NovelToon NovelToon

Wedding Dust

1. Nadya Ayunda

...Semua akan berubah menjadi debu. Aku. Kamu. Kita. Bahkan pernikahan kita....

..._____________...

Ini adalah tahun ke lima. Ya, ke lima dan kami masih dijalur dan lajur yang masih sama. Tidak berubah.

Awalnya, aku mengira semua akan baik-baik saja ketika kita menikah dengan orang yang sudah kenal baik dan tau akan kepribadian kita sejak lama. Tapi sepertinya aku salah menerka akan hal tersebut lantaran semua hal itu tidak terjadi dalam hubunganku dengan Bagas, suami yang dulunya adalah sahabat baikku.

Tidak dipungkiri jika dia memang Bagas yang aku kenal sejak dulu. Bagas yang pengertian, Bagas yang baik, Bagas yang selalu ada saat aku membutuhkan, dan Bagas yang katanya menyayangiku.

Kata orang, sahabat adalah orang yang paling mengerti kita dalam segi apapun. Dan kata orang juga, kita beruntung jika menikah dengan sahabat. Karena tanpa kita mulai dengan kehidupan dan status baru pun, kita akan tetap menjadi orang yang sama.

Sama. Tidak berubah. Termasuk Bagas yang masih mencintai kekasihnya.

Aku memasak nasi goreng seafood kesukaannya untuk menu sarapan pagi ini. Dia yang memintanya semalam, setelah tugas ranjang kami berakhir.

Ah, untuk masalah satu itu, kami tidak bisa mengelak atau berbohong dengan mengatakan hal dengan sebuah sangkalan. Kami melakukannya. Hanya melakukan, tidak ada tujuan apapun. Just for fun, kata anak-anak jaman sekarang.

“Aku lembur, Nad.”

Agak kecewa sih, karena aku mau mengajaknya belanja kebutuhan bulanan yang mulai kosong di pantry dapur, tapi dia lebih dulu memberitakan kata 'lembur'. Padahal, ini malam minggu. Jika itu dulu—saat kita masih sahabatan di bangku sekolah—dia akan meluangkan waktu untuk datang kerumah, meminta izin pada ibu dan ayahku untuk membawaku pergi jalan-jalan. Tidak ada maksud lain selain hanya mencari udara segar. Atau, kita menghabiskan waktu di warung kopi pinggir jalan sampai jam sepuluh malam. Sebagai sepasang sahabat karib.

“Eum.” jawabku singkat, memangnya mau bicara apalagi? Dia orang penting dikantor, kalau aku egois dan memaksanya pulang cepat demi menemaniku belanja, reputasi dan pekerjaannya akan berantakan. Aku tidak mau itu terjadi pada Bagas, orang yang selalu aku hargai sebagai kepala rumah tangga.

“Kamu?”

Aku berjalan menuju meja makan sambil membawa semangkuk besar nasi goreng yang baru selesai aku buat. “Aku? Kenapa dengan aku?” tanyaku basa-basi. Sudahlah, aku bosan dengan dialog seperti ini di malam Minggu. Ini semua sudah biasa.

“Perlu sesuatu? Nanti pulang kerja aku belikan?”

Aku tersenyum masam. Bagas, Bagas. Kamu kenapa sih? Kamu mau nyogok aku?

“Nggak.”

Kata orang kantor tempatku bekerja, wajahku itu menakutkan. Persis kayak goa hantu berusia ribuan tahun yang dihuni kaum beda alam tak kasat mata yang bisa ngamuk kalau terusik, lalu akan menakuti mereka jika melihat dengan mata telan*jang. Wah, separah itu ya? Tapi mengapa Bagas bilang aku cantik ya?

Selain seram, aku juga tipikal orang yang mudah berubah-ubah mood. Kalau tadi pas masak aku seneng bukan main, sekarang, pas makan, aku pingin marah dan gondok. Gara-gara Bagas.

“Ya sudah, mau makan malam apa? Nanti aku bawain.”

Dibandingkan aku, sejak dulu Bagas memang selalu unggul dalam hal bicara. Atau memang aku saja yang terlalu irit bicara? I don't know. Kadang aku juga mikir, kalau Tuhan itu memang Maha adil. Jadi, intinya kami bisa saling melengkapi. Begitu biasanya kata orang-orang. Tapi, jangan salahkan aku jika terlalu berpatok dengan apa kata orang, karena memang seperti itulah sistem kehidupan bermasyarakat bekerja. Berdalih apa kata orang.

“Nggak perlu. Aku makan dirumah aja.”

Jawabanku mampu membuat Bagas menatapku cukup lama. Aku tau dia sedang mengamati ekspresiku sekarang.

“Kamu marah?”

Tuh, benar bukan? Dia memang orangnya peka sekali.

Aku mengangkat wajah, memasang ekspresi se-biasa mungkin agar kami tidak berakhir tegang. Ah, yang ini juga sudah biasa. Kami biasa cek-cok mulut kalau beda pendapat, lalu berakhir aku diam dan dia juga diam untuk beberapa hari kedepan.

“Nggak, Gas. Udah ah, sarapan.”

Aku meraih centong nasi dan mengisi piringku sendiri, tidak dengan miliknya. Yang tentu saja membuat Bagas semakin sadar kalau mood ku yang semula good, kini sudah berubah jadi bad.

“Nad,”

“Gas, udah. Yuk sarapan.” ajakku damai. Aku nggak pingin moodku semakin kacau dan berimbas ke pekerjaanku di kantor.

“Aku beneran lembur. Ada beberapa kerjaan yang kemarin belum rampung. Jadi aku memutuskan untuk lembur di kantor daripada kerja dirumah dan ganggu ka—”

“Ya, aku tau. Kantor memang lebih nyaman dari pada rumah 'kan?” sarkasku. Aku nggak berniat ngomong begitu ke dia, tapi dasarnya aku orang yang blak-blakan, jadi ya sudahlah.

Aku memutuskan untuk mulai menyendok nasi dan hendak melahapnya. Namun terhenti oleh suara rendah Bagas yang aku tau dengan jelas, dia juga sedang ada dalam mood yang buruk karena kalimat yang baru saja aku ucapkan.

“Apa maksudmu? Kamu pikir aku lebih suka disana karena ada Hera?”

Lagi? Kenapa harus menyebut namanya?

“Bagas, aku sudah bilang aku—”

“Nad. Kalau kamu terus kayak gini, aku nggak jamin kita bakalan bisa tetep sama-sama.”

Stop. Aku benci kalimat itu.

Sengaja, aku meletakkan sendok diatas piring dengan gerakan cukup kasar hingga menimbulkan denting cukup nyaring. Sumpah demi apapun, aku benci jika Bagas membawa nama wanita itu dalam pembicaraan kami. Apalagi kalimat yang baru saja menyembur dari mulutnya.

“Jadi, kamu maunya gimana? Pisah?” ucapku terlanjur kesal. Aku tidak bisa berfikir jernih dan mengatakan kalimat asal penuh tekanan emosi yang sudah memuncak di ubun-ubun.

“Kok kamu malah ngomong gitu?” ucap Bagas sedikit membentak hingga membuatku sedikit terkejut dan mataku melebar ke arahnya. Kami memang sering adu mulut, tapi tidak pernah sampai sejauh ini.

Aku malah tersenyum miring didepan Bagas yang mulai tersulut emosi. Sejujurnya, aku takut. Takut jika ucapanku menjadi nyata karena kemarahannya.

Lantas aku berdecak, ingin menyudahi dengan cara pergi dari depan Bagas dan bersiap-siap untuk kerja. Tapi, Bagas belum ingin berakhir. Ia menghentikan langkahku dengan kalimatnya yang begitu menyayat hati. Ini adalah kalimat pertama yang membuatku begitu terpukul dan terpuruk dalam waktu bersamaan, sejauh aku mengenalnya.

“Semua akan berubah menjadi debu. Aku. Kamu. Kita. Bahkan pernikahan kita, kalau kamu terus menuduhku seperti itu.”

Sial!!

Aku menoleh kasar. Entah, Bagas masih menganggap ku cantik atau tidak. Perse*tan. Aku terluka karena kata-kata itu.

“Jadi, memang karena Hera bukan? Karena wanita itu, 'kan?” tuduhku, seperti tuduhannya. “Bagas. Aku menikah denganmu, karena aku menyayangi kedua keluarga kita sampai aku merelakan persahabatan kita yang jadi kayak gini.”

Bagas terlihat mengeratkan rahangnya. Dan itu berhasil membuat tulang kakiku bergetar. Dia tidak pernah terlihat se-marah itu.

“Aku tau, kamu masih berharap kalau kamu bisa bersama Hera—”

“Kata siapa? Hah?!” katanya dengan nada meruncing.

“Kamu membentakku?” ucapku dingin. Aku tidak bisa lagi tersenyum kali ini. Bagas sudah terlalu jauh menyakiti perasaan yang tadinya aku coba untuk terus kuat dan tidak rapuh. Aku mengusap airmata yang tiba-tiba saja jatuh dari ujung mata.

“Nad, aku nggak ada maksud bentak kamu. Maaf, aku—”

Lagi-lagi, aku memotong ucapannya. “Hera. Wanita itu memang selalu berkesan di hati kamu kan? Bukan aku. Dan selamanya, aku nggak akan bisa berada diposisi wanita itu.” lanjutku sudah kepalang emosi. Terlalu putus asa dengan kenyataan.

“Nad,” panggilnya, lembut sambil berjalan mendekat ke arahku, berusaha menyentuhku walaupun aku tepis cukup kasar.

“Jangan sentuh aku. Sial!”

“Nad,”

Bagas berusaha menarikku ke dalam pelukannya yang membuatku justru menangis sesenggukan seperti orang gila.

“Kalau kamu memang masih berharap bisa hidup sama dia, seenggaknya, lepasin aku dulu.” ucapku tajam penuh penekanan yang berhasil membuat Bagas menghentikan usahanya meraih tubuhku. Perse*tan. Aku tidak peduli lagi jika memang dia akan mengucapkan talak padaku. Aku nggak peduli. Aku terlalu sakit hati menerima kenyataan jika dia masih mengharapkan Hera menjadi pasangan hidupnya. Kenapa aku berkata begitu? Karena aku mendengarnya sendiri dia mengatakan itu didepan salah satu temannya, beberapa waktu lalu, didepan mataku. “Lepasin aku dari ikatan pernikahan memuakkan ini, agar aku tidak akan lagi tersiksa dengan perasaan sepihakku kepada kamu.” ucapku sambil mendongak menatap fitur wajahnya, serta menunjuk dadanya dengan sedikit mendorong agar dia mengerti maksudku. Sisanya, terserah dia.

Aku berlalu, pergi dari hadapan Bagas dan mungkin akan menghindarinya untuk waktu yang lama. Mungkin Bagas juga akan melakukan hal yang sama, sampai kami benar-benar bisa memutuskan, seperti apa nasib pernikahan kami selanjutnya. Haruskah menjadi nyata dan tetap bersama?

Atau hilang terbawa angin seperti...debu? []

^^^to be continued.^^^

...______________...

Jangan lupa Like, komentar, dan tambah ke list favorit kalian jika suka ya...

See you next episode👋

...🖤🖤🖤...

...Disclaimer....

...-Cerita ini murni imajinasi penulis....

...-Jika ada kesamaan nama visual, gambar properti, ataupun latar yang ada didalam cerita, merupakan unsur ketidaksengajaan....

...-Semua karakter didalam cerita tidak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan/watak tokoh yang menjadi Visual didalam dunia nyata...

...-Diharap bijak dalam menanggapi semua yang tertulis dalam cerita, baik itu tata bahasa, sesuatu yang bersifat mature ataupun tindak kekerasan....

...-(Point terpenting!!) Hargai karya penulis untuk tidak menjiplak/meniru tanpa izin dari penulis. Dan juga dimohon kebijakannya untuk tidak menyamakan dengan cerita lain....

...Regrets,...

...Tor...

2. Bagaskara Adewangsa

...Jangan lupa berikan Like, komentar, dan tambahkan cerita Wedding Dust ke dalam list favorit kalian ya teman-teman....

...Happy reading......

...•...

Nadya itu keras kepala. Sejak dulu, sejak aku mengenalnya di bangku SMA. Hampir seluruh siswi di SMA kami dulu bilang, jika Nadya itu menakutkan. Wajahnya dingin, datar seperti tidak memiliki ekspresi, dan terkesan cuek bebek, serta jutek.

Tapi aku tidak melihatnya seperti itu. Bagiku, Nadya itu cantik. Tentu saja cantik dengan caranya sendiri. Kalau boleh jujur, dibandingkan dengan Hera, Nadya terkesan lebih misterius dan tidak mudah di jangkau apalagi disentuh oleh siapapun. Namun justru itu yang membuatku penasaran, dan berakhir mendekati dia hingga kami bersahabat dekat.

Aku mencintai Hera, tapi aku menyayangi Nadya lebih dari menyayangi diriku sendiri. Dia sudah seperti nyawaku. Meskipun dia wanita mandiri, aku tau sisi lemah Nadya yang terus dia sembunyikan dari siapapun, termasuk aku. Dia berusaha terlihat sok kuat, padahal sama seperti wanita lain, dia butuh perlindungan. Dan aku akan melakukannya tanpa diminta.

Tapi, ingatan tadi pagi membuat perasaanku jauh dari kata baik. Nadya ingin aku mengakhiri hubungan kami, dan itu karena Hera—wanita yang sempat aku kencani sebelum memutuskan menikah dengan Nadya.

Aku menyesal membuat Nadya menangis, tadi pagi. Karena hal itu, dia mendiamkan aku, dan menolak tawaranku untuk mengantarnya berangkat ke kantor bersama. Dia memilih membawa motor dan tidak peduli dengan rasa khawatirku.

“Haah...”

Aku merasa kacau. Sandaran kursi sudah menjadi tempat nyaman bagiku sejak pagi tadi. Pekerjaan yang menumpuk belum semua tersentuh karena otakku sibuk memikirkan Nadya yang tidak membaca pesan yang aku kirim sejak jam sembilan pagi.

Sekarang aku tau, mengapa Nadya memilih mendiamkan aku ketika kami sedang saling mengutamakan ego. Nadya tidak ingin aku kacau di kantor. Dan itu terbukti dengan aku yang tidak bisa berkonsentrasi sama sekali di meja kerja, hanya memikirkan dia dan masalah kami. Mungkinkah selama ini, dia yang terus berusaha memendam ucapannya itu? Ucapan yang pagi ini begitu menyakitkan sisi laki-laki dalam diriku.

Lelah memikirkan masalah yang terus datang ke arah kami, aku mengalihkan diri pada ponsel yang sedari tadi bergetar. Dan aku tau pasti siapa yang sedang melakukan panggilan itu. Hera. Ya, dia.

Insting Nadya tidak pernah salah. Aku memang memiliki janji dengan Hera, meskipun hanya makan malam disebuah rumah makan yang biasa kami gunakan sebagai tempat bertemu melepas rindu, sejak dulu. Tapi, entah mengapa rasa menggebu dan rindu yang biasanya mencuat ketika tidak bertemu berhari-hari dengan Hera, tiba-tiba tidak muncul. Aku malah lebih ingin jika Nadya yang menghubungiku sekarang, minta aku membawakan nasi uduk kesukaannya untuk makan malam kami, dari pada Hera yang mungkin akan menagih janji kencan yang entah mengapa tiba-tiba ingin aku hindari.

Sekali lagi aku membiarkan ponsel ku bergetar diatas meja hingga displaynya kembali gelap. Kemudian aku mengambilnya, dan menggeser panah ke atas hingga menampakkan foto Nadya yang kujadikan Wallpaper sejak setahun yang lalu, dan belum pernah aku ganti sama sekali hingga detik ini.

Sebuah senyuman mengembang begitu saja dibibirku ketika melihat wajah datar Nadia yang saat itu tersenyum hingga memunculkan lesung pipinya. Jangan bilang ke dia, jika aku mengambil foto itu secara diam-diam. Sssst... ini rahasia!

Ibu jariku menekan aplikasi WhatsApp, mencoba kembali melihat ruang obrolanku bersama Nadya. Dan dua centang abu itu sudah berubah biru. Tapi masih tidak ada balasan darinya. Untuk itu, aku memberanikan diri menekan tanda telepon di ujung atas ponsel. Aku ingin bicara langsung dan mendengar suaranya.

Namun semua itu terhenti karena sekali lagi panggilan masuk dari Hera. Aku berdecak, dan tidak bisa lari lagi karena mungkin dia tau aku sedang online.

“Halo, ada apa, Be?”

Biasanya, aku memanggilnya dengan Bee, namun hari ini aku menghilangkan satu huruf E yang ada. Sedang tidak berselera mesra-mesraan dengan orang lain. Aku hanya ingin Nadya.

“Kita jadi ketemuan kan? Kenapa lama sekali jawab teleponnya?”

Aku menghela nafas cukup besar. Hera memang manja, dan dia tidak suka diabaikan. “Aku sibuk. Maaf.”

Kami diam sejenak, mungkin Hera juga merasa aneh dengan sikapku yang tidak seperti biasanya, banyak bicara dan memanjakannya dengan pujian-pujian mesra.

“Kamu masih dikantor?” tanya Hera pada akhirnya memutus keheningan.

Aku mengangguk. “Hemm.”

“Apa perlu aku datang kesana untuk menjemputmu nanti, Bee?”

Aku menegakkan punggung ketika mendengar nada ‘Tut’ di ponselku. Hanya sekali dan panggilan itu atas nama Nadya.

Sial! Dia pasti mengakhiri panggilan karena dia tau aku sibuk melakukan panggilan lain.

“Be, nanti aku telepon lagi, ya. Ada hal penting yang harus aku lakukan.”

Aku tidak peduli dengan tanggapan Hera ketika aku mengakhiri panggilan secara sepihak. Aku harus segera menghubungi Nadya.

Pada nada hubung ke tiga, suara Nadya terdengar. Ada rasa lega dan bahagia di dadaku, hingga tanpa sadar aku tersenyum.

“Sudah sampai rumah, Nad?” tanyaku basa-basi. Ini akhir pekan, dan aku jelas tau dia hanya bekerja setengah hari di hari Sabtu.

“Eum.”

“Nggak pingin nitip sesuatu ?” tanyaku, tidak mau menyinggung perasaan Nadya yang mungkin masih kacau akibat pertengkaran cukup serius kami pagi tadi.

“Enggak. Aku telepon karena kamu tadi WA, dan aku baru bisa buka Hp sekarang.”

Aku ber O ria, dan suara Nadya kembali terdengar. “Katanya pulang telat? Lembur?”

“Nggak jadi. Aku pulang jam tiga.”

Untuk sesaat, aku menunggu respon Nadya. Tapi Nadya tetap Nadya, dia hanya diam.

“Kamu beneran nggak pingin dibeliin sesuatu?”

“Nggak.”

“Kalau gitu, bikinin aku sop ayam dong.” pintaku mengupayakan jalan damai dengan Nadya. “Kamu Udah makan?”

“Udah. Tadi dapat traktiran dari pak Hansel.”

Hansel? Atasannya kah? Mengapa aku baru mendengar nama itu? Setauku, atasan Nadya bernama Sujono?

“Hansel?”

“Eum. Kepala Devisi baru. Mutasi dari kantor pusat.”

Entah mengapa, aku merasa nggak nyaman. Mendengar Nadya menyebut nama seorang pria, membuatku ingin melarangnya bekerja saja. Gajiku cukup untuk menghidupi kami meskipun dia tidak bekerja.

“Masih muda?”

Nadya tidak menyahut. Aku sadar pertanyaanku tidak masuk akal, tapi aku perlu tau. Si Hansel ini sudah tua seperti pak Sujono, atau masih muda seumur—

“Lebih tua dua tahun dari kita.”

Nad, kamu harus berhenti bekerja. Aku tidak ingin sikap misteriusmu itu memancing laki-laki lain untuk mendekat. Aku harus membicarakan itu nanti setelah sampai rumah.

“Apa dia tampan? Sudah menikah atau belum?” tanyaku semakin posesif. Sikap bajinganku mulai muncul kepermukaan ketika Nadya menyebut nama laki-laki lain. Ah, aku memang egois. Disaat aku terang-terangan mengakui hubunganku dengan Hera dan Nadya bisa menerima itu, kenapa aku justru merasa kesal saat tau Nadya menerima traktiran dari seorang pria?

Aku mendengar dia berdecak diseberang. “Kamu mikir apa sih, Gas? Aku makan bareng-bareng sama anak satu Devisi dan pak Hans membayar bill sebagai ucapan terima kasih atas sambutan dari kami. Kamu kesannya menuduh aku punya hubungan yang nggak-nggak gitu ya?”

“Nggak kok. Aku cuma nanya aja.”

“Ya udah. Aku mau mandi dulu.”

“Oh, Okey. Jangan lupa pesenanku. Sop ayam buatan kamu.”

“Iya ih. Bawel.”

Aku tersenyum mendengar kalimat rujukan Nadya. Nada bicaranya sudah terdengar stabil. Apa itu artinya kita sudah berdamai? Secepat itu? Berarti ini sebuah kemajuan.

“Ya udah. Bye...”

“Eumm.”

Panggilan diakhiri Nadya. Aku tidak pernah menduga bisa bersikap labil begitu hanya karena Nadya mendapat traktiran masal yang dilakukan atasan barunya. Tapi firasat ku berkata jika itu bukan hal yang baik. Sesuatu mungkin akan terjadi diluar kendali kami.

Jika memang firasat itu akan terjadi suatu hari nanti, aku hanya berharap kami mampu melewatinya bersama. Dan aku sangat berharap Nadya tidak meninggalkan aku. Tidak meninggalkan pernikahan kita. []

^^^to be continued.^^^

...🖤🖤🖤...

Jangan lupa mampir juga ke cerita Vi's yang lainnya ya.

—Vienna (Fiksi Modern)

—Another Winter (Fiksi Modern)

—Adagio (Fiksi Modern)

—Dark Autumn (Romansa Fantasi)

—Ivory (Romansa Istana)

—Green (Romansa Istana)

—Wedding Maze (Romansa Modern)

—WHITE (Romansa Modern)

Atas perhatian dan dukungannya, Vi's ucapkan banyak terima kasih.

See You.

3. Nadya Ayunda

...Jangan lupa dukung WEDDING DUST dengan memberi like, komentar, serta simpan di list favorit kalian ya......

...Happy Reading...

...•...

Seperti permintaan Bagas, aku memasak sop ayam yang dia pesan untuk makan malamnya nanti. Sambil memasak, aku sesekali mengecek putaran mesin cuci di ruangan berukuran kecil yang dikhususkan untuk mencuci disisi belakang rumah.

Rumah Bagas membentuk leter L, jadi aku bisa menengok ke garasi rumah melalui jendela kaca berukuran cukup lebar yang terpasang di tempat mencuci, dekat dengan taman belakang rumah. Dan tepat ketika mesin cuci selesai mengeringkan pakaianku dan juga pakaian Bagas, aku mendengar deru mesin mobil memasuki garasi rumah. Mobil Pajero Sport hitam mengkilat berusaha memarkir rapi. Bagas datang. Hatiku senang bukan kepalang.

Aku bahkan bisa mencium aroma parfumnya dalam imajinasiku, aroma yang pastinya masih sama seperti tadi pagi. Aroma Woody berbaur coklat yang lembut, namun tetap maskulin, jujur aku sangat menyukai aroma Bagas. Itu seperti candu bagiku. Laki-laki itu selalu harum, tidak peduli keringatnya bercucuran sekalipun.

Detik selanjutnya, aku mendengar pintu rumah dibuka, kemudian ditutup kembali. Tak lama kemudian Bagas muncul. Masih dengan kemeja biru langit yang pas tubuh, dan celana bahan berwarna hitam yang memperlihatkan kaki jenjang dan se*ksi miliknya, juga sepatu pantofel hitam berujung runcing yang masih tetep mengkilat.

“Biar aku yang jemur. Kamu lanjutin masaknya.” katanya sedikit berteriak sambil meletakkan tas kerja di atas meja nakas yang ada di dekat dapur.

“Aku aja. Kamu mandi saja sana.”

“Iya, habis jemur baju.” kekehnya nggak mau pergi, malah merampas keranjang baju dari tanganku dan membawanya ke arah jemuran aluminium yang ada di tengah-tengah taman belakang rumah.

Untuk kesekian kalinya, aku mengagumi sosok itu. Sosok Bagas yang sudah hadir dalam hidupku sejak kami ada dalam fase remaja bengal yang sedang mencari jati diri. Dia tipikal pria yang memang mudah bergaul, santun—tapi kadang iseng juga, dan sering bersikap manis kepada orang lain. Mungkin sikapnya inilah yang sering membuat banyak wanita salah paham.

Dari sini, aku bisa melihat dia yang sedang sibuk menjemur pakaian kami. Dan yang membuat mata tidak ingin beranjak sedikitpun adalah, tubuh kekar dalam balutan kemeja yang bagian lengannya digulung sebatas siku itu sangat mempesona. Wajahnya yang tampan tidak termakan usia juga menjadi faktor utama mengapa selama ini Bagas selalu dianggap belum memiliki pasangan oleh banyak kaum hawa, dan berakhir didekati tanpa malu.

Lima belas menit berlalu, Bagas membawa kembali keranjang baju masuk kedalam ruang mencuci, lalu berjalan ke dapur membantuku menyiapkan makanan diatas meja makan.

“Wah...” desisnya kagum ketika matanya menatap mangkuk sup berisi sayuran wortel, buncis, sawi, juga kubis kesukaannya yang berbaur bersama beberapa potong bakso daging juga sayap ayam. Dari sekian banyak bagian ayam, Bagas paling suka sayap. Hal itu membuatku selalu memilih bagian sayap ketika belanja di tempat teh Arini. “Kok aku jadi lapar ya?”

“Mandi dulu. Badanmu kotor, bau asem.” sindirku dengan wajah datar sambil menata piring diatas meja.

Dia mengendus badannya sendiri akibat ucapanku. Dan yang dia lakukan itu berhasil membuat sebuah tawa terbit di bibirku. Aku yakin dia akan protes karena aku bilang begitu. “Nggak tuh. Masih harum. Kalau nggak percaya, sini cium.” katanya sambil meraih dan menarik tubuhku untuk merapat padanya.

“Ih, Bagas. Udah deh. Cepetan mandi dulu sana.”

Dia tertawa lepas melihat tingkahku yang menolak mentah-mentah dirinya. “Iya, bawel. Demen banget ngomel.” jawab Bagas sambil mencubit hidungku hingga kesulitan bernafas, tapi aku suka. Sial. “Habis ini, temani aku makan.”

Rasanya, pertengkaran kami tadi pagi, sudah lewat begitu saja. Seperti tidak terjadi apapun pada kami berdua. Dan kemungkinan besar, hal inilah yang menjadi penyakit dalam hubungan kami. Aku dan Bagas seolah tidak mempermasalahkan lagi pembicaraan dalam pertengkaran kami, lalu kami berdua seperti orang bodoh yang selalu mencoba melupakan kenyataan jika kami tidak baik-baik saja dalam hubungan ini.

“Aku ingin bicara dengan kamu.”

Stagnan. Aku terpaku di tempatku berdiri. Dia ingin bicara, apa topik pembicaraan kami nanti tentang perseteruan kami tadi pagi? Atau pertengkaran kemarin, dimana dia mengatakan jika ingin memiliki anak lalu ku tolak? Atau pertengkaran beberapa waktu lalu, karena aku pulang telat karena bertemu teman sekaligus mantan kekasihku ketika kuliah? Ah, mengapa banyak sekali hal yang kami lalaikan hingga menumpuk dan membusuk seperti ini?

“Oh, okey.”

...***...

Jam makan malam berlangsung sedikit cepat hari ini. Hal itu terjadi lantaran Bagas benar-benar makan setelah selesai mandi, ketika jam masih menunjuk angka setengah lima sore. Seperti janji yang sudah aku buat dengannya tadi, aku menemaninya makan. Dia aktif mengajakku berbicara meskipun responku tidak banyak. Hanya tiga kata yang aku ucapkan sebagai tanggapan. Ya, tidak, dan Hmm. Kalimat itulah yang selalu aku berikan untuknya sebagai jawaban.

Jika memang memerlukan kalimat yang lebih panjang, aku terlebih dulu diam dan merangkum setiap kata dalam satu bentuk kalimat utuh didalam otak, lalu aku utarakan dengan lugas agar tidak boros bicara, karena memang seperti itulah aku, tidak suka berbelit dan lebih menyukai komunikasi yang simple.

“Sorry untuk yang tadi pagi. Aku terlalu egois.”

Oh, wow. Dia meminta maaf?

“Nggak masalah.”

“Cuma itu jawabannya?”

“Lalu apa lagi, Bagas?” sahutku cepat sambil memutar bola mata malas, dan menjatuhkan bahu lebih rendah. Aku meraih garpu dan menusuk satu bakso, lalu melahapnya sekali hap, untuk mengalihkan kegugupan.

“Ya... yang lebih panjang kek?!” jawabnya santai seperti biasa.

Aku menghela nafas. “Nggak masalah. Kalau aku jadi kamu, aku pasti akan bersikap sama kayak kamu tadi pagi.” lanjutku, lalu mengambil sandaran kursi untuk mengalihkan suasana tidak nyaman yang mulai merambat naik kedalam ulu hatiku. Apa kita akan adu mulut lagi? Aku harap tidak. Aku capek.

“Ucapanku terlalu kasar tadi pagi, Nad. Kamu sampai nangis gitu.”

Bohong kalau aku jawab enggak. Hatiku sempat hancur dan putus asa tadi pagi. “Nangis itu wajar, Gas. Aku capek banget tadi pagi. Terus kamunya nggak mau berhenti, malah nahan aku yang mau pertengkaran kita stop dan nggak berlarut-larut.”

“Iya, itu sebabnya aku minta maaf. Mungkin kalau aku ngelepas kamu tadi pagi, kita nggak bakalan bertengkar kayak gitu. Jadi, maafin aku.”

Aku menatapnya lekat. Tidak ada kebohongan dimatanya. Semua ucapannya tulus.

“Apa kamu pernah menyesal dengan keputusan kita ini, Gas?” tanyaku keluar topik, hanya ingin memastikan jika aku tidak sendirian. Bagas mungkin juga merasakan hal yang sama denganku. Tersiksa.

“Keputusan apa? Kalau tentang menikah, sama sekali Enggak tuh. Memangnya kenapa? Kamu menyesal?”

Bagas meraih cangkir kopi lalu menyesap tanpa memutus pandangannya padaku. “Ah, lupakan.”

“Lupakan?”

Aku mengangguk, tidak ingin mengacau lagi setelah Bagas berniat baik meminta maaf kepadaku. Aku berdiri, berniat pamit.

“Kok rapi, mau kemana?” tanya Bagas sambil memperhatikan penampilanku sore ini. Dress berwarna caramel, dan coats berwarna coklat gelap yang mempercantik penampilanku. Nggak berniat sumbar sih, tapi memang banyak yang bilang, kalau aku cocok pakai pakaian apapun dan aku selalu percaya diri akan hal itu.

“Mau ke supermarket, kebutuhan dapur dan lainnya sudah pada habis. Kenapa? Mau ikut?” sengakku berniat menyindir. Bagas tidak akan ikut, pikirku.

“Ya udah aku anter.”

“Boleh.” sahutku cepat. Selain ada yang menyetir mobil, mendorong keranjang belanja, dan juga membawa barang belanjaan ke mobil, yang terpenting bagiku, aku senang kalau ada dia.

Tapi, tepat ketika aku sudah selesai mencuci piring setelah Bagas selesai dengan makanannya dan berniat mengambil tas diatas meja makan yang tadi sempat aku siapkan, aku melihat ponsel Bagas menyala. Tidak ada suara, hanya getar yang membuat ponsel itu sedikit bergerak memutar.

Hera.

Saat itu juga hatiku seperti diremat sepenuhnya. Untuk apa wanita itu menghubungi Bagas? Ada janjikah?

Karena penasaran, dan Bagas tadi berpamitan untuk ke kamar mandi sebentar, aku meraih ponsel tersebut. Dengan lancang, aku menggeser tombol yang melompat ke atas itu, lalu mengarahkan speaker ke arah telinga tanpa mengucapkan sepatah kata.

Disana, diseberang telepon, Hera berkata dengan nada berapi-api, “Kamu dimana? Kita nggak jadi ketemu?” []

^^^to be continued.^^^

...🖤🖤🖤...

Jangan lupa mampir juga ke cerita Vi's yang lainnya ya.

—Vienna (Fiksi Modern)

—Another Winter (Fiksi Modern)

—Adagio (Fiksi Modern)

—Dark Autumn (Romansa Fantasi)

—Ivory (Romansa Istana)

—Green (Romansa Istana)

—Wedding Maze (Romansa Modern)

—WHITE (Romansa Modern)

Atas perhatian dan dukungannya, Vi's ucapkan banyak terima kasih.

See You.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!