Malam pertama sekamar, tidak tepatnya malam kedua. Akan tetapi dalam ikatan halal ya ini pertama kali bagi Amara. Setelah akad selesai mereka menginap di hotel dan tidak pulang ke rumah, Zia dan Kanaya yang begitu pengertian sudah menyiapkan kamar sejak awal untuk mereka berdua menghabiskan malam bersama.
Ya, anugerah yang Amara terima sangat luar biasa. Kakak ipar baik yang baik dan juga mertua sama baiknya, soal Mikhail anggap saja itu sebagai bentuk sialnya karena memang tidak ada rumah tangga yang sempurna. Amara masih duduk manis menghapus make-upnya, sedikit tebal bagi Amara.
"Jangan dipaksa begitu, pakai cleansing balm, Amara ... sini aku bantu."
Perhatian sekali, pria itu baru saja kembali setelah sebelumnya pamit lantaran Mikhail ingin membicarakan sesuatu. Sedikit mengganggu dan memang kakak iparnya itu luar biasa menyebalkan bagi Amara.
"Kamu kok paham beginian?"
Aneh, di mata Amara pria ini semakin aneh saja. Hal semacam ini dia paham, padahal Syakil sama sekali tidak terlihat pria gemulai yang paham dunia beginian.
"Mama sama kak Zia biasanya pakai ini," tuturnya kemudian, Syakil meraih pembersih yang sudah Zia siapkan di pouch merah muda miliknya. Hanya ingin memastikan adik iparnya tidak kesulitan, karena Zia paham sulitnya membersihkan make-up semacam itu.
"Tutup matanya," titah Syakil lembut, pria itu mulai mengeluarkan bakat terpendamnya.
Dengan begitu lembut Syakil menggosok pelan kelopak mata Amara, sangat amat telaten dan bahkan Amara tidak sadar kala Syakil menarik bulu mata palsunya.
"Jangan dibuka sebelum aku perintahkan buka."
Amara hanya mengangguk, setelah mendengar ucapan Syakil nampaknya bukan hanya mata yang tertutup, melainkan mulutnya juga.
Selesai dengan mata, Syakil berpindah membersihkan keseluruhan wajah, hingga tiba di bibir jemarinya mulai jahil mengusapnya berkali-kali dengan jempol namun melibatkan perasaan.
"Sudah, buka matamu."
Woah, seketika wajah Amara terasa begitu lega. Mungkin jika pori-porinya bisa bicara, sejuta ucapan terima kasih akan sampai di telinga Syakil. Jemari ajaib Syakil memang multitalenta sepertinya, padahal jemari suaminya tidak sama sekali terlihat lentik seperti perempuan.
"Cantik sekali, padahal aku maunya kamu begini di hari pernikahan kita ... Mama ngeyel."
Dipuji dengan jarak yang bahkan tak sampai sejengkal dada Amara bergelora seolah perang antar suku, pria itu sebelumnya hanya bertugas membersihkan wajah Amara, entah kenapa jadi berubah sedekat itu.
Kalau sudah dipuji seharusnya bagaimana? Ucap terima kasih atau bagaimana, pikir Amara bingung sendiri. Wanita itu pura-pura menyibukkan diri dengan mengumpulkan bekas kapas pembersih dan lainnya, intinya cari kesibukan demi memendam kegugupannya.
Tidak Syakil larang, tidak juga Syakil tahan. Hanya saja pria itu tak melepaskan pandangan dari wanitanya. Pakaiannya yang sedikit terbuka di bagian leher hingga dada itu membuat naluri Syakil sebagai pria dewasa jelas saja hidup tiba-tiba.
"Tanda lahir?"
Amara menunduk, jemari Syakil sudah menyentuh sesuatu di dadanya. Dia tidak sadar jika pakaiannya sedikit turun dari yang seharusnya, sungguh dia malu sekali.
"Bukan, bekas luka."
"Kok bisa di dada gitu, Sayang?"
Merinding, Amara bergetar mendengar panggilan yang lagi-lagi lolos dari bibir Syakil. Dia bingung, kenapa pria ini sebegitu sayangnya, tidak hanya dari tindakan namun tutur kata memperlihatkan jelas jika Syakil menyayanginya.
"Iya ... kata Papa kecelakaan pas masih kecil, aku juga nggak ingat."
Syakil terdiam sejenak, belum dia lepaskan bahkan sengaja menahan tubuh Amara agar tidak menjauh darinya. Wanita itu terdiam, ingin menepis namun Syakil sangat berhak menyentuh kulitnya.
"U-udah ya, aku mau mandi dulu ... boleh kan?"
Amara gugup, tatapan Syakil makin lama seolah ingin menyantapnya bulat-bulat.
"Ah? Aku juga belum mandi ... kata kak Mikhail, salah-satu hal yang harus dilakukan kalau sudah menikah adalah mandi sama istri."
Menyesal Amara bicara, begitu semangat Syakil mendengar kalimat mandi dari bibir sang istri. Setelah tadi sore dia terganggu mendengar berbagai macam ucapan Mikhail tentang fantasi malam pertama, kini nalurinya justru yang bicara.
"Tapi aku lama, harus keramas dua kali soalnya kulit kepalaku gatal," tutur Amara berharap malam ini dia bisa selamat, matanya belum bisa menerima pemandangan Syakil tanpa busana.
"Alasan, kamu malu kan?"
Tertebak, Syakil tidak sebodoh itu dan bahasa tubuh Amara dapat dia baca dengan mudah. Ya, istrinya malu dan dirinya jelas sekali melihat itu.
"Bu-bukan begitu, Syakil ... tapi memang aku mandinya lama."
"Tidak masalah, aku juga harus keramas dua kali, rambutnya juga ada banyak. Di sini, di sini, dan ...." Syakil sengaja menggantung kalimatnya, setelah sebelumnya menunjuk kepala dan ketiak, pria itu tersenyum tengil dan membuat Amara bersemu merah bak kepiting rebus.
"Ah masa mau di spill sekarang, nggak kejutan dong," lanjutnya kemudian mencuri kecupan di bibir Amara begitu singkatnya.
Dih? Kejutan apanya? Amara bahkan merinding mendengar ucapan sang suami. Geli, merinding dan lainnya menjadi satu. Baru juga berapa jam menjadi pasangan suami istri, tapi sikap Syakil yang tidak dia duga mulai keluar malam ini.
"Ck, kenapa jadi melamun. Ayo mandi, nanti keburu larut malam kita masuk angin kan nggak lucu." Pria itu berdiri dan membopong tubuh istrinya tanpa aba-aba, wanitanya yang masih termenung itu jelas saja kaget luar biasa.
-
.
.
.
Empat puluh menit, cukup lama waktu yang mereka habiskan untuk membersihkan diri. Entah itu luluran lebih dulu atau memang keramas dua kali, yang jelas saat keluar dari kamar mandi wajah Amara pucat pasi.
Dia gemetar bahkan lulutnya terasa lemas lantaran terkejut dengan apa yang dia lihat selama empat puluh menit di dalam sana, meski sudah dia coba memalingkan muka tetap saja yang namany Mandi bersama akan terlihat juga.
"Sayang, tolong keringkan rambutku, bisa?"
Syakil biasa saja, pria itu mendekat tanpa sedikitpun terlihat malu. Oh Tuhan, mereka pengantin baru tapi kenapa yang bersemu dan kaku itu hanya Amara sendiri. Menatap Syakil yang kini berdiri di hadapannya dengan handuk terlilit di pinggul membuat Amara justru tidak fokus dan kembali mengingat sesuatu yang bersembunyi di baliknya.
"Amara, kenapa melamun?"
Semakin terlihat seperti orang bodoh, Amara menyambar handuk kecil yang ada di tangan Syakil. Wanita itu menelan salivanya pahit kemudian mulai menggosok pelan rambut Syakil yang cukup tebal itu.
Sebenarnya posisi ini sedikit mencurigakan, Syakil sedikit menunduk di hadapannya sementara Amara duduk di tepian ranjang, dengan hanya menggunakan bathrobe yang dia ikat asal, sekali sikat sebenarnya bisa saja Syakil makan.
"Sayang sudah siap?"
"Hah?" Amara ciut kala mendengar pertanyaan Syakil, siap apanya, pikir wanita itu.
"Bajuku, dingin soalnya."
Astaga, Amara lupa jika sebelumnya Syakil memang minta disiapkan baju tidur untuknya. Amara pikir siap apa, dirinya sudah sepucat itu semenjak beberapa puluh menit lalu. Jelas saja mendengar pertanyaan itu dia merasa seakan mendapat ancaman.
"Sudah, sebentar aku ambilkan."
Syakil menarik sudut bibir melihat betapa cemasnya Amara. Belum apa-apa Amara sudah pucat pasi, bagaimana jika benar-benar dia hantam, pikir Syakil.
Padahal cuma lihat, dia sampai seperti kehilangan banyak darah ... kamu hebat, Juno!! Benar-benar membanggakan. Syakil membantin seraya merasa dirinya sebagai pria sempurna yang berhasil membuat wanitanya bertekuk lutut padahal belum melakukan apa-apa
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Halimah As Sa'diyah
ah Ibra junior ini jailnya gak ketulungan
2025-01-14
0
💜🌷halunya jimin n suga🌷💜
syakil syakil kocak euy
2024-06-20
1
Halimah
🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2024-05-26
0