Tak hanya membuat pusing Amara, ulah Syakil juga membuat pusing Kanaya. Betapa terkejutnya dia kala tiga mobil khusus barang itu berada di depan pagar rumahnya. Dengan salah satu pria yang masuk dan menyerahkan kresek berisikan pesanan MIkhail.
"Belanjaannya mau diletakkan dimana, Bu?"
Belanjaan? Siapa yang belanja sebanyak itu. Segila-gilanya Mikhail, belum pernah dia membuat Kanaya tiba-tiba panik seperti ini. Selain khawatir belum dibayar dia juga bingung siapa yang gila mendaratkan barang sebanyak ini.
"Anda tidak salah alamat? Rasanya saya sudah belanja bulanan," tutur Kanaya bingung sendiri, hendak memanggil Mikhail namun putranya mungkin sedang sibuk bersama buah hatinya.
"Kamu hanya mengantar ke alamat yang diberikan pak Syakil, Bu ... dan kata penjaga ini benar kediaman pak Megantara."
"Astafirullahaladzim, Syakil!!."
Lama tidak pulang namun sekalinya pulang justru begini. Dalam rangka apa dia belanja sebanyak ini, penjelasan dari pria itu juga tidak membuat Kanaya puas. Dia panik sendiri, wanita itu menghubungi Syakil namun seperti biasa dia kerap kali menonaktifkan ponselnya. Hendak ditolak juga percuma, toh semua sudah dibayar putranya.
"Jadi mau dimana, Bu? Kami siap membantu jika memang harus disusun ke gudang."
Sudah jelas saja semuanya harus diletakkan digudang, memang putranya ini kurang akal sepertinya. Di mata Kanaya ini bukan belanja bulanan lgai, melainkan tahunan.
"Ya sudah, tolong bantu masukkan ke gudang saja."
Pasrah, lagipula jika kanaya menolak hal ini hanya membuat pekerjaan mereka semakin rumit saja, entah untuk apa nantinya, terpakai atau tidaknya, bisa diatasi.
Kanaya menghela napas perlahan, setelah cukup tenang dengan perkembangan Syakil menjadi putra yang begitu hebat, kini dia merasa kepintaran Syakil hilang begitu saja. Putranya tidak pulang, dan kini tiba-tiba yang muncul belanjaannya, bukan dia. artinya ada sesuatu yang syakil sembunyikan dibalik ini semua.
Sementara para karyawan itu memasukkkan belanjaan Syakil dengan Bastian sebagai pengawasnya, Kanaya masuk dan bermaksud menyerahkan titipan Mikhail ini.
Jika Mikhail yang sedikit sinting, kanaya bisa maklumi. akan tetapi, kali ini yang berulah justru Syakil. Benar kata Ibra, jika suatu saat kanaya akan menyesali semua pujiannya pada syakil.
"Mama ... kenapa mukanya begitu?"
Mikhail menghampirinya dan menyadari jika wajah kanaya tidak sebaik sebelumnya. wanita iu bersandar di sofa dan kemudian terdiam begitu saja.
"Ini pesanan kamu, kamu kenapa keluar? Zean sama Sean mana?"
"Ada di kamar, lagi belajar."
Mikhail duduk di sisi Kanaya, dia meraih senjata wajibnya itu. Kanaya hanya menggeleng pelan dengan kelakukan putranya. memang benar, memiliki istri yang jauh lebih muda mmebuatnya juga awet muda.
"Ngomong-ngomong kenapa di belakang rame begitu, Ma? Mama ada acara amal atau gimana?"
"Bukan. Syakil belanja persediaan setahun ... semua isi minimarket dia beli, sudah mama pusing."
Kanaya menyerah, jika sudah begini artinya memang Syakil keterlauan. Merasa penasaran dia berlari ke belakang untuk memastikan sebanyak apa barang yang Syakil beli.
Dengan langkah panjang, Mikhail benar-benar tidak sabar ingin membuktikannya. Dari kejauhan memang sudah terdengar lalu lalang mereka, persis seperti anak buah yang membantu bosnya buka toko.
"Astaga, Bas?!!"
"Iya, Bos? Kenapa?"
"Sebanyak ini?"
Mikhail memang sudah mengira belanjaannya akan banyak, namun bayangannya tidak juga sebanyak ini. Dia mendongak, Syakil benar-benar berbakti, pikirnya.
"Masih ada dua mobil lagi, Bos ... ini belum sebagian."
What? Sebanyak itu? Mikhail berdecak kagum, dia melihat teliti mereka yang begitu gigih mengangkut semua barang belanjaan Syakil. Nampaknya, bukan hanya Kanaya yang akan dibuat mudah hidupnya, akan tetapi dia juga.
"Woah, kalau begini kita tidak perlu jauh-jauh lagi, Bas. Semua sudah tersedia, gratis lagi."
Jika Kanaya panik, lain halnya dengan Mikhail. Otaknya yang selalu bicara tentang keuntungan jelas saja merasa bahagia karena dengan begini tidak perlu susah payah ke minimarket, pikirnya.
"Benar, Bos!! Apalagi ini sudah lengkap, tinggal ambil-ambil saja ... rokok gratis kan, Bos?"
"Aman, kalian ambil saja. Syakil tidak merokok, aku dan Papa juga sudah tidak lagi. Mubazir kalau tidak diambil, Bas."
Ini adalah anugerah bagi banyak orang, mungkin Kanaya kebingungan namun tidak bagi Mikhail. Jika memang Kanaya keberatan, maka dia rela membawa sebagian belanjaan Syakil ke rumahnya, lumayan irit beberapa bulan, pikir Mikhail.
"Baik sekali bos satu ini," puji Bastian pada Mikhail, jelas saja baik, toh uang Syakil yang membeli semua ini.
-
.
.
.
Di sisi lain, gerah kini terasa hingga ke dalam apartement. Sudah hampir lima belas menit Amara dan Syakil duduk di sofa, apartement dengan ukuran tak begitu luas namun sangat nyaman untuk tinggal berdua.
Keduanya masih menanti Eva keluar, meski sudah Amara katakan agar Syakil pergi saja. Seperti yang dia duga sang Kakak tengah menghabiskan waktunya bergumul dengan pria yang mungkin saja berbeda dari sebelumnya.
"Ck, mereka tidak sadar kamu pulang apa bagaimana?"
Errangan dan desa-han yang terdengar jelas dari kamar yang sedikit terbuka itu membuat telinga Syakil sedikit panas. Pria itu bahkan membuka kancing atasnya, dan berulang kali mengusap wajahnya kasar.
"Sudah kukatakan pulang saja, ini sudah biasa dan aku akan masuk ke kamar jika kamu pergi."
"Tunggu saja, paling juga sepuluh menit lagi."
Telinga Amara terganggu, sementara dia bisa terlihat biasa saja. Bingung sendiri kenapa pria ini nekat sekali. Amara mengeluarkan headshetnya, cara paling ampuh untuk bisa menutupi menyelamatkan gendang telinganya.
"Mau juga?" tawar Amara masih memikirkan bagaimana Syakil, sebagai pria dewasa sepertinya hal semacam itu sedikit menyiksanya.
"Boleh, mendekatlah ... jarak kita terlalu jauh." Dia yang seharusnya mendekat, tapi justru meminta Amara sebaliknya.
Syakil mungkin terlihat biasa saja, namun sejak awal masuk matanya sudah mengelilingi ruangan ini. Beberapa foto keluarga yang terlihat sedikit usang, dan juga foto anak kecil yang dia yakini itu bukan Amara, melainkan kakaknya.
"Masih jelas, Kakakmu heboh sekali sepertinya." Syakil menarik sudut bibir, padahal tidak ada yang lucu entah kenapa pria itu harus tersenyum, pikir Amara.
Dugaan Syakil benar, sepuluh menit berlalu dan barulah Eva keluar sendirian dengan tubuhnya yang masih penuh keringat. Pakaian begitu terbuka bahkan tidak mengenakan bra, mata Syakil mendadak ternoda siang ini.
"Kau yang membawa adikku tadi malam?" tanya Eva tanpa sedikitpun rasa malu dan menghebuskan asap rokoknya, sungguh luar biasa.
"Hm, benar."
"Pria yang sebelumnya menjanjikan 25 juta untuk sekali kencan, tapi katanya kau membawanya dan 15 juta sisanya belum dia berikan ... setidaknya tanggung jawab, kau mengganggu rezekiku," ketus Eva dan benar-benar membuat Amata seakan ditelanjangi di depan umum.
"Rezekimu? Kau menjual adikmu tanpa persetujuan darinya, apa kau tidak takut dipidana karena kasus jual beli manusia?" geram sekali rasanya Syakil, pria itu mengepalkan tangan kala wanita itu justru mebatapnya seraya menperlihatkan bibirnya yang sensual.
"Ck, apa perdulimu.Cepat bayar, bukankah tadi malam kau mengatakan akan membayarnya?"
Lima belas juta, kecil saja bagi Syakil. Itupun dia berikan tanpa menganggap Amara sebagai wanita bayarannya. Hanya saja Syakil meminta agar hal semacam ini tidak Eva lakukan lagi.
"Aku tegaskan padamu ... jangan pernah menuntutnya untuk mengikuti langkahmu, jika sampai terjadi lagi, kau berurusan denganku."
Syakil tidak main-main, sorot tajamnya bahkan terlihat seakan menguliti Eva. Jangankan tergoda, yang ada justru Syakil jijik luar biasa melihat wanita dengan pakaian kurang bahan di hadapannya ini. Semakin yakin jika memang bukan saudara, selain wajahnya yang berbeda, etikanya pun amat berbeda.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Halimah As Sa'diyah
mam anterkan ke rumah para penikmat novel aja mam kita siap nerima🤣
2025-01-14
0
Ray Siddiq
bisa jadi Amara adik kandung Ganeta yg terpisah saat kecil
2025-02-04
0
𝙺𝚒𝚔𝚢𝚘𝚒𝚌𝚑𝚒
lho sdh ada s kembar tho
2024-11-28
0