksud. Dan ketemu, sebuah kotak berwarna coklat berada di laci yang ada di dalam lemari itu. Maura mendudukkan dirinya di kasur, segera membukanya untuk melihat isinya.
Sebuah foto seorang laki-laki tengah memeluk wanita hamil berada di bagian paling atas. Dan wanita itu adalah Riyana semasa muda, bisa di pastikan yang sedang dikandung ibunya saat itu adalah dirinya. Bagian kedua, kotak beludru berwarna merah berisi satu set anting-anting beserta kalungnya. Kalung dengan liontin berbentuk mahkota seorang ratu dengan hiasan batu safir di tengahnya. Hiasan yang sama dengan warna senada juga menghiasi anting-antingnya.
Bagian ketiga berisi dua buah surat. Satu untuk dirinya dan satu lagi bertuliskan teruntuk suamiku.
Maura segera membuka surat yang ditujukan kepadanya.
Maura putriku,
Mungkin saat kau membaca surat ini, ibu sudah tidak bisa menemanimu lagi, Sayang. Maafkan ibu, jika selama ini ibu selalu berpaling pura-pura tidak tahu, selalu menghindar. Ketika kamu menanyakan tentang ayahmu.
Bukan maksud ibu untuk memisahkan kalian. Ibu juga rindu dengannya. Tapi, Ibu mempunyai alasan tersendiri, kenapa ibu melakukan ini? Itu semua semata-mata demi keselamatanmu, Sayang.
Ayahmu mempunyai banyak musuh, kejadian dua puluh lima tahun silam hampir membuat ibu kehilanganmu. Maafkan Ibu....
Ibu akan memberi sedikit gambaran tentang ayahmu. Bramasta Haydar, dia orang yang tampan, lemah lembut dan penyayang. Dia selalu memperlakukan ibu sebagai ratunya. Terlebih, saat dia mengetahui ibu tengah mengandung dirimu. Dia teramat bahagia, hingga menitikkan air mata.
Percayalah, Maura.... Ayahmu juga sangat menyayangimu. Dia pasti akan bahagia, bila bertemu dengan putrinya.
Temui dia, Maura. Jln. xxx Perumahan Cempaka Putih. No. 28. Jakarta Pusat.
Selalu berhati-hati, Sayang. Pakai kalung dan anting-anting itu! Tunjukkan kedua benda itu kepadanya. Dia akan langsung tahu, jika kau putriku.
^^^Salam sayang, Riyana^^^
Maura memeluk erat tulisan tangan ibunya. Lagi-lagi, air mata mengalir deras di pipinya yang seolah tiada habisnya.
'Iya, Bu. Maura akan menemui ayah sesuai permintaan ibu. Maura akan berusaha mencarinya,' batinnya.
''Tapi, bagaimana caranya? Aku tidak mungkin meninggalkan pekerjaanku disini. Aku tidak mau mengecewakan ayah dan bunda. Tanpa mereka, aku tidak akan bisa sampai pada titik ini.''
...----------------...
Perhatian!
Semua yang ada di dalam cerita ini hanya fiktif belaka ya, Guys. Murni dari otak cetek author.
Semoga, kalian tidak pernah bosan dengan karya Author Remahan ini.
Selamat menikmati, kek makanan aja, hehe..., membaca maksudnya. Semoga terhibur...
Babay....
''Woy, Ra! Bengong aja.'' teriakan Alvaro berhasil mengejutkan Maura yang tengah termenung sendiri di kantin rumah sakit.
''Ck, apa, sih? Ganggu ketenangan orang aja,'' decak Maura dengan kesalnya.
''Sudah, Ra. Sedih boleh tapi jangan keterusan. Kasihan ibumu disana,'' ujar Alvaro dengan menyeruput kopinya.
Maura menghela nafas. ''Bukan itu yang gue pikirin, Al.''
''Lha terus? Jelas-jelas murung gitu,'' sanggah pria berkacamata itu.
''Pesan terakhir ibu gue,'' lirih Maura, ''Gue diminta nyari ayah gue di Jakarta.''
''Ayah loe masih hidup, Ra?'' tanya Alvaro yang tak bisa menutupi keterkejutannya.
''Biasa aja kali, lebay loe.'' Maura merotasi bola matanya malas.
''Ya, tinggal cari, Ra. Gampang, 'kan?'' sahut Alvaro dengan entengnya.
''Kerjaan gue, gimana, Al? Gue gak mungkin ninggalin tanggung jawab gue gitu aja,'' kata Maura dengan kesalnya, ''Gue juga gak mau mengecewakan orang tua angkat gue yang udah usaha mati-matian, nyekolahin gue. Gue bisa sampai di titik ini juga karena mereka.''
''Coba loe buat pengajuan pindah tugas, deh, Ra.'' Alvaro memberi saran pada sahabatnya.
''Iya, kalau gue di tempatkan di Jakarta. Kalau di tempat lain? Pedalaman misalnya. Bukannya dekat malah jauh, Alvaro,'' sahut Maura.
''Iya juga, ya.'' Pemuda itu menggaruk sebelah alisnya.
Dia ikutan bingung mencarikan solusi untuk masalah sahabatnya.
''Gue ada tugas, pasien gue yang ada di ruang ICU sudah sadar,'' pamit Maura setelah memeriksa ponselnya.
Dia beranjak dari sana meninggalkan sang sahabat sendirian.
''Iya, fokus. Masalah loe pasti akan ada jalan keluarnya,'' pesan Alvaro sebelum Maura jauh darinya.
Gadis itu hanya melingkarkan jari telunjuk dan ibu jarinya, sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu kantin.
...----------------...
''Ra, Maura....''
Tok-tok-tok
''Ra....''
Tok-tok-tok
''Ra, gue punya berita penting!'' Alvaro terus berteriak sembari mengetuk kaca rumah sahabatnya.
''Astaga, Ra! Lu molor, ya? Tangan gue sampai pegel kagak di bukain,'' keluhnya frustasi.
''Ck, apa, sih, Alvaro! Gue masih ngantuk!'' Maura berteriak dari dalam kamarnya.
dia turun dari tempat tidur dengan muka bantalnya. Melangkah menuju pintu untuk membukakan sahabatnya yang terus berteriak seperti orang gila.
''Apa!'' sewot Maura dengan berkacak pinggang.
''Ya ampun, Maura. Sepuluh menit lebih gue gedor-gedor kaca rumah loe. Loe tidur apa mati, sih?'' balas Alvaro tak kalah kesalnya.
''Kalau nggak ingat masalah loe kemarin, ogah gue gedorin rumah loe, pagi-pagi buta begini,'' lanjutnya lagi masih dengan kekesalan yang sama.
''Gak usah berbelit-belit, Al. Buruan ada apa? Berita penting apa? Yang mau loe sampaikan ke gue,'' cecar Maura dengan tidak sabarnya.
''Gue habis baca pengumuman tadi, rumah sakit pusat membutuhkan tambahan tenaga medis. Mending loe buruan mengajukan diri, deh, Ra. Sebelum keduluan yang lain.''
''Loe serius, Al?'' Kantuknya langsung menghilang setelah mendengar berita ini.
''Duarius.''
''Rumah sakit pusat ada di Jakarta, 'kan?'' tanya Maura untuk memastikan.
Alvaro mengangguk dengan tampang polosnya.
''Oke, gue mau siap-siap ke rumah sakit. Gue harus dapatkan ini,'' kata Maura dengan antusias.
Bhakk!
Maura menutup pintu dengan kencang. Hingga, membuat pemuda itu terjengkit.
''Makasih, Alvaro!'' teriak Maura dari dalam.
''Iye,'' jawab Alvaro keki.
''Untung jantung gue sehat," gumamnya pelan sembari berlalu meninggalkan tempat tinggal sahabatnya.
...----------------...
''Permisi, Bu.'' Maura berucap sopan saat memasuki ruangan pimpinan rumah sakit tempatnya bekerja.
''Dokter Maura, silahkan duduk.'' Seorang perempuan paruh baya menyambut ramah kedatangan Maura.
''Ada yang bisa saya bantu?''
''Begini, Dok. Saya mendengar pengumuman dari salah satu rekan saya, mengenai rumah sakit pusat yang membutuhkan tambahan tenaga medis. Apa saya bisa mengajukan diri, Dok?''
''Tentu bisa, kebetulan belum ada yang mendaftar. Tapi, apa Dokter Maura yakin, mau dipindahkan kesana?''
''Sangat yakin, Dok,'' jawab Maura mantap.
''Baiklah, saya akan mengurus semuanya. Jika semua sudah rampung, Dokter Maura akan saya hubungi. Untuk sementara, tolong segera selesaikan tanggung jawab dokter disini,'' pinta Wanita itu.
''Baik, Dok. Terimakasih.''
Ada kelegaan dalam hati gadis itu, langkahnya untuk bertemu sang ayah semakin dekat.
'Bu, aku akan memenuhi permintaan ibu. Doakan aku,'' batin Maura.
...----------------...
Sepulang bekerja, Maura berinisiatif mengunjungi rumah orang tua angkatnya. Dia ingin memberitahu perihal kepindahannya ke Jakarta esok hari. Dia juga tidak menyangka, proses pemindahannya akan secepat ini. Padahal, baru tadi pagi dia mengajukan diri dan sorenya sudah mendapat kabar.
''Assalamu'alaikum....''
Maura memasuki ruang tamu yang tampak lengang, sepertinya ibu angkatnya sedang memasak di dapur.
''Bunda,'' panggil Maura.
''Eh, Maura, sini sayang. Kebetulan kamu kesini, bunda lagi buat kue.''
Maura menyalami tangan ibu angkatnya dan mulai membantu sedikit pekerjaan Yunita.
''Ayah ada, Bun?''
''Ada di belakang, kenapa?'' tanya Yunita karena merasa kedatangan anak angkatnya kali ini, ada sesuatu yang penting.
''Maura mau ngomong sesuatu sama kalian,'' tutur Maura.
''Ya sudah. Yuk, ke belakang,'' ajak Yunita setelah menyetel waktu pada ovennya.
''Yah.'' Yunita memanggil suaminya.
Mahesa yang merasa terpanggilpun menoleh. Senyumnya merekah saat melihat kedatangan anak angkatnya.
''Yah, Bun. Maura kemari mau pamitan sama kalian.'' Maura mengutarakan maksudnya dengan hati-hati, berharap ayah dan bundanya tidak tersinggung.
Pasangan paruh baya itu saling menatap satu sama lain.
''Ada apa, Ra?'' tanya Yunita.
''Maura dipindah tugas ke Jakarta, Bun. Dan besok pagi berangkatnya.''
''Kok mendadak?'' tanya Mahesa.
''Maura juga tidak menyangka, Yah. Akan secepat ini prosesnya. Padahal baru tadi pagi Maura mengajukan diri.''
''Ada apa, Ra? Cerita sama bunda. Pasti ada yang kamu sembunyikan dari kami,'' kata Yunita penuh kelembutan.
Maura menghela nafas panjang, pelan-pelan dia menceritakan tentang pesan terakhir Riyana mengenai keberadaan ayah kandungnya.
''Siapa nama ayahmu, Ra? Barangkali ayah mengenalnya. Ayah juga banyak kenalan di Jakarta sebelum pindah kemari,'' tanya Mahesa.
''Bramasta Haidar.''
Mahesa mengerutkan alisnya. Mencoba mengingat nama yang disebut anak angkatnya barusan.
''Ayah kenal?'' tanya Yunita dengan sejuta rasa penasarannya.
Mahesa menggelengkan kepalanya yang membuat istrinya langsung mencebikkan bibirnya.
''Sok tau. Dasar tukang kepo,'' cibir Yunita.
''Kamu beneran mau ninggalin bunda, Ra? Bunda bakal kesepian dong,'' kata Yunita dengan wajah murungnya.
Maura langsung menghampiri ibu angkatnya lalu memeluk lembut permpuan paruh baya itu.
''Maura janji, akan sering-sering mengunjungi ayah sama bunda.''
''Janji, ya?'' Yunita menyodorkan jari kelingkingnya dan dibalas tautan kelingking oleh Maura.
''Janji.''
''Berangakat jam berapa, Ra?'' tanya Mahesa.
''Pagi, Yah. Aku mau naik bus saja.''
''Ya sudah, besok ayah sama bunda akan mengantarmu,'' ucap Mahesa.
Maura mengembangkan senyumnya. ''Terimakasih, Yah....''
Pagi hari....
Maura dan kedua orang tua angkatnya sudah berada di terminal. Jangan lupakan Alvaro, pemuda itu juga turut mengantarkan keberangkatan sahabatnya.
''Maura, sebenarnya bunda keberatan dengan kepindahanmu ini. Tapi, mau bagaimana lagi? Kamu juga berhak bertemu dengan keluarga kandungmu,'' kata Yunita dengan mata berkaca-kaca.
''Jaga diri baik-baik, Ra. Jika kamu ingin pulang, kemarilah! Kami masih keluargamu.'' Mahesa mengusap pucuk kepala putri angkatnya.
Meski, bukan darah dagingnya sendiri. Tak ada darahnya yang mengalir dalam diri gadis itu. Tapi, dia teramat menyayanginya. Ia sudah menganggap Maura sebagai putri kandungnya sendiri. Mengingat dirinya tak'kan pernah bisa mempunyai keturunan. Karena dia sudah divonis mandul, sejak puluhan tahun yang lalu.
Di tengah kekalutannya saat itu, Mahesa dan sang istri bertemu dengan seorang wanita hamil di hutan yang tak jauh dari tempatnya berlibur, yang tak lain dan tak bukan adalah Riyana.
Kondisi Riyana saat itu begitu lemah dan memprihatikan, dengan perut buncitnya. Wanita hamil tersebut meminta tolong pada Mahesa dan sang istri untuk menyelamatkan bayi yang tengah dikandungnya.
"Tolong bantu saya, Tuan! Tak apa kalau saya tak selamat, yang penting bayi ini tetap hidup," ucap Riyana sebelum kesadarannya menghilang.
Mahesa dan Yunita segera membawa wanita malang itu ke rumah sakit terdekat saat melihat ada darah yang mengalir dari pangkal pahanya.
Riyana segera mendapat penanganan, bayinya bisa di selamatkan. Tapi, wanita malang itu harus terbaring koma selama beberapa waktu. Hingga, akhirnya dia bisa sadar kembali.
Mulai saat itu, Mahesa memutuskan untuk mengadopsi bayi mungil yang mereka beri nama Maura, tanpa memisahkan dari ibu kandungnya. Yunita pun menyambut baik keputusan sang suami. Karena memang dia sudah jatuh hati dengan bayi mungil itu sejak pertama kali melihatnya.
''Pasti, Yah. Kalian juga jaga kesehatan baik-baik. Jangan terlalu lelah bekerja, ayah sudah tua. Waktunya istirahat.''
Suara Maura bagaikan magnet yang menarik paksa kesadaran Mahesa dari ingatan di masa lalu
''Dengarkan, Yah. Pesan dari putrimu itu,'' sewot Yunita.
''Dia suka keras kepala, Ra. Kalau bunda yang ngomong pasti gak akan di dengar sama dia.'' Ganti Yunita yang mengadu.
''Jangan lupain aku, Ra. Ingat wajahku yang tampan ini,'' kata Alvaro dengan menaik turunkan alisnya.
''Iya, gak bakal gue nglupain sahabat modelan cupu kek loe.'' Maura meninju pelan lengan pemuda itu.
Alvaro mencebikkan bibirnya, wanita ini memang selalu mengatai dirinya seperti itu.
Terdengar suara kondektur bus yang memberitahukan, jika bus akan segera berangkat. Maura segera berpamitan pada orang tua angkatnya dengan mencium kedua tangannya. Tak lupa, dia juga memeluk sahabatnya sebagai tanda perpisahan.
''Aku berangkat....''
Sesampainya di dalam bus, Maura memilih tempat duduk di dekat kaca lalu menoleh ke arah kedua orang tuanya dan sahabatnya yang masih belum beranjak dari tempatnya.
Perlahan-lahan, bus yang di tumpanginya mulai berjalan meninggalkan area terminal. Maura melambaikan tangannya ke arah mereka dengan air mata yang tidak dapat di bandung lagi.
'Bu, aku berangkat. Doakan aku, restui jalanku....'
Maura menggenggam erat kalung yang tersembunyi di balik bajunya.
...----------------...
Baru setengah perjalanan, bus yang di tumpangi Maura berhenti di terminal yang ada di Kota Surabaya untuk parkir terlebih dahulu. Dari terminal itu, para penumpang yang mempunyai tujuan ke ibukota diminta turun untuk dioper ke bus lain.
Entah, apa tujuannya? Maura sebagai penumpang hanya bisa mengikuti instruksi saja.
Maura sudah duduk dengan tenang di bangku yang dipilihnya. Sembari menunggu keberangkatan selanjutnya, dia mendengarkan musik melalui headset yang sengaja dia pasang di telinganya. Tapi, masih masih bisa mendengar suara lain di sekitarnya. Para pedagang asongan yang menjajakan dagangannya juga para pengamen yang menyumbangkan suaranya yang tidak seberapa.
''Permisi, Mbak.'' Seorang pengamen menyodorkan kantong plastik bekas permen ke hadapannya.
Tanpa berpikir lama, Maura segera memberikan selembar uang berwarna biru miliknya yang langsung disambut senyum cerah oleh pemuda itu.
''Terimakasih, Mbak,'' ucapnya ceria.
Maura menganggukkan kepalanya diiringi senyum tulusnya.
Maura kembali memejamkan matanya sambil menikmati musik yang masih dia dengar. Namun, tiba-tiba dirinya dibuat terkejut saat salah satu headset-nya diambil oleh seseorang.
''Eh....'' Maura segera membuka matanya dan menoleh pada pria yang duduk di sampingnya.
''Numpang, hehehe...,'' kata pria itu dengan memberikan senyum tengilnya.
Tak ingin pusing, Maura melilih mengabaikan keberadaannya.
Tak menunggu lama, bus yang di tumpangi Maura mulai berjalan meninggalkan area itu.
''Mau kemana, Mbak?'' tanya pria itu mencoba beramah-tamah pada gadis di sebelahnya.
Maura mengernyit bingung sekaligus waspada, ketika pria di sebelahnya bersikap sok akrab. Padahal, mereka tidak mengenal satu sama lain.
'Jangan-jangan dia punya niat buruk,' batin Maura was-was.
''Mau apa kamu? Kamu copet, 'kan? Gak usah modus kamu,'' cecar Maura dengan ketus.
Ganti pria itu yang mengernyit bingung mendengar tuduhan yang dilayangkan kepadanya.
''Ya ampun, Mbak. Jangan berburuk sangka dulu. Masa muka seganteng ini di bilang copet,'' sahut pria itu tidak terima, ''Aku cuma mau kenalan sama mbaknya,'' sambung pria itu.
''Aku Rayyan,'' kata pria itu sambil mengulurkan tangannya.
Perlahan-lahan, Rayyan menarik tangannya kembali karena tak kunjung mendapat tanggapan dari gadis disampingnya.
''Gak nanya,'' jawab Maura cuek.
'Gadis manis,'' batin Rayyan sambil menatap lekat wajah Maura.
''Apa lihat-lihat?'' tanya Maura masih dengan keketusannya saat menyadari Rayyan tengah menatap intens kearahnya.
''Kamu cantik.''
Maura melirik sinis pria yang berada disebelahnya.
''Orang aneh,'' gumamnya.
Rayyan masih menatap lekat wajah Maura. Entah kenapa dia merasa sangat familiar dengan wajah itu. Sangat mirip dengan....
''Mata tolong di kondisikan,'' sindir Maura.
Dia memalingkan mukanya kearah jendela, baginya pemandangan diluar sana lebih menarik ketimbang meladeni pria aneh bernama Rayyan ini.
''Aku seperti familiar dengan wajahmu. Mirip seseorang tapi siapa, ya?'' Rayyan masih berusaha mengingat seseorang yang sangat mirip dengan wanita ini.
''Sudahlah, gak usah modus. Gak berpengaruh buatku,'' timpal Maura tanpa melihat ke arah Rayyan.
''Ha! Aku ingat!'' pekik Rayyan secara tiba-tiba.
Yang mana bukan hanya Maura yang terkejut. Melainkan, penumpang lainnya juga. Alhasil, saat ini mereka tengah menjadi pusat perhatian.
''Ya, Tuhan.... Kesialan apa ini? Kenapa aku bertemu pria aneh seperti dia,'' keluh Maura dalam hati.
''Muka mbak itu mirip sekali sama Om ku.''
''Hah!''
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!