Miranda menatap gumpalan awan dari jendela pesawat, ada rasa takut saat badan pesawat kadang sedikit berguncang, ini pengalaman pertama kali dia naik pesawat sendirian, di sampingnya seorang pria muda duduk membaca buku.
Di kejauhan terlihat awan menghitam, terkadang kilat muncul menari seolah-olah menyambut perjalanan Miranda, pilot menginformasikan kondisi cuaca meminta penumpang memakai sabuk pengaman.
Jantung Miranda berdegup kencang dia memejamkan mata sambil merangkai doa, takut kalau terjadi sesuatu dengan pesawat yang ia tumpangi, tangannya mencengkeram kuat ke pegangan kursi tak sadar kalau yang dicengkeram tangan pemuda yang di sebelahnya.
Sang pemuda pun membirkan tangannya sambil menahan sakit, tanpa mengeluh atau menegur sang gadis, beberapa saat berlalu keadaan kembali normal, pilot kembali menginformasikan kalau keadaan cuaca sudah membaik.
Miranda mulai membuka mata, tubuhnya yang semula tegang perlahan kembali tenang, saat itu dia mulai melepaskan tangannya dari pegangan kursi dan baru menyadari kalau tangan satunya mencengkeram tangan orang.
"Hah ... maaf Mas, tadi saya ...." Miranda kebahisan kata-kata, antara malu bingung dan merasa bersalah.
"Tidak apa-apa kok," ucap pemuda itu sambil mengelus lengannya yang sedikit terluka bekas kuku Miranda.
"Ma- maaf saya baru pertama naik pesawat." Miranda menyeringai malu.
"Ooh ..., ke Bandung mau jalan-jalan apa kuliah?" Pemuda itu mencoba mencairkan suasana.
"Kerja." Miranda masih merasakan malu.
"Kerja di mana?"
"Mmm ... masih belum tahu, nanti sampai di sana baru nyari-nyari kerja," sahut Miranda ragu.
"Ada keluarga di Bandung?"
Miranda menggeleng pelan, pemuda itu menatap gadis di sebelahnya dan semakin penasaran.
"Jadi, nanti mau tinggal di mana?" lanjut pria itu.
Miranda mengeluarkan ponselnya menunjukkan alamat tempat tinggal yang sudah dipesan juragan Agus untuknya.
"Oh ... ini dekat dengan tempat tinggalku, kalau gitu kita barengan aja naik taksi, gimana?" tawar pemuda itu.
"Hah ... beneran, Mas tinggal dekat tempat ini?" Mata Miranda berbinar, sepertinya Tuhan sedang berada di pihaknya saat ini.
"Iya, kosku agak turun lagi, ini sih tempat kos mahal aku gak sanggup ngekos di situ, maklum anak kuliah harus hemat," pemuda itu terkekeh pelan.
"Terima kasih Mas, aku Miranda." Miranda mengulurkan tangannya.
"Ricki, boleh minta nomor ponselmu?"
Miranda mengulurkan ponselnya, karena dia bel um tahu cara menyimpan nomor telepon, dia pun belum sempat memainkan ponsel itu sejak diberikan padanya.
"Tolong simpan nomor Mas Ricki di sini, aku nggak bisa," ucapnya polos.
Ricki tersenyum heran, ada gadis memegang ponsel mahal tapi mengaku tak bisa menyimpan nomor ponsel. Setelah menyimpan nomornya, Ricki mengembalikan ponsel itu pada Miranda.
"Ini nomorku, nanti kalau kita turun baru telpon aku, kamu bawa bagasi?"
Miranda kembali mengangguk, Ricki semakin penasaran gadis ini terlihat lugu tapi penuh misteri, dia semakin ingin mengenal lebih dekat.
Pesawat telah terparkir dengan sempurna, Ricki mengambil tas dari kabin dan mulai antri menunggu giliran keluar, Miranda berdiri di belakang dengan perasaan tak karuan.
Merekapun berjalan beriringan menuju tempat pengambilan barang, jantung Miranda kembali berdesir ini kali pertama dia pergi jauh dari rumah, belum ada bayangan dia mau melakukan apa di kota ini selanjutnya.
"Mana tiketmu?"
Miranda tersentak lalu menyerahkan tiket pada Ricki, pemuda itu langsung mengantre di pengambilan bagasi, dia menyuruh gadis itu menunggu tak jauh dari tempat pengambilan bagasi.
Miranda melihat kopernya dari kejauhan, ia pun berlari kecil mendekati Ricki untuk memberi tahu, pemuda itu mengangguk lalu dengan sigap meraih koper saat tiba di depannya.
Mereka berjalan keluar dari bandara, di pintu keluar para sopir taksi menawarkan jasanya, Ricki mendekati salah satunya untuk memesan, setelah terjadi kesepakatan Miranda dan Ricki menunggu sang sopir mengambil mobilnya.
Sebuah mobil taksi membunyikan klakson dan sang sopir melambaikan tangan agar Ricki dan Miranda segera masuk, keduanya bergegas masuk mobil setelah meletakkan koper dibagasi. Mobil melaju menuju alamat kos Miranda.
Jalanan begitu padat merayap sangat berbeda dengan suasana di kota Miranda, gadis itu menikmati perjalanan mencoba mengingat setiap sudut jalan yang ia lewati, sementara Ricki berbincang akrab dengan sopir menggunkan logat sunda.
Beberapa saat berlalu mobil pun masuk ke sebuah tempat kos dan berhenti, Miranda melongok dari dalam mobil, menyadari kebingungan pada wajah sang gadis, Ricki menepuk pundak dan mengajak turun dari mobil.
Sebelum turun Ricki memberikan sejumlah uang pada sopir taksi dan mengucapkan terima kasih, sementara Miranda mengeluarkan koper miliknya dari bagasi.
"Hubungi nomor pemiliknya, ada kan?" tegur Ricki melihat Miranda masih termangu.
"Mmm ... iya, ada." Gadis itu menghubungi nomor pemilik kos.
Beberapa saat kemudian seorang pemuda datang menemui mereka, setelah berbincang pemuda itu menunjukkan kamar untuk Miranda, Ricki pun ikut mengantar Miranda ke kamarnya.
"Ini Teh kamarnya, dan ini kuncinya kalau butuh sesuatu Teteh hubungi saya aja, saya Dadang nomor saya di sini ya Teh," ucap pemuda itu sambil menunjuk sticker yang ada di pintu.
"Iya Mas, terima kasih," ucap Miranda dengan senyum manis.
"Wah bagus banget, berapa sebulan?" tanya Ricki sembari masuk ke dalam memeriksa kamar.
"Hmm ... kemarin, anu ... saudara pesenin ini," ucap Miranda ragu.
"Kamu anak orang kaya ya, ngapain kerja jauh-jauh?" Ricki menghempaskan dirinya di sofa.
"Nggak juga, aku dari keluarga biasa makanya aku merantau."
Miranda meletakkan kopernya di dalam lemari kemudian duduk di ranjang karena kursi hanya satu dan di pakai oleh Ricki.
"Oh ... ya, tadi berapa uang taksinya?" Miranda baru teringat ongkos taksi.
"Ah ... sudah lah biarin, mana nomor kamu Mir, coba kamu telepon aku."
Miranda mengeluarkan ponselnya lalu menelpon nomor Ricki, terdengar suara ponsel berdering dari balik saku celana pemuda itu, dengan sigap dia mengeluarkan lalu menyimpan nomor Miranda di ponselnya.
"Kalau begitu aku pergi dulu, nanti malam aku ke sini kita makan bareng yuk!" ajak Ricki.
"Kosmu jauh dari sini?" tanya Miranda.
"Deket beberapa blok aja, mau lihat tempat kosku? tapi jangan diketawain ya." Ricki terkekeh pelan.
Miranda mengangguk dia juga ingin tahu di mana Ricki tinggal paling tidak kalau ada apa-apa dia bisa ke tempat pemuda ini, sekalian sambil mengenal wilayah ini.
"Mau naik ojek?" tawar Ricki.
"Jauh apa deket, kalau deket jalan aja lah."
"Ya, kalau buat aku sih deket, yuk!"
Mereka berdua keluar dari kamar Miranda lalu bergegas pergi, di halaman mereka bertemu lagi dengan Dadang dan menyapanya.
"Mau ke mana, Teh?" tanya Dadang sopan.
"Antar Ricki ke tempat kosnya, permisi Mas Dadang," pamit Miranda, di sambut senyum ramah oleh Dadang.
Keduanya berjalan menuju tempat kos Ricki, lumayan juga perjalanan yang di tempuh untuk sampai di tempat kos pemuda itu.
*Hai terima kasih sudah membaca, jangan lupa like dan suportnya ya
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments