Suara detak jam di dinding terdengar karna ruangan yang hening. Seorang pria terdiam sambil memainkan pulpen di tangannya. Pandangannya menerawang karna dia sedang berpikir, memikirkan sesuatu yang tak pernah terlintas di benaknya sebelum dia pergi ke tempat itu. selama ini dia berpikir bagaimana caranya menjadi sukses, namun kini orang gadis membuka matanya tengtang hal baru.
"Selama ini gue Cuma mikirin gimana usaha gue berkembang. Kenapa sekarnag gue keganggu banget sama isi pikiran dia? Ck, tahu gitu gue gak pergi ke rumahnya kemarin. Kayaknya gue harus lakuin sesuatu," ujar Radith yang langsung bangkit dari duduknya. Dia keluar dari ruangan dan menatap ruang karyawan yang kini dihuni banyak orang.
"Kalau kerjaan kalian udah selesai, kalian bleh pulang. Saya ada urusan jadi gak bisa kasih kalian kerjaan lain. Kalau belum selesai kalian harus lembur, gak ada protes, saya pergi sekarang." Radith yang hanya berdiri di depan pintu langsung pergi dari sana usai memberikan intruksi pada mereka.
"Kerjaan gue banyak, lembur deh gue hari ini," ujar salah satu pegawai yang langsung menundukkan kepalanya, padahal dia berencana mengerjakan setengah dari pekerjaannya dan setengahnya lagi besok, namun Radith malah memberikan perintah yang membuatnya tidak bisa melakukan hal itu. sementara itu teman – temannya menatap dia dengan tatapan kasihan.
"Tenang aja, kerjaan gue Cuma dikit, nanti kalau gue udah selesai, Lo kirim aja ke PC gue, nanti gue bantu kerjain," ujar seorang yang lain. Lira yang tidak ada kerjaan pun ikut menyimak mereka. Pekerjaan Lira sudah selesai dan bahkan jika dia ingin pulang, dia bisa pulang saat ini juga, namun dia merasa harus solider dengan teman – temannya.
"Eh, kalian kok pakai Lo- Gue di jam kerja? Di sini kan ada saluran Audio, apa gak papa? Nanti kalau pak Radith tahu gimana?" tanya Lira yang menyadari hal itu. Mereka tertawa melihat Lira, namun mereka ingat Lira anak baru di sini, wajar saja Lira bingung dan bertanya.
"Kalau pak Radith kasih intruksi kayak tadi, berarti kerja kita udah bebas, sebebas – bebasnya. Lo boleh panggil orang – orang di sini pakai nama apapun, dan kalau pekerjaan Lo udah selesai, Lo boleh langsung balik dari sini," ujar pegawai itu yang membuat Lira mengangguk paham.
"Ah iya, kerjaan Gue udah selesai. Kerjaan Lo banyak kan? Ada yang bisa gue bantu gak? Mana tahu ada yang gampang jadi bisa gue kerjakan," tawar Lira dengan senyum di wajahnya. orang itu menggelengkan kepala dengan ringisan di wajahnya, hal itu tentu saja membuat Lira bingung, bukankah dia butuh bantuan? Kenapa menolak bantuan Lira?
"Lo jangan pernah nawarin bantuan tentang pekerjaan kantor, atau nanti yang Lo kasih bantuan malah yang kena. Lo di sini sebagai asisten pak Radith dan di sini Cuma Lo yang kerjanya nunggu apa yang pak Radith kasih dan gak boleh ngerjain pekerjaan yang gak dia kasih."
"Bisa gitu juga? Bukannya kalau gue udah selesai gue bisa berguna dengan bantu kalian? Kenapa asisten pribadi gak boleh melakukan itu?" tanya Lira yang masih tak paham dengan sistem yang ada di perusahaan ini. Mereka boleh saling membantu dan Lira kini bagian dari mereka, kenapa Lira tdak boleh ikut membantu?
"Pokoknya gak boleh. Ini udah ketentuan dari perusahaan. Gue lihat sendiri gimana Gio dipecat langsung waktu asisten pak Radith yang dulu bantuin pekerjaan dia. Pak Radith itu bos yang baik, banget banget sumpah, tapi kalau dia udah marah, gak ada yang bisa kami lakukan, dan dia gak suka asistennya kerja buat orang lain."
"Iya bener, dia bakal ngerasa kalau orang lain itu lancang dan menganggap dirinya sebagai bos dengan membuat asisten pribadi bos kerja buat dia. Lo ngerti apa yang gue omongin kan? Gue udah lihat dan gue gak mau ada yang bernasib sama kayak Gio," ujar mereka yang membuat Lira paham.
"Jadi ini enaknya menjabat sebagai asisten CEO? Ya udah deh, kalian belum makan atau minum kan? Gue mau ke cafetaria, kalian mau nitip gak? Ini gue bukan kerja buat kalian kok, Gue mau ambil buat diri gue, mana tahu kalian nitip kan?" Mereka mengangguk dan tersenyum, Lira memiliki jiwa solider yang tinggi.
"Gue nitip latte aja deh, kayaknya gue sampai malam di sini, butuh kopi gue," ujar salah seorang yang membuat Lira mengerutkan keningnya.
"Lah, Latte malah bikin Lo rileks dan akhirnya tambah ngantuk lah. Aturan kalau Lo mau gak ngantuk, Lo minumnya kopi hitam, pasti kebuka deh tuh mata," ujar Lira dengan memelototkan matanya, mereka langsung tertawa melihat tingkah Lira yang dirasa menggemaskan.
" Gue gak doyan kopi hitam, pahit. Hidup gue udah pahit, masak minum yang pahit – pahit, latte aja dah," ujar orang itu yang membuat Lira terkekeh, namun dia mengangguk dan beralih pada temannya yang lain, mereka menyebutkan apa yang ingin mereka makan dan minum sebelum akhirnya Lira pergi dari sana untuk mengambil pesanan mereka.
Mereka melanjutkan pekerjaan masing – masing sampai waktu kerja habis, dua dari mereka terpaksa lembur karna pekerjaan mereka belum selesai, sementara Lira yang harus segera pulang pun pamit tidak bisa menemani mereka, dia harus memasakkan sesuatu untuk adiknya, mereka pun mengerti dan berterima kasih pada Lira yang mau menemani mereka.
Lira naik angkot untuk sampai ke rumahnya dan harus berjalan lagi memasuki gang – gang sempit yang hanya bisa dilalui oleh satu sepeda motor. Dalam hati Lira selalu memikirkan kapan dia bisa pindah ke tempat yang lebih baik? Atau paling tidak dia bisa meningkatkan taraf hidupnya.
"Liora, yuk bersyukur yuk, banyak yang jauh lebih merana dari Lo. Masih untung pihak sekolah adik Lo masih mau kasih keringanan satu minggu, Gue harus cari kemana pinjaman uang dua juta? Tuhan, Liora percaya Tuhan pasti kasih jalan buat Liora."
Lira mnghembuskan napasnya dan berjalan cepat ke rumahnya. Dia membuka pintu dan melepas sepatunya. Lira memijit tumitnya yang memerah. Nasib membeli sepatu yang murah, dia harus siap merasakan lecet yang menyiksa jika berjalan cukup jauh menggunakan sepatu ini. Jika bisa, Lira ingin sekali mengganti sepatunya dengan sepatu yang lebih 'layak' pakai.
"Mbak, makasih ya mbak, mbak udah bayarin sekolah aku. aku jadi bisa ikut ujian minggu depan. Maaf karna mbak harus repot repot cari uang atau cari pinjeman, aku bakal ganti kalau besok aku udah kerja, aku bakal buat mbak bahagia dan hidup nyaman." Adik Lira langsung muncul dari kamar dan tersenyum lebar menatap Lira.
"Kamu ngomong apa? Gak usah ngelantur, mbak capek harus jalan jauh karna jalan utama ditutup, angkot jadi berhenti agak jauh," ujar Lira sambil memijit kakinya. Adiknya tentu menatap Lira dengan heran, mengapa Lira menganggap dirinya melantur?
"Lah mbak, tapi kan bener mbak udah bayarin semua tagihan sekolah aku, nih buktinya kartu ujian aku udah turun, aku udah bisa ikut ujian minggu depan. Kok mbak bilang aku ngelantur sih?" tanya Adik Lira yang membuat Lira menatapnya dengan heran, kini Lira yang tampak kebingungan dengan pernyataan adiknya.
"Ah, kamu pasti lihat mbak kemarin di sekolah kamu ya? Itu mbak belum bayar sekolah kamu. Itu tuh mbak minta keringanan waktu, mbak minta keringanan sampai minggu depan, mungkin karna itu kartu kamu dikasihkan. Kamu gak usah mikirin tentang biaya sekolah, mbak bakal usaha buat nyari pinjeman atau apapun itu, kamu bejalar aja yang rajin biar gak nyecewain mbak," ujar Lira datar.
"Tapi kata gurunya semua udah lunas mbak, aku gak bohong. Ya kalik tuh guru mau ngelunasin biaya sekolah aku. kalau bukan mbak yang lunasin terus siapa? Emang kita punya sodara lain di dunia ini?" tanya adik Lira yang memasang wajah serius. Mereka tak punya saudara, ayah ibu mereka anak tunggal dan kini sudah meninggal, hanya mereka berdua garis keturunan yang tersisa.
"Gue yang bayarin." Lira dan adiknya langsung menoleh kaget ke arah pintu dimana sudah ada seorang pria yang mengenakan kemeja berdiri di sana. Lira reflek bangun dari duduknya dan menatap orang itu dengan kaget sekaligus bingung.
"Anda siapa?" tanya Adik Lira dengan tatapan yang menyelidik. Lira sendiri masih terlalu terkejut dan hanya mematung di tempatnya. Untuk apa orang ini datang ke rumahnya? Bukankah tadi dia bilang ada urusan dan segera pergi dari kantor? Tidak mungkin dia menyempatkan waktu ke rumahnya, memang Lira siapa?
"Gue minta orang buat cari tahu latar belakang keluaarga Lo dan gue turut berduka cita atas meninggalkan ibu bapak Lo. Gue juga jadi tahu kalau Lo punya adik yang udah gede gini dan butuh biaya buat lanjut sekolah. Untungnya gue selalu pantau orang yang kerja sama gue, masa depan adik Lo sedikit terselamatkan."
"Jadi, pak Radith yang udah bayar biaya sekolah adik saya?" tanya Lira dengan kaku.
"Ini bukan jam kantor. Lo ingat peraturannya kan?" tanya Radith dengan wajah dinginnya. Lira menutup mulutnya dengan kaget dan mengangguk, hal itu membuat adik Lira makin bingung karna dia tak mengenal orang yang ada di hadapan mereka.
"Gue udah cari tahu tentang Alex dari pihak sekolah. dia anak yang pinter, banyak prestasinya, sayang kalau dia harus berhenti sekolah karna kakaknya gak becus urus dia, kakaknya gak mampu buat biayain sekolahnya. Anak berbakat gak boleh kehilangan kesempatan Cuma karna masalah biaya." Adik Lira langsung memicingkan matanya mendengar Radith menghina Lira.
"Saya tidak tahu anda siapa, tapi anda tidak berhak menghina kakak saya, karna dia orang yang paling becus dan paling mampu untuk urus saya di dunia ini. Anda ini siapa? Datang – datang kok cari ribut di rumah orang," ujar Alex dengan sinis, membuat Radith mengangkat sudut bibirnyaa sedikit.
"Saya yang sudah bayar semua biaya kamu untuk sekolah bahkan sampai biaya wisuda, kalau kamu butuh untuk masuk ke universitas, kamu tinggal hubungi saya, saya akan bantu semua biaya asal prestasi kamu tidak menurun." Mendengar itu Alex terkejut, namun dia juga tak bisa membiarkan orang asing menginjak – injak mereka berdua.
"Terima kasih karna anda sudah membantu biaya sekolah saya, tapi bukan berarti anda bisa merendahkan orang lain. Jangan mentang – mentang anda kaya dan bisa melakukan banyak hal dengan uang, anda bisa menghina orang lain dan mengatakan orang lain tidak mampu. Saya akan mengganti uang yang sudah anda keluarkan dan saya tidak akan melupakan jasa anda, jadi saya mohon pada anda untuk pergi dari rumah saya."
"Alex, dia ini bosnya mbak, kamu masuk kamar dulu gih, biar mbak ngobrol sama bos mbak dulu," ujar Lira yang diangguki oleh Adiknya dan langsung masuk ke dalam kamar tanpa mengucapkan maaf sama sekali, Lira pun tahu adiknya tak mungkin meminta maaf karna adiknya sangat teguh pada prinsipnya.
"Maaf karna adik gue gak sopan, tapi dia ada benarnya, Lo gak bisa hina orang seenaknya gitu, tapi makasih Lo udah bantuin gue buat bayar dulu sekolah adik gue, untuk bayarnya bis apotong gaji aja gak? Biar gue gak perlu gali lobang tutup lobang."
"Lo tenang aja, uang segitu Cuma cemilan buat gue, yang penting gue gak sia – sia bayarin sekolah adik Lo, toh gue gak sembarangkan bayar, gue cek dulu dia layak gak buat dapat itu semua, dan gue rasa dia cukup layak."
"Makasih banyak, gue gak tahu lagi harus ngomong apa, makasih udah baik sama gue dan keluarga gue, makasih," ujar Lira yang makin memelan karna sesuatu membuat tenggorokannya tersedak. Dia merasa akan segera menangis, di saat dia kebingungan, Tuhan memberikan cara yang snagat tidak Lira duga dari orang yang tidak Lira duga.
"Gak usah nangis, lebay banget jadi orang, gue ke sini Cuma mau kasih Lo ini," ujar Radith melempar satu map berisi berkas dan ditangkap oleh Lira. Lira tak tahu maksud Radith, apakah ini pekerjaan yang harus dia selesaikan di luar jam kantor? Radith hanya memberikan padanya tanpa mengatakan apapun.
"Gue balik, apapun yang Lo lihat, gue gak mau itu dibahas di kantor." Radith langsung berbalik tanpa menunggu respon Lira. Lira langsung membuka isi map itu dan tangannya langsung lemas, map itu sampai terjatuh dan isinya berceceran. Lira berlari ke depan rumahnya, namun Radith sudah menghilang tanpa jejak.
Gadis itu kembali memungut kertas – kertas itu dengan tangan bergetar, memastikan matanya tidak salah membaca. Entah mengapa dia langsung terharu dan menatap ke arah luar yang gelap dan kosong, seakan ada Radith yang sedang melihat ke arahnya. Lira tersenyum dan duduk di sofa sambil membaca kembali isi surat itu.
Tak lama kemudian dia mendapat sebuah pesan di ponselnya, membuat senyum di bibirnya makin berkembang dan bahkan dia tak tahu hrus menajwab apa. Dia hanya membaca pesan itu dan meletakkannya kembali. Pesan yang ada di ponselnya berbunyi :
'Ijin untuk membuat bangunan sekolah ribet dan butuh waktu lama, gue bakal minta tolong Wilkinson turun tangan. Gue udah sewa rumah sementara dan rumah itu bisa jadi rumah pintar. Gue udah siapin guru buat mereka, Lo urus sisanya.'
"Tampang dan mulutnya emang iblis, tapi kenapa hatinya malaikat banget? Kenapa gue jadi deg – degan gini kalau ingat dia?" tanya Lira sambil memegang dadanya yang berdebar lebih kencang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 168 Episodes
Comments
Kimyumi
keerrennn Mas Raditt😍😍😍
2020-12-15
0
VanillaLatte
eeell. seneng banget aku Baca.nya .radith ngk pernah berubah dari dulu. aku suka banget sama karakter radith... aku pada mu ell
2020-05-30
2
Alvi Danis
Radith keren
2020-05-30
1