Tak ada hari minggu bagi Radith, lelaki itu tetap masuk ke kantor meski sepi. Dia hanya tak tahu ingin menghabiskan waktu kemana. Biasanya dia akan pergi ke rumah Luna dan meneumpang makan, tidur atau main di sana, namun kini Darrel sudah pulang, Luna pasti bersama lelaki itu dan Radith hanya akan menganggu mereka.
Memang sudah seharusnya seperti itu kan? Luna bersama dengan kekasihnya dan Radith mau tidak mau harus menjadi baik – baik saja akan hal itu. Radith hanya merebahkan dirinya di sofa dan bermain game. Padahal dia sudah merasa bosan, namun dia tetap memaksakan diri sampai akhirnya dia emosi dan melempar ponselnya entah kemana.
"Gue mau kemana? Gue harus apa? Gila, biasanya juga gak gini, biasanya baik – baik aja. Kenapa sekarang gue ngerasa bosen banget? Rasanya kayak ada yang kurang, apa ya?" tanya Radith pada dirinya sendiri. Lelaki itu menggelengkan kepalanya dan memaksa otaknya untuk berpikir, apa yang dia inginkan sebenarnya.
Mata Radith langsung tertuju ke arah pintu. Lelaki itu memungut ponselnya dan segera keluar dari ruangan melalui pintu itu. Dia melihat isi ruangan karyawan yang berisi tujuh orang termasuk Lira. Lelaki itu masuk dan mengecek semua barang yang ada di sana. Mulai dari meja bagian bendahara, sekretaris dan berakhir di meja Lira.
Radith berdehem dan melihat sekitar, sikapnya saat ini persis seperti penguntit atau pencuri yang sedang beraksi, padahal dia ada di kantornya sendiri. Lelaki itu membuka laci meja milik Lira, namun tak ada apapun di sana. Bahkan memang tak ada benda apapun di meja Lira. Apakah gadis itu selalu membawa pulang pekerjaannya?
"Dasar! Buku yang gue kasih itu kan buku penting, harusnya gak sembarangan dibawa pulang gitu dong. Gak bisa gue diemin nih, harus gue samperin nih," ujar Radith yang langsung berdiri dan keluar dari ruangan itu menuju lantai dasar sebelum akhirnya masuk ke dalam mobilnya dan pergi meninggalkan gedung yang dijaga beberapa security itu.
Radith emiliki ingatatn yang bagus, dia masih ingat jalan untuk masuk ke rumah Lira, namun dia memilih memarkirkan mobilnya di depan minimarket dan berjalan melewati gang kecil agar tidk kesulitan. Lelaki itu sedikit meringis. Baginya, lingkungan rumah Lira cukup kecil dan cenderung kumuh, beda jauh dengan gaya hidupnya dan orang di seikitarnya.
Lelaki itu sudah berdiri di depan sebuah rumah dengan pintu yang terbuka. Saat dia akan mengetuk, dia melihat seorang anak kecil keluar dari dalam rumahnya dan terkejut dengan kehadirannya, namun dia hanya tersenyum dan langsung berlari lagi, entah ingin pergi ke mana.
"Maling? Mana ada maling anak kecil imut kayak gitu? Wah, kayaknya harus gue ikutin tuh," ujar Radith yang sedikit berlari agar tidak ketinggalan jejak anak kecil itu. Apalagi Radith melihat anak itu membawa sesuatu, mungkin saja anak kecil itu memang mencuri sesuatu dari rumah Lira. Namun Radith langsung membuang pikiran tersebut saat tahu kemana anak kecil itu pergi.
Anak kecil itu tampak memberikan sesuatu pada seseorang yang paling dewasa di sana. Rupanya yang dia bawa adalah spidol hitam, orang dewasa itu sendiri tersenyum dan mulai menuliskan huruf huruf dan angka – angka di papan tulis itu. Di dekat orang itu juga terdapat setumpuk buku pelajaran dan buku tulis.
Sementara di depan anak itu, banyak anak kecil yang duduk dan memperhatikan dengan seksama. Sepertinya mereka sedang belajar bersama. Radith memilih untuk tetap berdiri di tempatnya dan melihat apa yang akan orang itu lakukan. Orang itu mengajari mereka mulai dari yang paling kecil, sampai yang cukup besar.
Perlu diakui, Radith kagum melihat orang itu mengajar mereka, orang itu tampak tuus dan sangat hangat, apakah yang Radith lihata saat ini adalah kepribadian asli orang itu? Kepribadian yang menyukai anak kecil dan bahkan mau memberikan les pada mereka semua. Padahal hari minggu satu – satunya hari dimana orang itu bisa beristirahat.
"Mbak, tadi aku lihat ada mas – mas nyariin mbak di rumah mbak, tapi tadi aku buru – buru ambil spidol, jadi aku gak tanya," ujar anak kecil yang tadi dikejar oleh Radith sampai ke tempat itu. Orang dewasa yang diajak bicara pun tampak terkejut dan menengok ke jalan menuju rumahnya, makin bertambah kagetlah dia.
Dia melihat seorang lelaki memekai kaos santai, sepatu santai dan celana jeans kekinian, sangat jauh dari penampilan yang biasa dia lihat. Namun kini yang lebih penting, orang itu ingin tahu alasan kedatangan Radith ke tempat seperti ini, padahal ini bukanlah jam kerja.
"Pak Radith, ah maaf, Radith, Lo ada perlu apa datang ke sini?" tanya orang itu saat melihat Radith dan langsung ijin pada anak – anak itu untuk bicara dulu pada Radith. Radith yang ditanya hanya diam tanpa ekspresi, padahal dalam hatinya dia memikirkan alasan dia datang ke sini. Otaknya kesulitan karna mengangumi keadaan yang ada di depannya.
"Ah, gue mau ambil buku yang waktu itu gue kasih ke Lo. Itu buku perusahaan yang sangat penting, Lo gak bisa sembarangan bawa pulang, Lo bisa dicurigai sebagai mata – mata dan pengkhianat loh," ujar Radith yang membuat Lira tertegun, namun dia segera tersadar dan menatap Radith.
"Maaf, soalnya Lo Cuma kasih waktu guee singkat banget dan gue ngerasa bisa nyelesaiin semua waktu di rumah, jadi ya gue bawa ke rumah. Tapi gue bukan mata – mata atau pengkhianat kok, beneran deh. Besok bakal gue bawa lagi ke kantor," ujar Lira dengan gagap, Radith menghela napasnya sambil memantap Lira dengan mata malas.
"Ya udah, beneran besok dibawa, kalau Lo sampai lupa, gaji Lo bulan ini gak kan cair," ujar Radith yang membuat Lira melongo, namun Lira langsung menganggukan kepalanya agar Radith tidak menatapnya dengan ganas seperti sekarang. Lira kembali terdiam saat Radith yang mengatakan apapun lagi.
"Lo ke sini Cuma buat nanyain buku? Tapi kan Lo bisa telpon aja dan minta gue bawain ke sana kalau Cuma buku, kenapa repot – repot datang ke sini?" tanya Lira yang membuat Radith kikuk, tak mungkin kan dia mengatakan yang sejujurnya? Bisa mati kutu dia di depan asisten perusahaan ini.
"Gue lagi jalan – jalan di luar, kebetulan gue ingat tentang buku dan pas banget gue lagi ada di dekat sini, jadi gue sekalian ambil, antisipasi juga kalau Lo ternyata orang jahat dan kabur kalau gue telpon dulu, who knows kan?" tanya Radith yang membuat Lira meliriknya kesal. Lira kembali ke anak anak itu saat dipanggil, sementara Radith berjalan santai dan duduk di sebuah kursi kayu panjang yang ada di sana.
"Lo tiap minggu kayak gini? Atau tiap hari?" tanya Radith saat anak – anak itu sedang istirahat. Lira mengatakan kalau dia memberikan les singkat setiap minggunya. Radith menganggukan kepalanya tanda paham. Radith merasa suasana akan menjadi canggung jika mereka hanya diam
"Terus, Lo dibayar berapa kasih les ke anak segini banyaknya?" tanya Radith yang membuat Lira terkekeh, hal itu tentu membuat Radith tak paham. Tak ada yang lucu, kenapa gadis di hadapannya ini bisa tertawa? Namun Lira segera menghentikan tawanya saat melihat raut serius Radith.
"Gue gak dibayar sama sekali kok. Mereka ini bukan anak – anak orang berada. Kebanyakn dari mereka gak bisa sekolah, sebagian lagi putus di tengah jalan, ya, sebagai manusia gue ahrus banu mereka walau gue Cuma bisa bantu dikit aja," ujar Lira yang membuat Radith menengok kaget.
"Lo gak dibayar sama sekali? Dan Lo mau? Gue tahu ngajar anak segini banyak itu capek Loh, Lo gak minta bayaran sama sekali? Atau Lo udah minta tapi gak dikasih?" tanya Radith yang membuat Lira meliriknya dengan kesal, Radith itu pintar dan mungkin cerdas, kenapa dia tak bisa mengerti maksud Lira?
"Kalau mereka mampu buat bayar gue, lebih baik mereka ke sekolah umum lah, udah jelas gurunya ahli dibidangnya dan mereka bisa dapat Rapot dan sebagainya. Tapi nasib mereka gak seberuntung itu, mereka gak punya uang buat sekolah, bahkan untuk makan pun sulit. Kebanyakan dari mereka kerja jadi tukang koran, atau jual gorengan keliling gitu."
"Terus, semua minuman ini?" tanya Radith menunjuk satu dus teh kemasan gelas yang ada di sana. Lira tadi membagi – bagikannya pada anak – anak itu, jika Lira tidak dibayar dan orang – orang di sini tidak mampu, bagaimana Lira membeli satu dus penuh isi minuman gelas ini?
"Kan gue Cuma ngajar tiap satu minggu sekali, nah tiap hari tuh mereka kayak ngumpulin uang sendiri dan beli ini bergiliran. Gue gak pernah minta, tapi mereka bilang kalau Cuma ini yang bisa mereka kasih sebagai tanda terimakasih, gue gak tega nolaknya dong. Mereka tulus banget soalnya," ujar Lira dengan senyum tulusnya.
"Gimana bisa anak sekecil ini bukannya sekolah tapi malah kerja? Memang mereka bisa menghasilkan banyak? Ini sih masuknya udah eksploitasi anak, gak bener orang tuanya," ujar Radith yang membuat Lira menepuk pundak Radith cukup keras, membuat lelaki itu meringis kesakitan dan menatap Lira dengan kesal.
"Bagi Lo dan bagi Gue juga, itu emang eksploitai anak. Di saat anak harusnya main, sekolah, senang – senang, mereka harus kerja. Tapi orang tua mereka pun bukan bahagia minta mereka begitu, semua karna tuntutan kehidupan, kita gak bisa nyalahin mereka karna kita gak ada di posisi mereka," ujar Lira yang kini membuat Radith terdiam.
"Mereka emang gak bisa lanjut buat sekolah karna biaya, tapi setidaknya pengetahuan mereka gak putus. Mungkin apa yang gue tahu terbatas, tapi gue bakal berusaha kasih yang terbaik buat mereka, biar mereka punya harapan buat masa depan lebih baik. Walau itu Cuma angan sih, nyatanya hidup mereka juga gitu – gitu aja," ujar Lira pelan.
"Gak Cuma anak orang kaya yang punya mimpi. Gak Cuma anak orang kaya yang mau jadi dokter, polisi atau bahkan lulus dari universitas yang bagus. Sayang kebanyakan dari mereka terkendala biaya dan harus bantu ortunya dibanding lanjut sekolah, gue gak mau hidup mereka bakal berputar disitu tanpa dikasih kesempatan, makanya gue ngajar mereka dan kasih bantuan waktu mereka mau sekolah."
"Tapi orang – orang kaya di luar sana, banyak yang tutup mata akan kondisi mereka, jangankan dipedulikan, tahu aja enggak kok. Kebanyakan orang hanya memupuk kekayaan seolah mereka akan jatuh miskin kalau ngasih sedikit aja buat anak – anak ini."
"Makanya gue mau kerja yang rajin, jadi orang sukses dan bantu mereka semua biar mereka dapat apa yang mereka mau, biar mereka punya kesempatan arna gue tahu mereka mampu, tapi gak ada yang mau kasih peluang ke mereka hanya karna status sosial. Gue memimpikan hal itu sejak lama."
"Itu juga alasan Lo minta gaji diawal? Buat mereka – mereka ini?" tanya Radith yang membuat Lira menoleh. Gadis itu menggaruk lehernya, bingung untuk mengatakan pada Radith atau tidak, namun akhirnya dia mengatakan yang sejujurnya.
"Kalau uang itu sebenernya buat uang spp adik gue. Minggu depan harusnya adik gue ujian, tapi kayaknya dia gak akan bisa ikut ujian karna dia belum bayar uang SPP dan uang perawatan gedung sekolah. Dia udah pasrah dan bahkan bilang gak masalah dia gak tamat, yang penting dia udah dapat ilmunya, tapi gue sebagai kakak gak mungkin biarin dia gak tamat sekolah Cuma karna masalah SPP."
"Tapi batas waktunya besok. Jadi seteah ini gue bakal nyari pinjeman dulu, mungkin gadai ponsel atau apapun, yang penting uang sekolah adik gue beres dan dia bisa ikut ujian, dapat ijasah dan cari kerja yang layak," ujar Lira panjang lebar, gadis itu masih melihat ke arah anak – anak yang mengerjakan soal darinya, mereka tampak konsentrasi dan tidak menyontek sama sekali.
"Adik Lo yang anak kecil itu?" tanya Radith yang dijawab gelengan kepala oleh Lira, Lira menjelaskan kalau adiknya lelaki dan sudah SMA, makanya adiknya itu memilih untuk tidak melanjutkan sekolah dibanding menajdi beban kakaknya. Toh dia bisa bekerja kasar untuk kebutuhan keluarga kecil itu.
"Kenapa Lo gak jelasin alasannya ke Gue waktu itu?" Lira pun menjawab karna Radith sudah menatapnya dengan garang, dia juga menyadari dia belum lama bekerja, jadi dia akan mencari cara lain.
"Kalau gitu gue balik dulu, gue masih ada keperuan lain setelah ini. Jangan lupa bukunya besok Lo bawa dan Lo harus udah hafal satu bab baru karna besok gue bakal ngetes Lo," ujar Radith yang dijawab sikap hormat oleh Lira. Lelaki itu langsung pergi dari sana tanpa berpamitan pada anak – anak itu.
"Mbak Liora. Mas – mas tadi siapa mbak? Pacarnya mbak Liora ya?" tanya anak kecil yang disambut sorakan ciye dari semua orang, Lira terkekeh dan menggelengkan kepalanya, lalu meminta mereka untuk diam.
"Dia bosnya mbak Liroa. Kalau ketemu kalian harus panggil Om ya jangan mas, terus jangan ngomong kayak gini di depan Om itu, nanti Om nya gigit kalian," ujar Lira yang membuat mereka memandang satu sama lain.
"Om Zombie, hiii." Mereka langsung memeluk orang di sebelahnya dan hal iu tentu membuat Lira terkekeh, membayangkan Radith sungguh menjadi zombie di depan mereka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 168 Episodes
Comments
Alvi Danis
Lanjut Thor
2020-05-25
1
Ona Syahputri
sabar ya radith
2020-05-25
1
Farida
thorrr harus nya author kasih 2 versi cerita nya, Luna darrel ma Luna Radit.. itu sieh pengen nya aku Thor... hehehehe
2020-05-24
1