Kesal, namun tetap harus dia lakukan. Mengingat Mikhail adalah pria kurang ajar yang tidak terima penolakan, terpaksa dia menuruti keinginan Mikhail. Asal pilih tempat, toh menurutnya masih sama-sama telur ayam.
Memasuki minimarket yang paling dekat menurutnya saja. Syakil tidak terlalu peduli harus belanja dimana. Peduli setan dengan Mikhail yang memintanya membeli ramuan keramat itu di pusat perbelanjaan tengah kota, hanya merepotkan saja, pikir Syakil
Dia bukan pria jelalatan, sekalinya mencari dia fokus pada tujuan. Yang saat ini dia cari sudah didapatkan, tidak begitu sulit karena memang bukan barang langka.
Tiba di kasir, Syakil menyerahkan belanjaan yang harus dia bayar. Masih fokus dengan ponselnya, tentu saja membalas pesan Mikhail dan menjawab iya darisemua permintaan yang dia sampaikan.
"75 ribu, Kak ... Ada lagi?"
"Cukup."
Syakil menggeleng kemudian mengeluarkan dompetnya. Baru saja hendak menyerahkan kartunya, belum sempat wanita itu meraihnya, Syakil mengalihkan pandangan ke arahnya dengan mata yang kini membulat sempurna kala menyadari siapa wanita yang kini berdiri di hadapannya.
Amara, wanita yang tidak punya sopan santun sembarangan pergi meninggalkannya pagi tadi tertangkap basah tengah melakukan pekerjaannya. Pertemuan kali keduanya makin kaku, lebih tepatnya malu. Syakil berdehem pura-pura tenang padahal dia seakan tidak punya wajah saat ini.
Bukan perkara dia yang masih menggunakan pakaian kemarin ataupun belum mandi. Akan tetapi, yang membuat Syakil malu ialah belanjaan tak lazim bagi pria lajang sepertinya.
"Untuk Kakakku, bukan aku ... sumpah."
Amara tidak bertanya, tapi belum apa-apa Syakil sudah panik duluan. Persis seorang suami yang kepergok istrinya membeli barang tak berguna.
"Hm, begitu," sahut Amara bingung harus mengatakan apa, kalaupun benar memang untuk dirinya kenapa malu, pikir wanita itu.
"I-iya, begitu."
Ada-ada saja, bahkan Syakil sampai gugup. Sementara Amara bersikap biasa saja karena memang dia tidak merasa mengenal pria ini sebenarnya. Bahkan, nama Syakil saja dia belum mengetahuinya, bukan karena apa-apa. Akan tetapi, memang Syakil tidak memperkenalkan diri sementara Amara bukan tipe wanita yang suka banyak tanya.
"Kamu pergi dari hotel jam berapa?" tanya Syakil mulai bisa menguasai keadaan, tak lagi segugup sebelumnya, tapi tetap saja wajahnya kini sean merona.
"Jam lima mungkin, maaf ... tidak sempat pamit." Sedikit sesal jelas ada dalam benar Amara, karena bagaimanapun Syakil begitu baik meski sama saja suka curi-curi kesempatan, pikirnya.
"Baguslah kalau sadar," tutur Syakil datar dan membuatnya termenung tiba-tiba, batinnya bertanya apa mungkin pria itu marah.
"Terima kasih sudah berbelanja."
Selesai pembayaran Amara mengembalikan kartu milik Syakil. Berharap pria itu akan segera pergi dan berlalu dari hadapannya. Karena jujur saja Amara mulai risih dengan tatapan Syakil yang terus tertuju padanya, heran saja apa mata Syakil tidak sakit, pikir Amara.
-
.
.
.
"Apa ada lagi, Kak?"
Canggung sekali, Syakil yang belum juga berniat untuk beranjak membuat Amara mulai sedikit kesal. Sialnya pagi ini minimarket sepi dan tidak ada pelanggan setelah Syakil, jelas saja dia tidak bisa mengusir Syakil dengan alasan harus melayani yang lain.
"Lukamu, apa baik-baik saja sudah dibawa bekerja sekarang?"
Tanya apa, jawabannya apa. Lagipula siapa Syakil sampai sebegitu pedulinya tentang Amara. Luka yang sama sekali tidak seberapa, apa yang Amara rasakan bahkan lebih sakit dari ini.
"Su-sudah ... terima kasih sudah berbelanja, semoga puas dengan pelayanan kami."
Sekali lagi dia menggunakan kalimat andalan untuk bisa membuat palanggannya pergi, namun sepertinya hal ini tidak berlaku pada Syakil. Dia justru menarik sudut bibir, mungkin paham maksud Amara.
"Pembeli adalah raja, kenapa harus diusir secara halus?" tanya Syakil sarkas dan membuat Amara kian bingung.
Sudah cukup lama Syakil berada di sini, meski memang bukan menggoda namun tatapan karyawan yang lain sudah mulai berbeda. Tangan mereka mungkin bekerja tapi tidak dengan telinga dan juga ekor mata.
"Tapi Anda sudah selesai berbelanja, apa memang masih ada yang dicari, Kak? Saya bantu jika kesulitan."
Tetap berusaha professional meski sebenarnya lidah Amara terasa kaku hendak mengatakan hal semacam ini pada Syakil. Sungguh, dia begini hanya karena ada beberapa pasang mata yang menjadi pengamat.
"Ck, dasar keji ... kamu benar-benar mengusirku?" tanya Syakil dengan suaranya yang terdengar begitu dingin.
"Bukan begitu, tapi memang sudah selesai ... lalu mau apa lagi?"tanya Amara mulai menyerah, kenapa Syakil justru semakin merepotkan begini, pikirnya.
"Kamu berhutang padaku, meninggalkanku sendirian adalah hal yang paling tidak sopan."
"Maaf, aku tidak bermaksud begitu ... tapi memang aku harus pergi lebih cepat, pekerjaanku tidak segampang kelihatannya."
Baru kali ini ada pria yang membuatnya repot sendiri, merasa bersalah bahkan justru setakut itu dia benar-benar kecewa lantaran ditinggalkan di kamar hotel sendirian.
"Kamu kira maaf saja cukup? Kamu jangan lupa ... aku menebusmu tiga ratus juta, bukan tiga ribu rupiah."
Sialaan, pria ini perhitungan rupanya. Amara menatap sendu manik tajam Syakil, sedang menebak apa yang dipikirkan pria ini sesungguhnya.
"Kalau soal itu, nanti saja kita bicarakan lagi. Sekarang aku harus kerja dulu, bosku bisa marah."
Syakil mendengkus kesal, bagaikan seorang anak yang marah ibunya harus terus bekerja sementara dia meminta waktu untuk bicara. Pria itu memejamkan mata dan tiba-tiba menatap sekeliling minimarket itu.
"Karena kerja? Kita baru bisa bicara setelah pekerjaanmu selesai?"
"Hm, kurang lebih begitu."
Baiklah, sepertinya syakil harus menyelesaikan ini dengan caranya. Tanpa pikir panjang dan tidak peduli bagaimana tanggapan orang-orang setelah ini otaknya hanya terpikirkan hal ini saja.
"Kalau begitu aku beli semua yang ada di sini."
"Hah?"
Bukan hanya Amara, melainkan rekan kerja Amara melongo mendengar ucapan Syakil. Seumur hidup mereka baru kali ini menemukan seseorang memborong seisi minimarket tanpa pikir panjang.
"Pasti bercanda, memangnya uangnya cukup, Mas?" Mario yang sejak tadi sedikit terganggu dengan kehadiran Syakil kini turut bicara, penampilan Syakil menurut dia biasa saja. sekalipun tampan, hal itu tidak jaminan pria itu memang mampu.
"Aku tidak bercanda, aku ingin bicara dengannya ,,, jika semuanya terjual habis, itu artinya pekerjaan kalian hari ini akan lebih cepat bukan?"
Caranya bicara sangat-sangat berbeda, bahkan Amara tiba-tiba ciut dengan suara dingin Syakil yang kini lebih seram daripada di club tadi malam. Sesaat kemudian, mereka direpotkan Syakil dalam waktu yang cukup lama karena isi minimaket itu tidaklah sedikit.
PLONG
Semua kosong, tanpa sisa dan kini hanya meninggalkan Amara yang menatap Syakil dengan raut bingungnya. Butuh tiga mobil untuk bisa membawa semua belanjaan Syakil, ya hari ini adalah rekor muri belanjaan terbanyak Syakil selama hidupnya.
"Hoel ...." Bibir Amara tidak bisa berkata-kata lagi, hanya demi mengajaknya bicara Syakil melakukan ini.
"Sekarang bagaimana? Kita sudah bisa bicara bukan?"
"Hm, sangat-sangat bisa!!!" ucap Amara sengaja menekan setiap kalimatnya, pria super kaya paling sinting dia temukan kini. Memang benar, orang kaya kadang kerap melakukan hal diluar nar yang bahkan tidak pernah terpikirkan sebelumnya.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Ray Siddiq
emang beli apa Syaqil, kok beli susu beruang gak lazim dibeli?
2025-02-04
0
Halimah As Sa'diyah
anterin ke rumah syaqil
2025-01-14
0
Nurhayati Nia
wihhh ya gini kalo Sultan dah belanja dan ngk mau di ganggu ya di borong semua isi nya 🤣🤣
2024-10-29
1