Ganti baju hampir lima belas menit, Syakil hanya tersenyum kala istrinya kini muncul dengan pakaian yang dia siapkan sebelumnya. Syakil baru saja selesai memasang sprei di tempat tidurnya, begitu rapi bahkan lebih rapi dari hasil tangan Amara.
"Perutnya masih sakit?"
Wanita itu mengangguk pelan, dia menatap Syakil begitu curiga dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Dari segi fisiknya, Syakil begitu maskulin dan rasanya tidak ada ciri-ciri suaminya menyimpang.
"Minum obatnya, setelah itu istirahat ... jangan banyak gerak," tutur Syakil lembut dan kini mendekati Amara, namun anehnya sang istri justru sedikit menjauh dan hal ini membuatnya mengerutkan dahi tentu saja.
"Kenapa? Masih marah?"
Bukan marah, melainkan otak Amara tengah berpikir suaminya normal atau tidak. Sementara Syakil yang memang merasa dirinya bersalah, jelas saja berpikir istrinya belum puas meluapkan emosinya.
Mungkin istrinya butuh waktu, Syakil tidak ingin mengusiknya lebih dulu. Terlebih lagi saat ini Amara tengah mendapat tamu bulanan dan menurut sepengetahuannya wanita datang bulan lebih bahaya dari beruang madu.
Hening, belum ada pembicaraan kini. Syakil tak melepaskan sang istri dari pandangannya. Wanita itu menegak satu gelas air itu hingga tandas, sepertinya memang jiwanya panas, bukan hanya minum untuk membuat obatnya masuk ke perut dengan sempurna.
"Mendekatlah," titah Syakil kemudian, istrinya kembali terlihat meringis. Sepertinya memang rasa nyerinya lebih besar hingga dia tidak terlalu memikirkan alasan Syakil berbohong dan tidak menolak kala Syakil memintanya mendekat.
Pria itu menarik pergelangan Amara, menuntun sang istri agar duduk di pangkuannya. Padahal tanpa harus dipangku juga dia bisa mengoleskan minyak brand kebanggaan tanah air itu ke perut dan pinggang istrinya.
"Maaf, aku angkat sebentar," ujarnya seraya menyingkap pakaian Amara kemudian mulai mengoleskan dengan sedikit pijatan di sana.
"Jangan kebanyakan, nanti panas."
Khawatir sekali kala dia menyaksikan sebanyak apa Syakil menuangkan minyak itu ke telapak tangannya. Meski memang itu biasa dipakai untuk anak-anak, tetap saja Amara takut.
"Biar sembuh, Amara ... kamu selalu begini?" tanya Syakil menatap wajah sang istri yang tertangkap basah tengah memandangi dirinya, Amara hendak menghindari tatapan Syakil tapi terlambat sudah.
"Sesekali, biasanya nggak sesakit ini."
Syakil mengangguk pelan, hal semacam ini kerap kali dia saksikan. Lingkungannya banyak wanita dan yang mereka keluhkan hampir sama, mulai dari Aleena, Zidny, serta Laura yang biasanya akan membuat Syakil repot jika sudah datang bulan.
"Kasihan sekali istriku, biasanya kalau sakit bagaimana?"
"Ditahan, minum obat nanti sembuh sendiri."
Tidak ada waktu untuk Amara memanjakan rasa sakitnya, dia harus bekerja dengan ekstra demi membuat hidupnya baik-baik saja. Sakit seperti itu biasanya mampu dia lewati, entah kenapa sekarang jadi semanja ini, pikirnya heran.
"Begitu ya, dulu kak Zidny biasanya kalau sakit sampai pingsan ... apa semua wanita memang begitu?"
Pintar sekali membuat istrinya terbawa suasana, Syakil benar-benar seakan tanpa dosa dan membawa wanitanya terbiasa dan membuatnya sedikit lupa tentang kesakitan itu.
"Kak Zidny? Yang kemarin kehilangan bayinya ya?"
Syakil mengangguk pelan, diantara hal tentang Zidny yang Amara ingat hanya kejadian wanita itu panik luar biasa lantaran kehilangan bayinya. Satu keluarga dibuat panik hingga hampir satu jam baru dia ingat bahwa putrinya berada di rumah sang mertua, perkenalan yang sangat berkesan bagi Amara.
"Dia lucu ya, masih muda sudah pelupa," ungkap Amara terkekeh, wanita itu memang mudah tertawa hanya karena hal kecil seperti ini.
"Dia sudah tua, Ra ... seumuran kak Mikhail, anaknya juga sudah dua," ungkap Syakil kemudian, mengingat apa yang terjadi kemarin dia juga sedikit kesal sebenarnya.
"Hm, aku pikir seumuran kak Zia."
Pembicaraan mereka mulai menyatu, nampaknya sentuhan Syakil selain membuatnya nyaman juga berhasil membuat Amara luluh. Kemampuan terpendam Syakil yang sedikit berbeda dari Mikhail, cara Syakil memaksa memang lebih halus dari Mikhail, tapi tetap saja sama-sama pemaksa.
"Sudah, mau tidur?" tanya Syakil setelah dirasa cukup dan Amara terlihat sedikit nyaman, entah karena memang berpengaruh atau Amara hanya gugup hingga dia terdiam begitu.
Amara menggeleng, jam segini bukan lagi jam tidur siang. Senja hampir menjelang dan mana mungkin Amara bisa tidur sekarang. Perutnya terasa hangat, dan memang usai Syakil pijat rasa sakitnya sedikit berkurang.
"Tunggu dulu, kamu mau kemana?"
Amara hendak beranjak dari pangkuan Syakil, pria itu melingkarkan tangannya di pinggang Amara. Sebelumnya dia belum pernah berani melakukan ini, kalaupun berani curi kesempatan itu karena Amara sedang tertidur.
"Kan sudah selesai," ungkap Amara pelan, tapi tidak dengan detak jantungnya.
"Kamu belum jawab pertanyaanku tadi," ucapnya tanpa melepaskan tatapan dari manik indah sang istri, sangat-sangat lekat.
"Pertanyaan yang mana?"
"Tentang kebohonganku, kamu masih marah?" tanya Syakil serius, meski dia paham entah apa niatnya tetap saja hal tersebut mungkin tidak bisa diterima.
"Bukan marah ... tapi, aku bingung kenapa sampai segitunya," ungkap Amara seraya menunduk kemudian menghela napas kasar.
"Hm, jawabannya sama, Sayang ... aku menginginkan kamu sejak awal kita bertemu, sampai-sampai yang ada dipikiranku hanya cara itu. Karena kalau benar-benar aku hamili yang marah bukan hanya kamu, tapi Mama dan semua yang mengenal kita pasti marah," jelas Syakil dengan tatapan sendunya, meski jujur ada sejuta kesedihan kala dia menatap wajah istrinya ini.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Halimah As Sa'diyah
sebenernya kasihan ke 2 2 nya,syakil masih bawa suasana masa lalu,Amara disamakan dengan masa lalu sakit sebenarnya
2025-01-14
0
emak gue
good syakil... karena sintingnya udah dibawa Mikhail🤣
2024-10-26
1
Wani Ihwani
aqu pun mau sama sayakil walau di paksa🤣🤣🤣
2024-06-23
0