Wedding Dust
...Semua akan berubah menjadi debu. Aku. Kamu. Kita. Bahkan pernikahan kita....
..._____________...
Ini adalah tahun ke lima. Ya, ke lima dan kami masih dijalur dan lajur yang masih sama. Tidak berubah.
Awalnya, aku mengira semua akan baik-baik saja ketika kita menikah dengan orang yang sudah kenal baik dan tau akan kepribadian kita sejak lama. Tapi sepertinya aku salah menerka akan hal tersebut lantaran semua hal itu tidak terjadi dalam hubunganku dengan Bagas, suami yang dulunya adalah sahabat baikku.
Tidak dipungkiri jika dia memang Bagas yang aku kenal sejak dulu. Bagas yang pengertian, Bagas yang baik, Bagas yang selalu ada saat aku membutuhkan, dan Bagas yang katanya menyayangiku.
Kata orang, sahabat adalah orang yang paling mengerti kita dalam segi apapun. Dan kata orang juga, kita beruntung jika menikah dengan sahabat. Karena tanpa kita mulai dengan kehidupan dan status baru pun, kita akan tetap menjadi orang yang sama.
Sama. Tidak berubah. Termasuk Bagas yang masih mencintai kekasihnya.
Aku memasak nasi goreng seafood kesukaannya untuk menu sarapan pagi ini. Dia yang memintanya semalam, setelah tugas ranjang kami berakhir.
Ah, untuk masalah satu itu, kami tidak bisa mengelak atau berbohong dengan mengatakan hal dengan sebuah sangkalan. Kami melakukannya. Hanya melakukan, tidak ada tujuan apapun. Just for fun, kata anak-anak jaman sekarang.
“Aku lembur, Nad.”
Agak kecewa sih, karena aku mau mengajaknya belanja kebutuhan bulanan yang mulai kosong di pantry dapur, tapi dia lebih dulu memberitakan kata 'lembur'. Padahal, ini malam minggu. Jika itu dulu—saat kita masih sahabatan di bangku sekolah—dia akan meluangkan waktu untuk datang kerumah, meminta izin pada ibu dan ayahku untuk membawaku pergi jalan-jalan. Tidak ada maksud lain selain hanya mencari udara segar. Atau, kita menghabiskan waktu di warung kopi pinggir jalan sampai jam sepuluh malam. Sebagai sepasang sahabat karib.
“Eum.” jawabku singkat, memangnya mau bicara apalagi? Dia orang penting dikantor, kalau aku egois dan memaksanya pulang cepat demi menemaniku belanja, reputasi dan pekerjaannya akan berantakan. Aku tidak mau itu terjadi pada Bagas, orang yang selalu aku hargai sebagai kepala rumah tangga.
“Kamu?”
Aku berjalan menuju meja makan sambil membawa semangkuk besar nasi goreng yang baru selesai aku buat. “Aku? Kenapa dengan aku?” tanyaku basa-basi. Sudahlah, aku bosan dengan dialog seperti ini di malam Minggu. Ini semua sudah biasa.
“Perlu sesuatu? Nanti pulang kerja aku belikan?”
Aku tersenyum masam. Bagas, Bagas. Kamu kenapa sih? Kamu mau nyogok aku?
“Nggak.”
Kata orang kantor tempatku bekerja, wajahku itu menakutkan. Persis kayak goa hantu berusia ribuan tahun yang dihuni kaum beda alam tak kasat mata yang bisa ngamuk kalau terusik, lalu akan menakuti mereka jika melihat dengan mata telan*jang. Wah, separah itu ya? Tapi mengapa Bagas bilang aku cantik ya?
Selain seram, aku juga tipikal orang yang mudah berubah-ubah mood. Kalau tadi pas masak aku seneng bukan main, sekarang, pas makan, aku pingin marah dan gondok. Gara-gara Bagas.
“Ya sudah, mau makan malam apa? Nanti aku bawain.”
Dibandingkan aku, sejak dulu Bagas memang selalu unggul dalam hal bicara. Atau memang aku saja yang terlalu irit bicara? I don't know. Kadang aku juga mikir, kalau Tuhan itu memang Maha adil. Jadi, intinya kami bisa saling melengkapi. Begitu biasanya kata orang-orang. Tapi, jangan salahkan aku jika terlalu berpatok dengan apa kata orang, karena memang seperti itulah sistem kehidupan bermasyarakat bekerja. Berdalih apa kata orang.
“Nggak perlu. Aku makan dirumah aja.”
Jawabanku mampu membuat Bagas menatapku cukup lama. Aku tau dia sedang mengamati ekspresiku sekarang.
“Kamu marah?”
Tuh, benar bukan? Dia memang orangnya peka sekali.
Aku mengangkat wajah, memasang ekspresi se-biasa mungkin agar kami tidak berakhir tegang. Ah, yang ini juga sudah biasa. Kami biasa cek-cok mulut kalau beda pendapat, lalu berakhir aku diam dan dia juga diam untuk beberapa hari kedepan.
“Nggak, Gas. Udah ah, sarapan.”
Aku meraih centong nasi dan mengisi piringku sendiri, tidak dengan miliknya. Yang tentu saja membuat Bagas semakin sadar kalau mood ku yang semula good, kini sudah berubah jadi bad.
“Nad,”
“Gas, udah. Yuk sarapan.” ajakku damai. Aku nggak pingin moodku semakin kacau dan berimbas ke pekerjaanku di kantor.
“Aku beneran lembur. Ada beberapa kerjaan yang kemarin belum rampung. Jadi aku memutuskan untuk lembur di kantor daripada kerja dirumah dan ganggu ka—”
“Ya, aku tau. Kantor memang lebih nyaman dari pada rumah 'kan?” sarkasku. Aku nggak berniat ngomong begitu ke dia, tapi dasarnya aku orang yang blak-blakan, jadi ya sudahlah.
Aku memutuskan untuk mulai menyendok nasi dan hendak melahapnya. Namun terhenti oleh suara rendah Bagas yang aku tau dengan jelas, dia juga sedang ada dalam mood yang buruk karena kalimat yang baru saja aku ucapkan.
“Apa maksudmu? Kamu pikir aku lebih suka disana karena ada Hera?”
Lagi? Kenapa harus menyebut namanya?
“Bagas, aku sudah bilang aku—”
“Nad. Kalau kamu terus kayak gini, aku nggak jamin kita bakalan bisa tetep sama-sama.”
Stop. Aku benci kalimat itu.
Sengaja, aku meletakkan sendok diatas piring dengan gerakan cukup kasar hingga menimbulkan denting cukup nyaring. Sumpah demi apapun, aku benci jika Bagas membawa nama wanita itu dalam pembicaraan kami. Apalagi kalimat yang baru saja menyembur dari mulutnya.
“Jadi, kamu maunya gimana? Pisah?” ucapku terlanjur kesal. Aku tidak bisa berfikir jernih dan mengatakan kalimat asal penuh tekanan emosi yang sudah memuncak di ubun-ubun.
“Kok kamu malah ngomong gitu?” ucap Bagas sedikit membentak hingga membuatku sedikit terkejut dan mataku melebar ke arahnya. Kami memang sering adu mulut, tapi tidak pernah sampai sejauh ini.
Aku malah tersenyum miring didepan Bagas yang mulai tersulut emosi. Sejujurnya, aku takut. Takut jika ucapanku menjadi nyata karena kemarahannya.
Lantas aku berdecak, ingin menyudahi dengan cara pergi dari depan Bagas dan bersiap-siap untuk kerja. Tapi, Bagas belum ingin berakhir. Ia menghentikan langkahku dengan kalimatnya yang begitu menyayat hati. Ini adalah kalimat pertama yang membuatku begitu terpukul dan terpuruk dalam waktu bersamaan, sejauh aku mengenalnya.
“Semua akan berubah menjadi debu. Aku. Kamu. Kita. Bahkan pernikahan kita, kalau kamu terus menuduhku seperti itu.”
Sial!!
Aku menoleh kasar. Entah, Bagas masih menganggap ku cantik atau tidak. Perse*tan. Aku terluka karena kata-kata itu.
“Jadi, memang karena Hera bukan? Karena wanita itu, 'kan?” tuduhku, seperti tuduhannya. “Bagas. Aku menikah denganmu, karena aku menyayangi kedua keluarga kita sampai aku merelakan persahabatan kita yang jadi kayak gini.”
Bagas terlihat mengeratkan rahangnya. Dan itu berhasil membuat tulang kakiku bergetar. Dia tidak pernah terlihat se-marah itu.
“Aku tau, kamu masih berharap kalau kamu bisa bersama Hera—”
“Kata siapa? Hah?!” katanya dengan nada meruncing.
“Kamu membentakku?” ucapku dingin. Aku tidak bisa lagi tersenyum kali ini. Bagas sudah terlalu jauh menyakiti perasaan yang tadinya aku coba untuk terus kuat dan tidak rapuh. Aku mengusap airmata yang tiba-tiba saja jatuh dari ujung mata.
“Nad, aku nggak ada maksud bentak kamu. Maaf, aku—”
Lagi-lagi, aku memotong ucapannya. “Hera. Wanita itu memang selalu berkesan di hati kamu kan? Bukan aku. Dan selamanya, aku nggak akan bisa berada diposisi wanita itu.” lanjutku sudah kepalang emosi. Terlalu putus asa dengan kenyataan.
“Nad,” panggilnya, lembut sambil berjalan mendekat ke arahku, berusaha menyentuhku walaupun aku tepis cukup kasar.
“Jangan sentuh aku. Sial!”
“Nad,”
Bagas berusaha menarikku ke dalam pelukannya yang membuatku justru menangis sesenggukan seperti orang gila.
“Kalau kamu memang masih berharap bisa hidup sama dia, seenggaknya, lepasin aku dulu.” ucapku tajam penuh penekanan yang berhasil membuat Bagas menghentikan usahanya meraih tubuhku. Perse*tan. Aku tidak peduli lagi jika memang dia akan mengucapkan talak padaku. Aku nggak peduli. Aku terlalu sakit hati menerima kenyataan jika dia masih mengharapkan Hera menjadi pasangan hidupnya. Kenapa aku berkata begitu? Karena aku mendengarnya sendiri dia mengatakan itu didepan salah satu temannya, beberapa waktu lalu, didepan mataku. “Lepasin aku dari ikatan pernikahan memuakkan ini, agar aku tidak akan lagi tersiksa dengan perasaan sepihakku kepada kamu.” ucapku sambil mendongak menatap fitur wajahnya, serta menunjuk dadanya dengan sedikit mendorong agar dia mengerti maksudku. Sisanya, terserah dia.
Aku berlalu, pergi dari hadapan Bagas dan mungkin akan menghindarinya untuk waktu yang lama. Mungkin Bagas juga akan melakukan hal yang sama, sampai kami benar-benar bisa memutuskan, seperti apa nasib pernikahan kami selanjutnya. Haruskah menjadi nyata dan tetap bersama?
Atau hilang terbawa angin seperti...debu? []
^^^to be continued.^^^
...______________...
Jangan lupa Like, komentar, dan tambah ke list favorit kalian jika suka ya...
See you next episode👋
...🖤🖤🖤...
...Disclaimer....
...-Cerita ini murni imajinasi penulis....
...-Jika ada kesamaan nama visual, gambar properti, ataupun latar yang ada didalam cerita, merupakan unsur ketidaksengajaan....
...-Semua karakter didalam cerita tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan/watak tokoh yang menjadi Visual didalam dunia nyata...
...-Diharap bijak dalam menanggapi semua yang tertulis dalam cerita, baik itu tata bahasa, sesuatu yang bersifat mature ataupun tindak kekerasan....
...-(Point terpenting!!) Hargai karya penulis untuk tidak menjiplak/meniru tanpa izin dari penulis. Dan juga dimohon kebijakannya untuk tidak menyamakan dengan cerita lain....
...Regrets,...
...Tor...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Nur Yuliastuti
ya Ampuuun br bab 1 bacanya sdh tahan napas 😁
sukses selalu Thor 🤗😍
2023-09-30
1
Kustri
berarti nadya mencintai bagas dung, 5 taun lumayan lama u/ mengubah segala'a
2023-08-30
1
yumin kwan
bab pertama saja sudah bertaburan bawang 😭
2022-12-06
1