Tidak peduli apa yang terjadi, yang namanya kehidupan harus terus berjalan. Setelah tadi malam Syakil menemaninya hingga memastikan Eva pulang dan tidak membawa teman laki-laki, kini di tempat kerja wanita itu masih dibuat bingung sebenarnya Syakil kenapa.
Siang dia masih terdiam, beberapa rekan kerjanya tidak lagi berani menggunjing ataupun usil dengan kegiatannya. Terutama mereka yang menyaksikan sendiri bagaimana mewahnya kediaman pria yang menjadi teman berbincang Amara kemarin.
"Apa mungkin kami saling mengenal sebelumnya? Tapi dimana?"
Amara bahkan menghentikan makan siangnya, jujur saja seberapa usahanya untuk mengingat siapa Syakil dia tidak bisa. Rasanya memang baru pertama kali bertemu, akan tetapi bagaimana perlakuan Syakil yang begitu berbeda jika padanya dan terhadap orang lain membuat Amara bingung sendiri.
"Ah sudahlah, mungkin aku mirip adiknya kali."
Kemungkinan besar memang demikian, karena Syakil kerap mengataan tidak ingin menyesal kedua kalinya. Bahkan tadi malam alasan dia enggan pulang hanya karena khawatir ada pria lain yang mungkin membahayakan Amara, padahal dia sendiri bahkan sempat tertidur di kamar Amara beberapa menit lantaran bosan menunggu Eva yang tidak pulang juga.
Hoeek
"Heemmm... nggak suka baunya!!"
Mario yang tiba-tiba membawa es durian membuat indera penciuman Amara tersiksa. Bukan maksud mencela makanan tapi memang dia tidak suka, baunya, teksturnya dan apapun itu dia tidak menyukainya.
"Kenapa?"
"Nggak suka baunya, Rio ... jangan deket-deket aku kenapa sih."
Kebiasaan sekali, padahal sudah Amara katakan dia sangat tidak menyukai buah itu. Bukannya mengerti dan paham, Mario justru semakin mendekat dan jelas saja Amara sebal luar biasa.
"Ih, aneh. Sampe mual-mual begitu kayak orang hamil, lebay kamu, Ra."
Hamil? Mendengar kalimat ini kenapa dia jadi merinding seketika. Apa yang Syakil katakan kemarin tiba-tiba mengganggu benaknya, dia penasaran dan tentu saja ingin pembuktian.
"Mario."
"Hm, kamu mau nanya sesuatu?"
Mario bisa menebak jika ada sesuatu yang membuat pikiran Amara terganggu. Entah apa sebenarnya, hanya saja dari raut wajahnya bisa Mario tangkap dengan jelas.
"Iya, aku mau tanya sesuatu ... tapi ini rahasia, jaga mulut bisa kan?"
Pertanyaan sensitif, kalau sampai tersebar jelas saja dia malu. Mana mungkin hal semacam ini bisa dimaklumi orang lain, terhadap Mario nungkin akan sedikit aman karena pria ini nerupakan teman yang paling sehat secara otaknya menurut Amara.
"Siap, apa memangnya?" Mario penasaran, gugupnya Amara mulai terlihat, dan dia sudah mulai percaya diri jika Amara akan mengutarakan perasaan.
"Ehm, gini-gini ... aduh gimana ya bilangnya."
Amara bingung sendiri, hal ini bukan pertanyaan wajar yang bisa diterima setiap orang. Bisa jadi pandangan seseorang akan berubah dengan adanya pertanyaan ini.
"Bilang aja, kenapa kamu jadi malu-malu begini?" tanya Mario kemudian, dia hanya tidak ingin Amara justru tidak nyaman. Pria itu bahkan menjauhkan es duriannya agar Amara bisa lebih tenang.
"Kalau misal ngelakuin itu ... apa mungkin bisa nggak berasa?"
Mario mengerutkan dahi, pertanyaan Amara terlalu misteri hingga dia bingung sendiri. Hanya sebuah gerakan tangan yang berusaha Mario pahami.
"Apasih maksudnya?"
"Se*ks!" jawab Amara singkat, dia malu sekali sebenarnya.
"Kenapa kamu tanya begitu?" selidik Mario justru membuat Amara sedikit panik, pria itu justru berpikir macam-macam pada temannya ini.
"Aku tanya, kamu jangan balik nanya dong!!"
"Hm, nggak berasa? Mungkin maksud kamu nggak sadar kali, kalau berhubungan suami istri sepelan apapun sepertinya masih berasa ... tapi kalau dalam pengaruh obat mungkin saja nggak berasa," jelas Mario singkat dan berhasil membuat Amara panas dingin.
"Obat?"
Mario mengangguk, dia memang bukan pencari wanita. Hanya saja dunianya juga tidak sesederhana yang Amara bayangkan. Kehidupan Mario di malam hari berbeda, sebagai pria dewasa dia juga butuh pelarian tentu saja.
"Iya, kalau sudah dalam pengaruh obat, mau dipakai lima laki-lakipun nggak akan sadar, Ra."
Uweeek, menjijikan sekali. Amara sontak mual mendengar penjelasan Mario. Geli sendiri bahkan ingin rasanya dia memukul kepala pria itu sekuat-kuatnya.
Lalu bagaimana dengan dirinya? Jika Syakil benar-benar melakukannya, apa mungkin kehidupannya sudah berakhir? Mendadak Amara ingin mandi kembang saat ini.
"Tapi kamu belum jawab, kenapa pertanyaannya begitu?"
Amara menggeleng, dia buru-buru pergi dengan alasan tidak kuat lantaran aroma durian itu meresahkan hidungnya. Memilih kembali ke minimarket dan memastikan semuanya dari berbagai situs.
"Aku masih perawan lah, liat kak Eva aja dia nggak napsu, apalagi aku." Amara menyakinkan batinnya, bagaimana cara Syakil memandang Eva meski sudah berpakaian seksi adalah hal yang paling nyata jika Syakil sedikit anti wanita.
-
.
.
Sementara di tempt lain, saat ini Mikhail dibuat kesal lantaran Syakil tiba-tiba merepotkannya dengan meminta Bryan mencarikan apartement paling baik untuk dia tinggali.
Dengan alasan untuk tinggal sementara, dan dia juga tidak bisa memerintah Kendrick, asisten pribadinya yang tetap berada di LA memegang kendali perusahaan selama dia berleha-leha di tanah kelahirannya.
"Merepotkan, kamu pakai jasa Bryan artinya harus bayar, Syakil."
"Ck, semua sembako di rumah Mama ambil saja sebagai gantinya, aku tidak punya uang lagi."
Alasan saja sebenarnya, Syakil tidak mau saja Mikhail meraup keuntungan pribadi. Dia memerintah Bryan bukan hanya sekadar perintah, melainkan dibayar dan itu tidaklah murah.
"Dasar pelit, belanja satu minimarket full bisa, kenapa kompensasi untukku tidak bisa?"
"Beda cerita, lagipula Kakak sendiri sudah kaya, jangan terlalu tamak ... biasakan bersyukur, Mikhail."
Perdebatan mereka takkan ada usainya, hanya perkara menggunakan jasa Bryan jadi sepanjang ini. Syakil bukan tidak mau cari sendiri, akan tetapi akan lebih baik jika Bryan yang mencarikannya.
"Kamu punya kekasih? Ada rencana menikah dalam waktu dekat, Syakil?" tebak Mikhail menarik sudut bibir, jika memang ada maka dia bersyukur. Akan tetapi, di sisi lain Mikhail masih takut wanita mempermainkan adiknya.
"Hm, aku menemukannya ... setelah bertahun-tahun, akhirnya malam kemarin kita kembali bertemu." Syakil menyerahkan ponselnya pada Mikhail, padahal belum pasti bagaimana mereka ke depannya, akan tetapi Syakil sudah mengenalkannya pada Mikhail.
"Wanita ini?"
Dahi Mikhail berkerut, gurat kemarahan tiba-tiba mengalir kala dia menatap senyum wanita yang ada di galeri foto sang adik. Mikhail yang biasanya mengejeknya, kini justru mengepalkan tangan dan mengembalikan ponsel Syakil sedikit kasar.
"Dia Amara, bukan Ganeta."
"Lalu?"
"Aku mencintainya, Kak," tutur Syakil kemudian,
"Cinta? Kau baru bertemu dengan wanita itu 2 hari, bisa-bisanya sudah cinta." Mikhail menggeleng pelan mendadak tidak tertarik dengan pembicaraan ini.
"Memang cinta, mau bagaimana."
"Yang kamu cintai itu Ganeta, bukan dia." Mikhail menekan setiap kalimatnya, memang mereka terlihat sama, wajar saja jika adiknya seperti mengenang wanitanya. Akan tetapi, dengan Syakil yang tiba-tiba mencintai Amara entah kenapa Mikhail justru kasihan pada wanita itu.
"Apa bedanya? Aku pernah kehilangan Ganeta ... sekarang aku menemukan Amara, mereka sama saja. Jelas aku tidak akan melepaskannya," tutur Syakil kemudian membuat Mikhail menghela napas pelan.
"Terserah kamu saja, tapi pastikan dulu apa Mama akan terima? Mau itu Ganeta atau memang hanya mirip saja, aku rasa restu Mama tidak akan semudah itu kamu dapatkan, Syakil." Bukan tanpa alasan, kemarahan Kanaya di hari pernikahan Syakil sebegitu besarnya. Karena perginya Ganeta, sang mama bahkan harus di rawat di rumah sakit selama dua minggu.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
titiek
apakah amara ganetha yg ilang ingatan
2025-01-22
1
Halimah As Sa'diyah
kasihan Amara
2025-01-14
0
Resti Damopolii
mencintai ganetha diraga amara
2024-12-14
0