"Mas, apa nanti tidak masalah kalau ibunya Mira tahu anaknya pergi?" seorang wanita berwajah pucat mengantar juragan Agus sampai ke pintu.
"Aku akan hadapi dia, kamu tenang saja, istirahat jangan banyak pikiran." Juragan Agus menyentuh lembut pipi wanita itu, seulas senyum terbit dari bibir sang istri.
"Ya sudah kalau gitu, hati-hati di jalan ya, Mas." Wanita itu melepas kepergian sang suami dengan tatap sayu.
Deru mobil meninggalkan halaman rumah juragan Agus, wanita itu kembali masuk ke kamar kemudian berbaring sambil menahan sakit di rahim yang hilang timbul.
Raut wajah wanita itu terlihat lelah bertahan untuk hidup lebih lama lagi, kanker yang menggerogoti rahimnya seolah-olah tak memberinya kesempatan untuk menemani suaminya hingga tua.
Dia menginginkan suaminya menemukan pengganti dirinya sebelum ia pergi, supaya pria itu tak larut dalam kesedihan setelah kepergiannya.
Rumah besar ini begitu sunyi, tak ada suara anak kecil, sejak mereka menikah mereka tak dikaruniai anak karena kondisi istri yang ternyata memiliki kanker di rahimnya.
Jika sang suami pergi, dia hanya ditemani pembantu di rumah. Pernah suatu waktu ingin mengadopsi bayi, akan tetapi juragan Agus menolak karena tak mau membesarkan anak itu sendiri jika istrinya tiba-tiba meninggal.
Hingga suatu hari pria itu menemukan Miranda, yang sedang menyuguhkan kopi untuknya, raut wajah yang sering menunduk dan senyuman terpaksa malah membuat juragan Agus penasaran.
Saat juragan Agus menceritakan tentang Miranda pada istrinya wanita itu langsung setuju, walau belum pernah bertemu langsung, dia yakin suaminya telah menemukan wanita yang tepat.
Dia merasa kecewa ketika tahu Miranda memilih pergi dan juragan Agus malah melepaskan gadis itu.
Juragan Agus mendatangi rumah Miranda, saat mobilnya berhenti di depan warung, Marni berhambur keluar menyambut juragan Agus yang ia pikir datang membawa putrinya pulang.
"Wah ... kalian ke mana aja?" Raut wajah Marni berubah saat tak menemukan putrinya, dia melongok ke dalam mobil yang ternyata kosong.
Juragan Agus melangkah masuk ke dalam warung diikuti Marni dengan tatapan bingung, dan menanyakan tentang putrinya.
"Miranda tidak bersamaku, kenapa kamu begitu cemas, bukannya kamu senang kalau Miranda tidak ada?" juragan Agus duduk dengan santai.
"Maksud Nak Agus apa?"
"Miranda pergi, dia ingin merubah hidupnya."
"A-apa, dia kabur? Hah ... dasar anak gak tahu diri!" Marni menggerutu sambil meremas tangannya kesal.
"Sudahlah, dia sudah dewasa biarkan dia menjalani hidupnya dengan tenang, jangan ganggu dia lagi!" Juragan Agus menekan suaranya.
"Dasar anak pungut sialan!" geram Marni lagi.
"Apa katamu, dia anak pungut?" Juragan Agus terkejut mendengar ucapan Marni.
"Iya, dia memang anak pungut, suamiku yang menemukan anak itu, gara-gara Miranda hidupku susah, aku harus membelikan dia susu!" Marni terus meracau mengungkapkan kekesalannya.
"Cukup! Aku ganti semua biaya kamu membesarkan Miranda, tapi ingat jangan pernah kau ganggu anak itu lagi!" Juragan Agus berdiri sambil menunjuk wajah Marni.
"Baiklah, bagus kalau kamu mau mengganti apa yang sudah kukeluarkan untuk anak sial itu!"
"Jaga mulutmu! besok aku kirim uang seratus juta buat ganti rugi kamu membesarkan Miranda!" gertak juragan Agus.
Mulut Marni menganga mendengar nominal angka yang disebutkan juragan Agus, dia tak menyangka pria itu mau memberi uang sebanyak itu.
"Ta-tapi ..." Marni masih bingung.
"Kurang?" juragan Agus melotot, wanita itu mengangguk.
"Baik kutambah lima puluh juta lagi!" juragan Agus meninggikan suaranya
"Se-setuju," Marni bersorak senang.
"Besok sopirku datang membawa uang dan kamu tanda tangan di atas materai bahwa kamu tidak akan mengganggu Miranda lagi!"
"Ba-baik." Marni gemetar, dia masih tak percaya akan mendapat uang dari juragan Agus.
Pria itu meninggalkan warung Marni lalu masuk ke dalam mobil, dan mengajak sopirnya pergi, dia melenguh kesal sambil mengucapkan sumpah serapah pada Marni.
"Besok antar uang pada wanita serakah itu, dan buat surat perjanjian agar dia tak menganggu Miranda lagi!" ucap juragan Agus pada sopirnya.
"Baik Gan, bagaimana dengan Miranda sendiri?" tanya sopir itu.
"Aku sudah memberinya tempat tinggal dan uang untuk bertahan hidup, dia gadis pintar dan kuat dia bisa melalui semua ini sendiri. Aku fokus pada istriku dulu, sakitnya semakin parah." Juragan Agus membuang muka menatap pepohonan di sepanjang jalan, hatinya pilu membayangkan setiap saat istrinya tiba-tiba pergi.
Mobil terus melaju, mereka pergi ke luar kota untuk urusan bisnis seharian dan kembali pulang ke rumah saat malam telah larut.
Keesokan harinya sopir juragan Agus mendatangi Marni, mengantarkan uang sekaligus meminta wanita itu menandatangani surat perjanjian.
Usai menerima surat yang ditanda tangani oleh Marni, sopir itu pergi meninggalkan wanita itu bersama sekantung uang.
Marni langsung menutup warung dan semua pintu, ia membawa kantung berisi uang ke kamarnya dan menghitung uang yang masih dibendel berjumlah lima belas dengan nominal sepuluh juta setiap bendelnya.
Wanita itu kembali memasukkan uangnya ke kantung lalu memeluknya sambil tertawa dan berurai air mata.
"Akhirnya, kau berguna juga Miranda!" Wanita itu tertawa puas, kekesalannya selama ini terhadap gadis itu seolah terobati dengan duit yang saat ini ada dalam pelukannya.
Hari berlalu, Miranda telah dianggap mati oleh Marni, wanita itu membeli perhiasan dan tanah serta pakaian untuk anak-anaknya, dia begitu bahagia dengan uangnya.
Sementara istri juragan Agus dilarikan ke rumah sakit, karena sering mengeluarkan darah dan semakin parah. Juragan Agus fokus menemani istrinya di rumah sakit selama di rawat.
Di tempat lain, Miranda juga mulai mencoba mencari pekerjaan, dia tak ingin menganggur dan mengharap uang dari juragan Agus, bagaimanapun dia harus berusaha sendiri.
Di bantu Ricki, Miranda akhirnya bekerja sebagai pelayan di tempat ia bekerja, gadis itu begitu bersemangat mendapatkan pekerjaan pertamanya.
Malam itu sepulang dari kerja, Miranda mengambil ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan pada juragan Agus, dia memberi tahu pria itu kalau dia sudah bekerja.
Juragan Agus pun menjawab dengan ucapan selamat dan meminta Miranda menjaga diri, serta tak perlu mengkhawatirkan ibunya di kampung.
Gadis itu tersenyum lega membaca balasan dari juragan Agus, rasa lelahnya seketika hilang dan berganti bahagia.
Bagaimana kelanjutan hidup Miranda, dan bagaimana nasib istri juragan Agus, jangan bosan untuk membaca kisah ini ya, terima kasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments