Pamit

Miranda menggeliatkan tubuh, membuat tulangnya berbunyi, aroma kopi menguar menusuk hidung membuatnya terbangun dan mendapati juragan Agus tengah mengaduk kopi buatannya.

Gadis itu merasa kikuk saat sadar ada orang lain di kamar, entah jam berapa pria ini masuk ke kamar dan memperhatikan dia tidur, atau mungkin sudah dari tadi malam, otak Miranda sibuk menerka.

"Sudah bangun, mandi lalu kita sarapan. Kita makan di kamar saja," ucap juragan Agus saat tahu Miranda sudah bangun.

Pria itu sudah terlihat segar dan rapi, meski tidak berganti baju, gurat-gurat tampan di wajahnya masih terlihat jelas. Miranda bergegas ke kamar mandi.

"Pakailah baju yang kubelikan semalam," ucap juragan Agus sebelum Miranda menutup pintu kamar mandi.

Gadis itu kembali keluar lalu mengambil salah satu baju di koper dan dibawa ke kamar mandi untuk ganti.

Sesaat dia termangu di depan kaca, kembali bertanya pada diri sendiri tentang rencana kepergiannya, ia pun berbicara dengan dirinya sendiri dan meyakinkan kalau ini pilihan yang tepat.

Tubuh Miranda kembali segar, ia keluar dengan mengenakan pakaian baru dan membungkus baju kotornya dengan kantong plastik, ia berjalan ragu mendekati juragan Agus yang tengah menonton berita di televisi.

"Mau sarapan apa?" tanya juraga Agus dengan lembut.

"Terserah Mas Agus saja," sahut Miranda lugu.

Pria itu memesan sup buntut dan roti panggang melalui telepon hotel, kemudian memeriksa ponselnya dan melakukan panggilan telepon.

"Aku mau ke bandara, ada urusan nanti pulangnya malam, Bunda mau nitip sesuatu?" ucap pria itu pada seseorang yang dia ajak bicara melalui telepon.

"Ya, aku mau antar Miranda ke bandara, dia mau pergi," ucapnya lagi, Miranda hanya menguping tak berani bersuara.

"Nggak apa-apa Bunda, Ayah nggak mau maksa juga, Bunda sarapan ya, Ayah juga lagi nunggu sarapan ini, love you." Juragan Agus menutup teleponnya lalu meletakkan kembali ponselnya di meja.

Miranda menatap pria itu, dia ingin tahu dengan siapa juragan Agus berbicara barusan tapi ia tak berani bertanya.

"Istriku," ucap juragan Agus seolah mengerti arti tatapan Miranda.

"Memangnya beliau tahu, Mas Agus jalan dengan saya?"

"Iya, aku juga bilang aku menyukaimu," jawab pria itu datar.

"Apa dia tidak marah?"

"Sudah lama dia menyuruhku menikah, sejak tidak bisa melayaniku lagi."

"Maksudnya?" Miranda penasaran.

"Istriku kena kanker rahim stadium empat." Wajah juragan Agus berubah murung.

"Oh ... tapi kenapa malah menyuruh Mas Agus menikah, bukannya harusnya kalau istri sakit itu suami harus setia, bukan mencari wanita lain?" cecar Miranda gemas.

"Hmm ... sebenarnya aku juga tidak ingin menikah lagi, tapi saat melihatmu aku jatuh cinta lagi dan itu kusampaikan pada istriku, beberapa kali dia berusaha menjodohkan aku dengan wanita pilihannya tapi aku tidak mau."

Suasana berubah hening, Miranda tak lagi bertanya dan juragan Agus terlihat menyembunyikan kesedihannya. Suara bel pintu membuyarkan lamunan keduanya, juragan Agus bergegas membukakan pintu dan pelayan hotel masuk mengantarkan sarapan.

Setelah pelayan pergi, juragan Agus mengajak Miranda sarapan bersamanya. Gadis itu mulai terbiasa dan tak lagi merasa khawatir seperti sebelumnya.

"Aku nanti mau ke rumah teman sebentar ambil barang," ucap Miranda di sela-sela makan.

"Nanti bilang aja sama supirku alamatnya di mana, kita mampir sebelum ke bandara, kamu masih ada yang mau dibeli sebelum berangkat?"

"Sudah, Mas sudah terlalu banyak memberiku sesuatu." tolak Miranda.

"Aku sudah kirimkan alamat tempat tinggalmu nanti di ponselmu, kamu naik taksi dan minta antar ke alamat itu." Juragan Amir mengelap mulutnya dengan tisu dan mengakhiri sarapannya.

"Mas, terima kasih untuk semua ini, maafkan aku tidak bisa memenuhi keinginanmu," ucap Miranda lirih, bagaimanapun dia harus berterima kasih pada pria ini meski awalnya dia sangat benci.

"Tidak apa Mira, sekarang kamu tidak menyukaiku, suatu hari jika kamu membutuhkanku aku selalu ada buatmu, aku menunggu hari itu tiba."

Miranda juga mengakhiri sarapannya, dia menyeruput teh yang dibuatkan oleh juragan Agus untuknya. Seandainya keadaan tidak seperti ini mungkin ia akan berpikir ulang tentang juragan Agus, tapi kalau ibunya masih ada tak akan ada bahagia, karena wanita itu akan terus mengatur hidupnya.

Ponsel juragan Agus berdering sebuah pesan masuk dan ia membacanya, pria itu menyuruh Miranda bersiap-siap karena sopir sudah menunggu di lobi.

Mereka berdua turun ke lantai dasar, setelah sampai di lobi juragan Agus menyuruh Miranda menunggu di mobil bersama sopir, sementara dia menyelesaikan pembayaran.

"Mbak Mira mau pergi?" tanya sopir saat mereka berduaan di mobil.

"Iya, tolong jangan bilang sama ibu aku pergi ke mana ya Mas," pinta Miranda pada sopir juragan Agus.

"Tenang, saya hanya ikut perintah juragan Agus, " ucap pria itu sambil memperhatikan wajah Miranda dari kaca spion.

Juragan Agus sudah datang, pria itu masuk dan duduk di samping Miranda lalu memerintahkan sopir untuk meninggalkan tempat itu.

"Oh ya, Miranda tadi mau minta antar ke mana?" tanya juragan Agus, Miranda pun menyebutkan alamat Firman sahabatnya.

Mobil pun melaju menuju rumah Firman, sesampainya di rumah Firman, Miranda turun dari mobil dan berjalan masuk ke rumah sahabatnya itu.

"Mira, dari mana kamu sepagi ini?" Firman yang tengah di teras melongok ke arah mobil yang dinaiki Miranda.

"Fir, aku mau ambil ijazahku, dan sekalian aku mau pamit," ucap Miranda pelan.

Firman memegang tangan gadis itu, mendengar wanita pujaannya mau pergi ada rasa nyeri di ulu hatinya.

"Kamu mau pergi, sekarang, kemana?" cecar Firman cemas.

"Aku kabur ke Bandung, tolong simpan nomormu di sini." Miranda menyodorkan ponselnya.

"Kamu serius mau pergi, sama siapa?" Firman kembali melongok ke arah mobil yang parkir di depan rumahnya mencari tahu siapa yang ada di dalam sana.

"Tolong jangan beri tahu ibuku ke mana aku pergi," ucap Miranda lagi.

Firman bergegas ke kamar mengambil ijasah milik Miranda, pemuda itu mengambil uang di dompet dan meletakkan di dalam map ijasah lalu kembali ke depan menemui gadis yang menunggunya di teras.

Miranda duduk sambil menatap burung piaraan yang berjajar di sangkar, bunga-bunga gantung menghiasi teras depan terlihat sangat asri dan berbunga warna warni.

Rumah sederhana namun terasa begitu nyaman dan tenang, Firman anak tunggal dan hanya tinggal berdua dengan sang ibu sejak kepergian sang ayah.

"Ini Mir, nomorku sudah kumasukkan di situ, oh ya kabari aku kalau kamu sudah sampai di sana ya." Firman menyerahkan ponsel dan map berisi ijasah pada Miranda.

"Aku berangkat ya, Fir. Terima kasih untuk semuanya, salam buat Ibumu," pamit Miranda.

Firman tersenyum kecut mengantar Miranda ke mobil, separuh hatinya hilang bersama hilangnya bayangan mobil yang membawa Miranda pergi.

***

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!