Malam sudah selarut ini, namun Amara masih terus berlari demi bisa menghindari kejaran pria yang menurutnya terlalu menakutkan. Tubuhnya mendadak lemas, lulutya bergetar dan merasa di posisinya ini adalah paling aman.
Memasuki sebuah bangunan tua yang tak lagi berpenghuni, Amara bahkan lebih takut pada Syakil daripada penghuni alam ghaib. Tubuhnya bergetar, wajahnya kini pucat dan berusaha mengatur napasnya pelan-pelan.
"Calm down, Amara ... dia tidak mungkin akan menemukanmu."
Saat ini, di mata Amara semuanya sama. Dunia begitu gelap dan tidak ada lagi kebaikan untuknya. Beberapa kali hal semacam ini kerap terjadi, sejak mengetahui sang kakak menjualnya ke sebuah situs prositusi online, Amara menganggap hati manusia tidak berbeda.
"Jadi gimana, Bos? Lewat timur atau barat?"
Amara menelan salivanya pahit, suara itu membuatnya kian bergemuruh tak karuan. Berusaha untuk tenang, sepertinya mereka juga bukan dalam keadaan mabuk.
"Selatan, penjagaan di rumah Handoko pasti kian ketat ... karena kemarin kita berhasil membunuh satu anaknya, maka malam ini kita tuntaskan saja."
Amara menutup mulutnya yang kini terbuka lebar, sungguh dia merinding mendengar percakapan mereka. Mata Amara masih bisa melihat dengan jelas mereka berbagi senjata, rokok yang tak henti mengepul hampir membuat napasnya terganggu.
"Kalau ada yang mengganggu seperti kemarin?" tanya salah satu pria berambut ikal di sana.
"Libas juga, ingat apa kata Bos kan? Malam ini semua harus tuntas ... kalau sampai gagal, kita tidak akan dibayar full."
Sementara di sisi lain, dengan langkah pelan dan terlihat santai, Syakil masih terus berusaha mencari dimana wanita yang benar-benar berhasil mengusik jiwanya.
Sorot mata elangnya mengelilingi tempat ini, Syakil tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya. Hingga, kala hujan mulai mendera Syakil tetap melakukan usahanya untuk mencari Amara.
Kenapa hal ini harus terulang, perasaannya masih sama. Meski wanita itu bukan Ganeta, mantan kekasihnya. Akan tetapi, Syakil merasakan hal ini persis sama dan tidak ada bedanya.
Tempat yang dia telusuri terlalu gelap, Syakil yakin langkahnya tidak salah. Sama sekali tidak ada keraguan jika memang Amara berlari ke arah yang kini dia tuju.
Gerombolan preman yang tampaknya tengah berteduh di sebuah bangunan tua itu membuat hati Syakil berdenyut tak karuan. Bukan karena dia yang takut, melainkan khawatir Amara akan bertemu mereka.
Syakil memang pemberani, tapi bukan berarti dia nekat bunuh diri. Dia hanya memandangi pria bertubuh gempal itu tengah berbincang bersama anak buahnya, keyakinan Syakil mereka mungkin akan beraksi malam ini.
Masih menjadi pemantau di sini, hanya ingin memastikan jika tidak ada wanita yang mereka jerat. Syakill menghela napas pelan kala mereka meninggalkan tempat iitu, setidaknya bisa dia pastikan mereka bergerombol di sana bukan tengah memaksa seorang wanita.
Petir mulai terdengar, menggelegar bersamaan dengan curah hujan yang kian tinggi. Syakil menuju ke gedung tua itu, selain ingin berteduh pencariannya juga memang belum usai. Pria itu membuka jasnya yang basah, Syakil merasa tidak nyaman mengenakannya.
Sepasang mata menatapnya kian takut, dari jarak yang begitu dekat dia dapat melihat wajah tampan Syakil di bawah sorot lampu yang temaram. Deru napas Amara kian tak menentu kala menyadari segerombolan pria yang tadinya takut kini digantikan sosok pria asing yang memaksakan terasa begitu dekat.
Hingga di detik yang sama, Syakil justru menoleh dan tatapan keduanya terkunci. Pria itu mengerutkan dahi, dengan bermodalkan ponselnya sebagai penerangan, Syakil masuk dengan langkah cepat dan berhasil membuat Amara ketar-ketir.
-
.
.
.
"Jangan mendekat, izinkan aku pergi ... tolong."
Setakut itu dia didekati, Syakil bahkan tidak mengutarakan kalimat ancaman. Entah apa yang menjadi alasan Amara setakut ini, padahal semua perlakuan Syakil sama sekali tidak terlihat jahat.
"Aku tidak akan menyakitimu, tenang Amara."
Syakil mengangkat tangannya, isak tangis wanita itu membuatnya bingung sendiri. Apa ada hal buruk yang pernah Amara alami hingga dia setakut ini.
"Kembalikan ponselku, terima kasih atas kebaikanmu."
Tidak semudah itu, sejak kapan ada yang gratis. Wanita itu menatap sendu Syakil kala pria itu masih terus mendekatinya. Wajahnya memang begitu teduh, rasanya tidak mungkin jika dia berbuat jahat. Akan tetapi, entah kenapa Amara terguncang dan takut sekali.
"Nanti, setelah di hotel aku berikan."
Aneh sekali, cara bicara Syakil masih begitu halus. Meski di matanya Syakil tengah mengincar apa yang dia miliki, namun sama sekali Syakil tak memperlihatkan hal itu.
"Tidak perlu, aku bisa sendiri."
Amara menolak kala Syakil mengulurkan tangannya, mata Amara yang dipenuhi ketakutan dapat Syakil simpulkan jika wanita itu sempat mengalami trauma atas tindakan laki-laki.
"Di sini gelap, kau tidak lupa dengan gerombolan pria bertato yang sempat berdiskusi di sini kan?" Syakil memberikan sejenak jeda sebelum melanjutkan ucapannya. "Bisa jadi mereka kembali, jika ini markas mereka maka kau sama halnya bunuh diri melarikan diri ke tempat ini, Amara," lanjutnya semakin membuat Amara ketar-ketir.
"Kamu takut? Apa aku terlihat mesumm di matamu?"
Sama sekali tidak, Syakil tidak terlihat mesum. Akan tetapi, lebih dari itu. Kekuasaan yang dia gunakan untuk membawanya pergi sudah menjelaskan siapa Syakil sebenarnya.
"Kalau tidak kenapa kamu takut? Trust me, aku tidak akan menyentuhmu, Amara ... hanya ingin memastikan kau beristirahat dengan tenang, itu saja."
Harus dibujuk dengan penuh kesabaran, barulah Syakil berhasil meyakinkan wanita ini. Mungkin cara pria itu sedikit tidak sopan. Syakil menghela napas lega kala Amara mengikuti langkahnya, kaki wanita itu terlihat kotor akibat sengaja melepas sepatunya.
"Apa itu sakit?"
"Tidak, aku baik-baik saja."
Jauh-jauh berlari bahkan kakinya terluka akibat benda tajam. Pada akhirnya berhasil ditemukan dan dia tidak bisa lepas dari jerat Syakil yang kini benar-benar membawanya ke salah satu hotel bintang lima di sana.
"Bohong, kakimu luka ... benar kan?"
Sejak tadi dia memperhatikan langkah Amara, hanya saja hendak mengendongnya Syakil khawatir wanita itu semakin tidak nyaman. Kini, pria itu memeriksa kaki Amara dengan sedikit paksaan namun berusaha tidak terlihat kasar.
"Sudah begini, masih bilang tidak? Kau mati rasa atau bagaimana?"
Sepertinya tugas Syakil akan bertambah, dia harus mengobati luka Amara lebih dulu malam ini. Sebagaimana yang Syakil katakan, dia ingin memastikan jika Amara terlelap dengan nyaman sebelum dia pergi, maka dari itu sebelum Amara tertidur dia akan tetap berada di sini.
"Pulanglah, aku akan tidur sebentar lagi."
"Pulang? Rumahku jauh, besok pagi saja ... aku lelah."
Ini berbeda dari janji Syakil sebelumnya, pria itu berkata hanya ingin memastikan dia istirahat dengan tenang kemudian pulang. Bukan malah ikut tidur juga, pikir Amarah kesal luar biasa.
"Hanya tidur, aku tidak akan mengusikmu." Pria itu sudah merebahkan tubuhnya di tempat tidur, dengan tangan yang kini menutupi matanya, Syakil sepertinya memang cukup lelah.
"Dasar licik," gumam Amara kecil, begitu pelan seraya mencebikkan bibirnya.
"Aku bisa lebih licik dari ini jika mau, Amara."
-Tbc-
Gen Ibra memang begini guys, jan kaget. Tapi ini nggak sebrutal Kakaknya ya. Syakil rada bener dikit, bisa dipastikan dia ga suka jajan kek Mikhail.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Halimah As Sa'diyah
semoga gak tukang ngibul kek abangnya
2025-01-14
0
titiek
betul betul betul. jauh bgt
2025-01-22
1
emak gue
setidaknya syakil masih waras timbang si sinting Mikhail🤣
2024-10-25
1