Happy Reading...
Luangkan waktu untuk mendukung Wedding Dust dengan cara like komentar, serta simpan di list favorit kalian dan berikan Vote jika berkenan ya...
Thank You🌹
Mau aku ceritakan tentang satu rahasia?
Tentang Bagas dan malam pertama kami.
Aku harap kalian tidak keberatan jika aku membagi ini kepada kalian.
Dulu, aku hidup dari keringat ayah dan ibu yang tidak kenal lelah mencari uang demi menghidupi aku dan kakak laki-laki ku, Dani.
Mas Dani juga memiliki pekerjaan setelah pulang kuliah. Dia bekerja di salah satu Vape store tak jauh dari kampusnya. Setelah dia lulus, mas Dani terpaksa menikah muda karena membuat anak gadis orang hamil. Lalu setelah lulus, mas Dani bekerja di salah satu perusahaan besar dan memiliki penghasilan lumayan hingga bisa membahagiakan mbak Tiana beserta dua anak mereka.
Saat itu, aku masih duduk di bangku kelas tiga SMP. Ayah dan ibu sempat drop dan terpukul karena perbuatan mas Dani, tapi perlahan bisa menerima setelah si cantik Reva lahir.
Begitu lulus, aku mendapat beasiswa di SMA swasta berakreditasi A yang cukup ternama. Disana, didominasi oleh anak-anak orang berada yang mampu unjuk gigi dengan kemampuan finansial mereka. Sebagian besar murid membawa motor saat itu. Ya, dulu, seorang murid bawa motor saja sudah terlihat sangat kaya.
Berbeda denganku yang hanya bisa membayar lima ratus rupiah kepada kang angkot.
Disinilah aku pertama kali mengenal Bagaskara Adewangsa. Dia termasuk murid yang berasal dari keluarga cukup kalau dilihat dari penampilan dan kendaraan yang ia naiki untuk datang ke sekolah. Seingatku, Bagas menaiki Harley lawas saat itu. Bentuk motornya unik dan berhasil menarik perhatian seluruh penghuni SMA dengan badan bongsor tapi seksi miliknya. Ditunjang wajahnya yang tampan, membuat beberapa kakak kelas dan murid baru seperti diriku tak mau melepas tatapan mata dari kehadirannya.
Bagas memakai seragam dan gaya rambut yang cukup nyentrik yang sejujurnya malah membuat aku penasaran, tapi mencoba diam saja. Takut dia menganggap aku gadis aneh.
Setelah pertemuan di hari pertama itu, aku cukup terkejut karena kami berada di satu kelas yang sama. Dia duduk di bangku tepat di belakangku. Kalian tau, Aku cukup bahagia saat itu.
Waktu terus berlalu, hingga kami akhirnya dekat dan memilih untuk bersahabat. Aku ingat betul ketika itu Bagas pernah bilang aku cantik. Ya, meskipun dia mengatakannya dengan tawa keras tidak meyakinkan.
Bagas memiliki banyak penggemar, terutama murid perempuan. Untuk teman laki-laki, dia hanya memiliki beberapa. Itupun tidak terlalu dekat, hanya sebatas kenal.
Dari tahun pertama ke tahun kedua, hubungan kami semakin erat. Bagas sering mengajakku untuk datang kerumahnya. Memperkenalkan aku pada papa dan mama, serta adik perempuannya yang sangat cantik. Namanya Juwita. Aku cukup dekat dengan Juwi, kami sering belajar dan pergi jalan-jalan berdua. Mama Bagas menyayangiku seperti menyayangi Juwi, begitu juga dengan papa Bagas. Keluarga ini begitu welcome padaku.
Hingga di tahun ketiga SMA, kami memutuskan untuk mencari fakultas yang sama. Namun nasib kami berbeda. Bagas mendaftar di dua universitas saat itu. Satu di kota kami, Surabaya. Dan satu lagi di Jakarta. Nah, Bagas diterima di universitas besar yang menjadi tujuan awalnya, tapi aku tidak lolos seleksi dan tetap kuliah di Surabaya. Jujur, otak Bagas lebih encer dari pada otakku. Ini nyata.
Sejak itu, kami jarang bertemu. Hanya berhubungan lewat telepon, itupun tidak bisa kami lakukan setiap hari karena saat itu, aku tidak memiliki ponsel pribadi. Aku meminjam milik mas Dani.
Empat tahun kita berpisah dan hanya bisa bertemu ketika Bagas pulang, pada akhirnya ketika aku sedang sibuk mengurus skripsi, Bagas pulang ke Surabaya dan datang kerumah ku bersama mama dan papanya.
Aku sangat terkejut karena tujuan mereka datang bukan hanya untuk bertamu. Mereka datang melamar ku untuk Bagas. Aku ingat betul apa-apa yang kita berdua bicarakan dan buat sebelum mengambil keputusan untuk mengiyakan pernikahan. Diantaranya tentang anak dan masa depan hubungan persahabatan kami yang berpotensi akan berantakan jika kami berdua tidak pandai mengerti satu sama lain.
Bagas saat itu memiliki kekasih, dan dia sama sekali tidak tau jika papa dan mamanya mengajaknya kerumah untuk melamar ku. Berbeda dengan Bagas yang cukup santai, aku yang masih terkejut justru berubah dingin padanya. Aku tidak ingin menjadi wanita yang dianggap merusak hubungan sahabat sendiri dengan sang kekasih. Jadi aku memilih cuek, bahkan jutek ke hubungan Bagas dan Hera. Ya, selama itu hubungan keduanya jika dihitung rentan bersama.
Pada akhirnya, kami menikah ditengah beberapa kesepakatan yang kami buat berdua tanpa sepengetahuan kedua keluarga, termasuk Bagas yang masih menjalin hubungan dengan Hera. Aku dan bagas berusaha terlihat normal didepan mereka, didepan dia keluarga yang sudah berharap besar untuk pernikahan kami.
Setelah menikah, Bagas memutuskan untuk membawaku ke Jakarta karena pekerjaan yang tidak bisa ia tinggalkan. Aku menuruti karena dia adalah suamiku, sekarang. Setahun berdiam diri dan hanya bergelut dengan pekerjaan rumah, aku mulai bosan lantas meminta izin ke Bagas untuk mencari pekerjaan, dan Bagas memberi izin.
Ada beberapa lowongan pekerjaan yang sesuai dengan keinginanku. Yakni ditempat kerjaku sekarang, di sebuah kantor ekspor impor luar negeri yang cukup besar. Aku diterima sebagai asisten salah satu devisi.
Untuk malam pertama kami, itu....terjadi dua bulan setelah pernikahan dilaksanakan. Saat kantor Bagas mengadakan family gathering dan dia mengajakku ikut bergabung.
Disebuah Villa, cuacanya sangat dingin, dan Bagas yang tiba-tiba meminta haknya sebagai seorang suami. Aku tidak bisa menolak dan mengingatkan komitmen kami diawal. Tidak untuk anak. Bagas mengiyakan, dan kami memulainya.
Canggung, awalnya. Tapi setelah melewati beberapa foreplay, kami pada akhirnya bisa relax ketika berbagi peluh. Bagas berlaku lembut dan penuh perhatian ketika menyentuhku. Bahkan ketika dia melakukan pene*trasi untuk pertama kalinya pada milikku, dia berbisik tepat ditelinga ku jika dia tidak ingin mendapatkan kepuasan seorang diri. Dia ingin kami mendapatkannya bersama.
Aku menahan suara jeritan dengan menggigit bibir kuat-kuat ketika Bagas mencobanya sekali lagi. Hal yang baru aku tau, bukan hanya tubuhnya yang tinggi besar, milik Bagas pun memiliki ukuran cukup besar. Ralat, sangat besar lebih tepatnya.
Mencengkeram, memukul, bahkan menendang udara, aku terus mencoba menahan rasa sakit yang amat asing ketika Bagas perlahan-lahan berhasil mendapatkan aku. Ya, kami berhasil setelah tiga kali mencoba. Di jam berbeda.
Cukup memalukan, tapi kami terus mencari titik tertinggi dari kegiatan ranjang kita yang pertama.
Mengingat malam itu, selalu berhasil membuatku merona, atau paling parahnya merindukan Bagas di jam krusial. Ah, ini tidak baik. Jam kerjaku masih satu jam lagi, dan tidak lucu jika aku merindukan sentuhan Bagas.
Okey, jadi kita akhiri ceritanya sampai disini saja.
Aku mengulum senyuman karena ingat kegiatan ranjang semalam. Bagas selalu terlihat memujaku diatas ranjang. Aku tidak besar kepala, karena memang seperti itulah tatapan Bagas ketika sedang berolah raga panas diatas ranjang bersamaku.
“Sudah siap, Nad?”
Suara berat pak Hans melebur semua lamunan mesumku pada suamiku sendiri. “Eh, i-iya pak.”
“Kalau begitu, ayo.”
Aku diberi lembur satu jam dari pihak perusahaan untuk memperkenalkan tempat-tempat yang ada di perusahaan kepada pak Hans, kepala Devisi baruku.
Melihat namanya di ID card yang menggantung didepan perut yang tertutup kemeja biru langit, aku teringat akan ucapan Bagas.
Hansel Tiono.
Laki-laki didepanku itu memiliki nama sama dengan yang disebutkan Bagas. Lalu, sejauh mana Bagas mengenal laki-laki ini?
Aku kembali terkejut saat pak Hansel kembali bersuara. “Kamu sedang kurang sehat?”
“Eh, enggak kok pak. Saya baik-baik saja.”
“Syukurlah kalau begitu.”
Pak Hans tersenyum ramah ke arahku, memperlihatkan dua lesung pipinya yang begitu dalam diantara bakal jenggot yang sudah dicukur rapi. Lalu, aku semakin terkejut ketika pak Hans mengulurkan tangan dengan telapak terbuka. Aku menatapnya sekilas, dan dia menunjuk telapak tangannya agar disambut, dengan kode mata.
“Kita belum kenalan.”
Aku menatapnya lagi, lalu menyambut telapak tangan besar itu dengan telapak tangan kecil milikku.
“Hansel Tiono.” ucapnya memperkenalkan diri yang semakin membuatku teringat akan Bagas. Tapi aku tidak ingin bersikap amatir dan tidak profesional dengan mencampur adukkan apa yang ada dirumah dan di kantor. Dengan dalih itu, aku melempar senyuman termanis ku kepada pria menjulang bermata sipit didepanku, lantas menyebutkan namaku. “Nadya Ayunda.”
Pak Hans kembali tersenyum dan menggerakkan tangannya sedikit menggenggam. “Senang bekerja dengan mu, Nadya. Aku harap kita menjadi partner yang baik ya.”
Aku tersenyum canggung sembari mengangguk.
“Aku harap bisa mengenal kamu lebih jauh agar pekerjaan kita dapat terlaksana dengan baik.” aku cukup terpaku dengan kalimat itu. Kalimat lembut dan sama sekali tidak menuntut. Laki-laki ini, terkesan baik. “Kamu, tidak keberatan 'kan?” []
^^^to be continued.^^^
...🖤🖤🖤...
Apakah ini awal segalanya? Lalu, apakah Nadya akan goyah dari Bagas? 😁
Terus ikuti kelanjutan Wedding Dust ya...
...|•|...
Mampir juga ke cerita Vi's yang lainnya ya
—Vienna (Fiksi Modern)
—Another Winter (Fiksi Modern)
—Adagio (Fiksi Modern)
—Dark Autumn (Romansa Fantasi)
—Ivory (Romansa Istana)
—Green (Romansa Istana)
—Wedding Maze (Romansa Modern)
—WHITE (Romansa Modern)
Atas perhatian dan dukungannya, Vi's ucapkan banyak terima kasih.
See You.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Nur Yuliastuti
mau mau sebentar lepas apron sm taruh pisau dl
2023-09-30
1
MACA
Ah..ternyata ini cerita nys
2022-10-31
1