Hari masih begitu pagi, udara bahkan terasa dingin. Seharusnya masih dihabiskan dengan bergumul di selimut, tapi tidak untuk Amara. Bukan tidak berniat mmengucapkan terima kasih, akan tetapi pekerjaan menuntutnya harus datang pagi-pagi begini. Belum lagi dia harus pulang lebih dulu untuk mengganti pakaiannya, tidak mungkin bekerja dengan dress di atas lutut itu. Bisa jadi gunjingan teman-temannya tentu saja.
Hampir terlambat, menjadi karyawan di salah satu minimarket membuatnya harus terbiasa bangun pagi-pagi sekali. persiapan yang harus dilakukan tidaklah sedikit, memastikan tempat itu bersih dan tertata juga merupakan tanggung jawabnya.
"Belum makan, Ra?"
"Nanti aja, hampir selesai ini."
Perihal sarapannya pun kadang dia sampai lupa. Khawatir kehilangan pekerjaan membuat Amara bekerja lebih giat bahkan kerap dianggap cari perhatian menurut rekan kerjanya. Padahal, hal itu murni dia lakukan karena memang bos mereka kerap melakukan pembersihan karyawan tanpa aba-aba.
"Kamu kalau begini menyulitkan diri sendiri namanya, anak-anak lain belum masuk ... santai aja, Ra," tutur Mario, salah satu rekan kerjanya yang masih tidak habis pikir kenapa Amara segit ini.
"Selagi kita bisa kenapa harus tunggu yang lain, kan yang begini juga bagian pekerjaan sama-sama," jawabnya tanpa sedikitpun perasaan marah.
"Gajinya kecil juga, Ra ... kenapa kamu nggak cari kerjaan lain? Kamu cantik, manfaatkan kecantikannya. Jadi Sekretaris pribadi kek, model kek atau apa gitu." Mario memang menyayangkan fisik Amara, di antara rekan kerjanya Amara adalah yang paling bening di matanya.
"Nggak apa-apa kecil, daripada enggak kerja."
Bertahan dengan gaji yang memang cukup kecil, namun dia berusaha sangat keras agar tetap bertahan di posisinya. Alasan Amara sederhana, jelas saja karena dia tidak mau menjadi wanita pemuas seperti yang kini Eva lakoni.
Amara tidak lagi peduli tentang pandangan orang padanya. Hendak dipandang cari perhatian, penjilat atau semacamnya dia tidak begitu peduli. Yang ada di otaknya kini hanya kerja, kerja dan kerja.
Meski raganya di sini, pikiran Amara masih tertuju pada pria yang semalam menjadi teman tidurnya. Ya, hanya tidur dan pria itu berjanji tidak akan mengusiknya, dalam hal ini termasuk menyentuh Amara.
"Dasar pembohong," gumam Amara sembari mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Beberapa jam lalu, saat matahari belum beranjak diufuk timur, Amara susah payah melepaskan diri dari pelukan Syakil. Tidak menyentuh apanya, di awal malam memang mereka berjauhan. Akan tetapi ketika membuka mata, Syakil bahkan sudah tidak berjarak lagi dengannya.
Sejak kapan Syakil memeluknya dia juga tidak sadar, mungkin keduanya sama-sama lelah hingga hal semacam itu tidak terasa. Wajah Syakil yang masih terlelap kini terbayang di kepala Amara, berlarian kesana kemari bahkan setiap pria yang dia temui Amara terbayangkan pria itu.
"Fokus Amara!! Dia cuma pria cabull yang suka curi-curi kesempatan."
-
.
.
.
Jika Amara sekesal itu lantaran membayangkan wajah Syakil, berbeda halnya dengan pria itu sendiri. Saat ini, dengan amarah yang tiba-tiba bersatu, Syakil pulang sembari melaju dengan kecepatan normal.
Setelah sempat dibuat bingung lantaran ketika membuka mata Amara tak lagi berada dalam pelukannya. Aneh sekali, padahal dia sudah sengaja melakukan itu dengan harapan ketika Amara melepaskan diri Syakil akan menyadarinya. Namun yang terjadi sama saja, Syakil kembali ditinggal seorang diri persis seorang pria bayaran yang selesai dengan tugasnya.
"Amara Nairy ... tanggal lahir kalian sama, hanya beda tahun saja, kebetulan sekali."
Yash, Syakil memegang identitas paling penting dalam hidup Amara. Pria itu menarik sudut bibir sembari memandangi wajah lucu Amara. Syakil tidak sebodoh yang dikira, hal semacam ini sudah dia duga.
Dia sedikit jahat, untuk pertama kalinya Syakil mencuri dan menggeledah dompet wanita demi mendapatkan identitasnya. Dengan cara itu, meskipun Syakil tidak berusaha mencarinya bisa dipastikan Amara sendiri yang mencarinya.
Drrrt Drrt Drrt
Baru setengah perjalanan, ponselnya kini bergetar. Syakil menepi lebih dulu demi membuat posisinya aman, ya meski kemampuannya mengemudi begitu mumpuni tetap saja pesan Kanaya yang satu ini harus dia tekuni.
"Mama?"
Matilah dia, Kanaya menghubunginya kembali dan tentu saja isinya ceramah. Syakil lupa pamit tadi malam, yang Kanaya ketahui putra bungsunya ikut reuni, mana tahu dia reuni yang bagaimana Syakil hadiri.
"Ha-halo, Ma."
Bagus!! Kamu kemana saja? Dari semalam nggak bisa dihubungi!! Ini lagi udah pagi belum juga pulang ... tidur dimana kamu?!!
Telinga Syakil rasanya sakit sekali, sang mama tengah mengeluarkan ultimatumnya secara langsung pada Syakil. Pria itu jelas saja ciut lantarn ini kali pertama Kanaya membentaknya begini.
"Maaf, Ma ... a-aku tidur di apartemen Pedro."
Yaya, kamu pikir Mama ini oon apa gimana? Sebelum Mama telpon kamu, Mama sudah telpon teman-teman kamu!! Jawaban mereka sama, nggak tau kamu dimana karena main pergi gitu aja ... sekarang jawab, kamu tidur dimana?
Hendak menjawab hotel, namun dia kembali mengingat jika Kanaya trauma sekali dengan kalimat itu. Pasca Mikhail yang suka sekali menghabiskan waktu di hotel, pikiran Kanaya mmebuat hidup Syakil terkekang.
Ketakutan jika Syakil juga akan sama seperti Mikhail terus saja menghantuinya, meski usia Syakil sudah begitu dewasa tetap saja masalah tidur dimana, sama siapa dan kirim bukti adalah hal wajib karena begitulah cara Kanaya memastikan jika putra bungsunya tidak mewarisi sikap Ibra dan Mikhail.
Hotel kan?
Kelamaan menjawab membuat sang mama geram hingga Syakil panik sendiri. Pria itu tidak mungkin berbohong jika sudah begini. Belum lagi, suara Mikhail terdengar jadi provokator di sana, sudah dia duga manusia itu belum pulang dari kediaman orang tuanya.
"Iya, tapi Syakil sendirian ... semalam mau pulang hujan, jalannya licin rada macet juga."
Pulang!! Sekarang
Pulang, Kil ... keningnya udah dikecup belum? Jangan ditinggal sendirian, wanita kalau marah susah dibujuknya.
Suara siapa itu? Sudah pasti suara kakaknya, seenak dengkul berkata dan asal ceplos. Berani sekali membuat posisi Syakil kian terpojok. Kecup apanya kecup, yang ada dia ditinggal sendirian di tempat tidur.
Mikhail diam!!
Sayang pulang ya, Mama tunggu
Kericuhan di seberang sana mulai terdengar, Mikhail sama sekali tidak berubah. Selain jago bohong dan suka ingkar janji, Mikhail juga pintar sekali jadi kompor. Bukannya menenangkan Kanaya dan meyakinkan jika Syakil tidak akan berbuat macam-macam, malah sebaliknya.
"Iya, Ma ... aku pulang, jangan khawatir."
Memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan, toh dia memang tidak merusak anak gadis orang seperti yang Kanaya khawatirkan. Jadi Syakil memang tidak menyembunyikan hal penting saat ini.
"Kil titip susu beruang sama madu, jangan lupa telur ayam kampung ... belum pulang kan?"
"Ogah!! Beli sendiri!!"
Mendengarnya saja Syakil sudah geli, kenapa juga Mikhail merepotkannya dengan cara yang begini. Tanpa malunya dia meminta hal itu pada Syakil, lagipula masih pagi.
"Tolonglah, hari ini aku nggak bisa keluar ... Zia arisan jadi aku jagain anak-anak."
"Bawa sekalian anak-anakmu, perkara telor aja nyusahin!!" Berani sekali Mikhail memerintahnya ini dan itu, biasanya dia yang memerintahkan Kendrick untuk melakukan segala hal kini Mikhail memintanya melakukan hal semacam itu, harga dirinya sebagai miliarder seakan tidak ada di mata Mikhail.
"Sesekali, berbaktilah kepada Kakakmu ini ... terima kasih, Syakil."
Tuut
Syakil menghela napas kasar kala Mikhail memutuskan sambungan teleponnya sepihak. Kurang ajar sekali memang, untung saja hanya satu saudara yang dia miliki.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Halimah As Sa'diyah
khail emang dasar semprul
2025-01-14
0
Nurhayati Nia
dasar abang kurang asemm 🤣🤣🤣
2024-10-29
1
Ridha Jerome
🤣🤣🤣
2024-08-13
1