VIVI
Saat ini Aku sedang berjalan pulang menuju rumahku selepas bermain dari sore hingga malam di rumah Rizal bersama teman teman lainnya.
Sepanjang jalanan yang semakin sepi ini.., petir mulai bergemuruh. Sepertinya hujan akan turun tidak lama lagi. Perasaanku sekarang bercampur aduk setelah Mendengar cerita yang dikatakan Rizal.
‘Baru baru ini Gue juga diputusin sama pacar Gue.. pas anniversary Gue sama dia’
Ucapan Rizal yang barusan ini kembali terlintas dibenakku. Dia tidak pernah bercerita kepadaku tentang pacarnya. Kenapa dia tidak memberitahuku?
Malam ini, aku kembali tidak sempat mengutarakan perasaanku kepada Rizal. Selain karena kondisi yang kurang tepat, aku juga takut membebani pikirannya disaat seperti tadi, yaitu disaat kejadian tak terduga yang terjadi di rumahnya. Sebuah Hadiah yang sangat dibenci Rizal dengan segala kenangan buruknya kembali menghantui Rizal malam ini. Aku khawatir kepadanya karena sepertinya dia trauma kepada benda itu.
“Sejak kecil, aku gak pernah tau tentang Hadiah Pak Gus. Kenapa dihadapanku dan teman temanya..Rizal selalu memasang muka cerianya? Tapi ternyata muka ceria Rizal hanya untuk menutupi kesedihanya, huh..Rizal..Rizal..,” Gumamku perlahan saat berjalan sendirian dipinggir trotoar jalan.
‘Gue udah gak ngerti lagi.., mau Gue buka atau Gue buang juga tetep aja sama sama ngebawa sial buat Gue,’
Suara Rizal bersamaan dengan sendu tangisnya lagi lagi membuatku mengingatnya. Aku masih tidak menyangka Rizal mempunyai masa lalu yang tidak sebaik sifatnya ataupun secerah sumringah wajahnya setiap harinya.
…
DUARRR!
“AAAAAA!!”
Suara petir yang mengagetkanku dari lamunan sepanjang jalan.
Tidak lama kemudian hujan mulai turun. Karena tidak membawa payung, akhirnya aku berteduh pada sebuah halte bus yang kosong sambil menunggu hujan berhenti. Namun sudah lama aku menunggu tapi hujan tak kunjung berhenti. Di tambah dengan udaranya dingin membuatku menggigil.
Aku mencoba memesan taksi online menggunakan Hp-ku, namun ternyata baterainya hampir habis. “Semoga cukup buat aku pesen taksi,” Ucapku berharap harap cemas.
Sudah beberapa menit mencari namun aku tidak mendapat satupun taksi, mereka semua menolak pesananku karena beralasan sudah malam dan hujan serta jarak yang terlalu jauh. Dan di saat yang bersamaan Hp-ku malah mati kehabisan daya.
Aku semakin cemas karena hujan tidak menunjukan gelagat sedikitpun untuk meredakan guyurannya. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak bisa menunggu terlalu lama, kalau terlalu lama kedinginan pada saat hujan bisa membuatku sakit. Tapi aku sadar tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu di halte bus ini, siapa tahu masih ada bus yang lewat.
...
...
Sudah lama sejak terakhir kali aku mengecek jam tanganku, dan sekarang sudah hampir jam 10 malam. Belum ada kendaraan umum yang lewat sedari tadi. Aku juga sudah meletakan tasku di kursi tunggu untuk menjadikannya bantal jika aku harus bermalam di halte ini.
“Hiiiihhh..huuuft..dingin banget..,”
Namun bagaimana aku bisa tidur dengan hawa sedingin ini? Walau aku memaksa untuk tidur tetap saja tidak bisa.
Akhirnya aku kembali bangun dan kembali melihat lihat jalan raya yang lebih sepi daripada kuburan. Benar-benar tidak ada kendaraan yang lewat saat ini.
Namun aku sangat senang ketika melihat sebuah motor yang melaju perlahan di bahu jalan. Aku reflek langsung mengangkat melambai lambaikan tanganku kearah pengendara itu, untungnya pengendara motor itu melihatku dan menghampiriku di halte bus.
“Pak..pak..bisa tolong anterin saya ke rumah saya gak ya? Tolong ya pak, Hp saya juga mati, gak bisa nelpon siapapun,” Ucapku kepada si pengendara motor.
Pengendara motor ini malah diam saja tidak bergeming disaat aku meminta bantuannya untuk mengantarku pulang.
“Oalah Hp kamu mati toh, pantes aku telpon gak diangkat angkat..,” Kata pengendara motor itu.
“Pak?” Sebenarnya siapa bapak ini? Apakah dia ayahku? Namun setelah orang ini membuka helm nya dan membuka jas hujannya aku mengetahui jika orang ini adalah Rizal. Dia kemudian menghampiriku yang sedang duduk di halte.
"RIZAL?!"
“Kamu kedinginan ya? Nih pake jaketku aja,” Ucap Rizal sambil mengenakan jaketnya kepadaku. Saat ini tubuhku menjadi tidak begitu merasa kedinginan lagi.
“Makasih,” Ucapku.
“Udah yuk, aku anter kamu pulang sekalian aja,”
Rizal mengulurkan tangannya, dia mengajakku naik ke motornya. Aku masih duduk di halte sembari memandang wajah Rizal. Bagaimana Rizal bisa ada disini?
"Kok diem aja? ayo naik Vi..,".
…
Saat ini bukan lagi dingin yang kurasakan, melainkan kehangatan dari Rizal yang selalu ada untukku.
“Nih jangan lupa pake mantelnya Vi,” Ucap Rizal sembari memberiku mantel plastik.
Aku masih tidak bisa berbicara kepada Rizal, namun bukankah aku harus berterimakasih kepadanya?
“Vi? mau pulang gak? Kok diem aja?” Tanya Rizal.
“Eh iya iya, aku naik ke motor sekarang,”
Dan kami pun berkendara menerjang derasnya hujan malam ini.
Setelah Rizal telah mengantarkanku sampai ke rumahku, dia langsung buru buru pamit. Rizal beralasan kalau adiknya sedang menunggu di rumahnya saat ini. Rizal pun pergi. Aku bahkan belum berterimakasih kepada Rizal. Aku masuk ke rumah dengan masih mengenakan jaket yang Rizal pinjamkan kepadaku.
“Pak..Buk..Vivi pulang…,”
Pintu rumahku terbuka perlahan, ibuku yang membukakan pintu untukku nampak terkejut.
“Loh Vi.., kamu kok malem malem pulang sendirian? Hujan deres lho ini,” Perkataan seorang ibu yang menghawatirkan anaknya.
“Aku baik baik aja kok bu, barusan dianterin Rizal,”
“Ohh..sama Rizal toh, ibu kira kamu jalan sendirian,” Ucap ibuku lega, “Emang baik banget ya si Rizal dari dulu ke kamu,” Tambah ibuku.
“Aku sih gak kaget bu kalo Rizal baik, hehe,” Gurauku, “Vivi langsung bersih bersih dulu ya bu,”
Aku pun langsung mandi air hangat dan meminum vitamin untuk menjaga kebugaran tubuh sebelum tidur.
Aku sendiri baik baik saja saat ini, beruntung Rizal datang di saat yang tepat. Jika tidak, mungkin sekarang aku masih berada di halte yang dingin. Namun bagaimana dengan keadaan Rizal saat ini? seingatku tadi Rizal pulang dengan tidak memakai jaket.
…
RIZAL
HAACHUUU!
Dimana sapu tanganku? Semenjak pulang dari mengantar Vivi, aku tidak bisa berhenti bersin. Karena tadi aku terburu buru, aku jadi lupa untuk meminta Vivi mengembalikan jaketku, alhasil diriku terpaksa mengendarai motorku menembus udara malam yang dingin sehabis hujan lebat.
“Nih kak..diminum teh anget buatan adek, biar cepet sembuh,” Fadil memberiku secangkir teh.
Aku masih menggigil kedinginan disaat meminum teh buatan Fadhil di ruang tamu. “WUEHH, manis banget Dil..,” Aku terkejut karena teh buatan Fadhil manis sekali, “Nih, buat kamu aja Dil.., kakak mau langsung tidur aja dah capek, nanti kalo kamu mau tidur jangan lupa matiin lampu ya,” Ujarku kepada Fadhil sebelum aku naik ke kamarku.
Saat aku berada di kamarku, aku kembali mendapat surat misterius, surat itu tergeletak di atas kasurku. “Halahhh, surat beginian lagi..siapa sih yang naro beginian diatas kasur! masa Pak Gus yang ngasih ini? kan kamar Gue di lantai dua, masa iya dia lempar?” Gerutuku.
Entah kenapa surat surat seperti ini terus berdatangan belakangan ini.
Aku pun hanya meletakan surat yang ada di kasurku diatas meja belajarku. Tubuhku yang lelah membawaku pada kasurku, otakku seperti menyuruhku untuk segera tidur disaat diriku tak sanggup lagi menahan kantuk dan lelah.
...
...
...
VIVI
Pagi hari ini aku bangun terlambat karena tubuhku yang masih sedikit lelah karena peristiwa semalam. Sepertinya nanti aku tidak jadi ikut untuk main lagi ke rumah Rizal sepulang sekolah, aku akan menyampaikannya kepada Rizal saat di kelas nanti.
KRIIINGGG!!!
Bel berbunyi, pintu gerbang sekolah dibelakangku sudah tertutup, di kelas pun semua murid sudah duduk di mejanya masing masing. Tapi, kenapa Rizal belum masuk ke kelas?
“Selamat pagi anak anak, bagaimana keadaan kalian hari ini?” Ucap Pak Guru yang baru saja sampai, “Baik anak anak, bapak akan cek dulu ya kehadiran hari ini.., …Adit Juliono?”
“Hadir pak!”
“Cahya Kurniawan?”
“Hadir!”
Selagi Pak Guru mengecek kehadiran murid, aku masih celingukan mencari cari Rizal, kenapa dia belum datang?
“Rizal Damardjati?” Seisi kelas diam saja ketika Pak Guru memanggil Rizal, “Rizal Damardjati?!...ada yang tau kemana Rizal?” Tanya Pak Guru. Seisi kelas masih terdiam.
“Rizal sakit Pak, ini suratnya dititipkan ke saya tadi,” Jawab Halim yang tiba-tiba mengatakan kalau Rizal izin tidak masuk sekolah karena sakit.
Rizal sakit? Kenapa dia kembali tidak mengabariku terlebih dahulu? Sudahlah, sekarang aku melupakan sejenak Rizal, aku harus fokus belajar agar pada ujian selanjutnya aku dapat kembali menjadi peringkat 1 di kelas. Aku ingin membuat bangga orang tuaku dan teman-temanku.
...
Pada saat istirahat, aku menghampiri Halim yang sedang nongkrong di kantin bersama teman-temannya.
“Halim.., ikut aku sebentar yuk!” Ajakku begitu melihat Halim yang sedang senggang.
Aku menarik tangannya.
“E..Eh mau kemana ini?” Tanya Halim.
“Udahlah ikut aku aja..,”
Setelah itu aku membawa Halim menuju ke kelas. Di sini aku bertanya kepadanya bagaimana dia bisa tahu kalau Rizal sakit. Halim kemudian menjawab bahwa Rizal sendirilah yang memberitahunya, Halim pun menunjukan buktinya dengan memperlihatkan kepadaku riwayat chat nya dengan Rizal, dan ternyata benar.
“Tapi kok Rizal gak ngasih tau aku kalo dia sakit?”
“Ya gak tau deh, tanya aja sendiri ke orangnya sonoh, coba di chat,” Ujar Halim menyuruhku untuk bertanya sendiri kepada Rizal, tapi Handphone ku aku tinggal di rumah sebab masih di cas karena kehabisan baterai semalam.
“Ya mau gimana lagi, kalo lu kepengen banget ngomong sama dia, nanti pulang sekolah kita bareng bareng aja ke rumah Rijal sekalian njenguk dia, gimana?” Usul Halim.
“Boleh tuh Lim, nanti habis pulang sekolah aku tunggu di depan gerbang sekolah ya!” Aku pun menyetujui untuk menjenguk Rizal sepulang sekolah. Sekarang aku harus fokus dulu dalam belajar disekolah hingga pulang nanti.
…
HALIM
Hampir aja Gue keceplosan kalo sebenernya si Rijal sengaja gak ngabarin Vivi kalo dia sakit, Rijal takut si Vivi bakalan khawatirin dia dan gak fokus sama sekolah. Tapi kok menurut Gue si Vivi santai santai aja tuh, kayaknya gak khawatir sama sekali. Ge’er banget si Rijal kalo si Vivi bakal khawatir mentang mentang temen dari kecil, haha.
Oh iya, tapi kenapa ya si Rijal sakit? Padahal dari awal masuk SMA tahun lalu padahal dia gak pernah absen. Baru kali ini Rijal absen, emangnya hal ini ada hubungannya sama Vivi sampe Rijal gak mau ngabarin Vivi?
...
KRIIINGGG!!!
Horee, udah pulang aja nih! cepet banget dah. Sebenernya sore ini Gue ada rencana tanding basket sama kelas sebelah, tapi gara gara Gue dah janji sama Vivi buat nemenin dia ke Rumah Rizal..ya udah Gue gak jadi tanding. Kalo tim Gue sampe kalah bakal Gue sikat itu anak.
Btw ini Vivi dimana sih? katanya mau nunggu didepan gerbang sekolah, kok belum ada orangnya disini?
“Halim! tunggu!”
Baru aja diomongin akhirnya dateng juga Vivi. Dia kayaknya habis lari lari sampe capek begitu.
“Kok kayak kecapean Vi? habis darimana?”
Vivi njawab kalo dia itu habis dari perpustakaan buat ngembaliin buku, tapi pas dia mau kesini ada guru minta tolong bantuin bawa barang ke ruang guru, yaudah deh Vivi jadinya terlambat, gitu katanya.
“Yaudah yok, kita ke rumah Rijal sekarang,”
Vivi nganggukin kepalanya kayak udah buru buru pengen ke rumah Rijal. Yaudah, kami berdua pun mesen taksi online buat ke rumah Rijal, walau dah dapet tapi nunggu taksinya dateng agak lama. Ngapain dulu sih sopirnya?
“Oooii!... Lim! Vi!”
Dari dalem sekolah Gue liat Akbar yang mendadak nyamperin Gue sama Vivi. Ngapain sih ni anak, dateng dateng sok akrab banget hahaha.
“Pada mau kemana nih?” Tanya si Akbar.
“Ke rumahnya Rizal,” Jawab Vivi.
“Loh, mau main kok gak ngajakin Gue?” Kata si Akbar yang mukanya kayak lagi kesel gitu.
Gue pun njelasin ke Akbar kalo Gue sama Vivi itu ke rumah Rijal buat njenguk doang bukan buat main. Tapi si Akbar tetep maksa ikutan, yaudah akhirnya Gue ajak juga si Akbar. Alasan Gue ngajak Akbar sebenernya karena kasian aja soalnya dia jarang main.
Sesaat kemudian taksi yang kami pesen pun dateng, kami bertiga langsung berangkat ke rumah Rijal.
Pas udah sampe, taksinya malah gak mau dibayar, gimana sih, kok gak mau dibayar? Aneh.
“Udah..udah gak usah bayar boss..hehe,” Begitulah katanya si Sopir sambil menolak uang Gue.
Setelah taksinya udah pergi jauh, Gue masih keheranan kenapa gak mau dibayar?
“Ngapain juga anak CEO taksi online disuruh bayar,” Kata Akbar yang tiba-tiba ngomong begitu yang bikin Gue tambah bingung.
Awalnya Gue ketawa pas Akbar ngomong begitu, Gue kira dia becanda. Tapi sih Akbar langsung bilang kalo dia serius, katanya dia tuh anaknya yang punya perusahaan taksi online yang biasa Gue pakek. "Gue gak boong Lim.., bapak Gue emang beneran CEO-nya perusahaan taksi online ini!"
Wah bener bener sultan dah ni anak. Gue yakin perusahaan orang tuanya pasti masih banyak.
“Yudah yuk, kita masuk aja,” Ajak si Vivi yang kayak udah gak sabar.
Kami bertiga pun masuk ke rumah Rizal.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 71 Episodes
Comments