...Happy Reading......
...Jangan lupa like nya ya.....
...Terima kasih.🌹...
Hubungan suami istri yang baik itu... yang bagaimana sih? Yang selalu romantis kah? Atau yang selalu manis dan saling perhatian? Atau, yang biasa-biasa saja tapi diam-diam peduli?
Selama hidup dan mengenal Bagas, laki-laki itu selalu memperlakukan aku dengan baik. Menuruti apa-apa yang aku pingin, dan memperlakukan aku sebagaimana seorang suami kepada istrinya. Dan ya, selama ini kami berhasil menjalani hubungan meskipun kadang aku sendiri berfikir kemana arah langkah kami membawa semua hubungan transparan ini.
Kami bahkan berani mengambil komitmen konyol dengan menunda memiliki momongan. Padahal, seluruh keluarga berharap kami segera memilikinya.
Ditahun pertama pernikahan kami, baik aku maupun Bagas, tidak pernah mempermasalahkan omongan orang tentang kapan kami memiliki anak. Ditahun kedua, kami, ah tidak, aku berusaha baik-baik saja dan berfikir jika mereka pasti hanya ingin tau. Untuk itulah mereka bertanya kapan kami akan menimang bayi.
Berbeda dengan tahun pertama dan kedua, ditahun ketiga pertanyaan-pertanyaan seperti itu mulai menggangguku. Meskipun aku bersikap fine-fine saja, nyatanya ada goresan yang membuat hatiku terasa perih. Apalagi saat aku tak sengaja mendengar mereka mengatakan aku mandul. Yeah, begitu menyakitkan, dan aku nggak bisa berbohong kalau hatiku amat sangat sakit. Bagas nggak pernah tau aku pernah mendengar kata menyakitkan itu. Aku berharap dia tidak akan pernah mendengarnya, atau jika tidak, dia akan melanggar komitmen awal kami demi membuktikan jika aku tidak benar-benar seperti yang mereka bicarakan.
Kemudian, ditahun ke empat, aku sempat merenung jika memiliki momongan memang perlu dalam hubungan rumah tangga. Katanya, karena anak, kita akan mampu bertahan meskipun masalah datang tanpa henti. Pikiran itu sempat mengetuk hatiku untuk ingin segera memilikinya, namun kembali pupus karena pada kenyataannya, kami memang belum pantas memilikinya karena kami belum memiliki arah untuk kesana.
Keluargaku dan keluarga Bagas kerap bertanya pada kami, isi pertanyaannya sama saja, kapan kami memiliki anak? Dan jawaban kami masih tetap sama juga, nanti.
Dan sekarang, ditahun kelima pernikahan kami, pertanyaan itu seperti ranjau bagiku. menyakitkan dan membuat hancur ketika meledak. Aku bagai sudah mati rasa. Bersikap dingin, bahkan tidak segan berucap kaku jika ada yang menyinggung tentang anak didepanku. Aku tidak peduli mereka sakit hati atas ucapanku, karena hanya dengan cara itu, aku bisa menyelamatkan diriku sendiri.
“Ada masalah, Nad?” tanya pak Hans ketika kembali dari ruang meeting dan mungkin sedang menangkap ku yang sedang melamun. Ia berjalan penuh wibawa menuju meja kerjanya, meletakkan beberapa berkas dan juga iPad, lalu duduk dan mulai meraih mouse komputer.
“Tidak, pak.”
“Cerita kalau ada masalah. Anggap aja aku teman kamu di kantor, kayak si Tara.”
Mendengar pak Hans berkata seperti itu, aku merasa mempunyai teman baru. Aku merasa diperhatikan, meskipun tidak seharusnya seperti itu mengingat status kami berbeda. Dia orang penting disini, sudah seharusnya aku menghormati, bukan malah menganggapnya sebagai teman.
“Ah, tidak pak. Terima kasih.” jawabku pelan.
“Kenapa? Takut suamimu marah?”
Lho? Dia tau aku sudah menikah? Padahal kami belum pernah bicara tentang status kami masing-masing.
“Bu-bukan begitu. Bapak kan atasan saya, tidak pantas saya bersikap seolah bapak teman saya.” jawabku sesuai realita sambil melihat ke arah pak Hansel.
“Nggak apa-apa. Aku nggak keberatan kok. Nggak masalah, toh hanya cerita.”
Benar juga, tapi...apa benar-benar tidak masalah?
“Jadi, cerita saja kepada saya kalau ada masalah. Masalah pribadi, keluarga, nggak masalah. Kalau bisa, nanti saya kasih solusi. Itung-itung meringankan beban pikiran, dan kerja juga jadi lebih fleksibel, konsentrasi juga nggak terganggu, benar kan?.”
Mungkin tujuannya, agar aku lebih nyaman bekerja. Begitu kan? Aku hanya tersenyum menanggapi penjelasan panjang lebar dari pak Hans.
“Data dari pusat, sudah masuk E-mail?” tanya pak Hans memecah keheningan yang sempat kembali tercipta.
““Belum, pak. Baru saja saya cek, dan belum ada E-mail masuk selain dari perusahaan jepang.”
Pak Hans sedikit memajukan bibirnya sambil mengangguk, kemeja biru bergaris mencetak tubuh, dasi biru tua yang membebat leher kekar dan putihnya, rambut di Pomade rapi ke sisi kanan, entah mengapa itu terlihat seksih sekali. Aku belum pernah melihat ekspresi Bagas melakukan apa yang sering dilakukan pak Hans di kantor seperti itu. Entah kalau di kantornya.
“Mmmm... biar aku tanya ke pusatnya saja sekarang.” gumamnya pelan dengan bibir tipis berwarna pink yang sedikit terbuka, lalu tiba-tiba saja lidahnya keluar untuk menyapu bibirnya yang tidak kering. “Tolong cek E-mail yang dari kantor JY-GRUP.”
Gilanya, aku terkejut karena sibuk melakukan pemindaian pada fitur wajah atasanku, dan aku gugup setengah mati karena seperti tertangkap basah menguntit. “Ba-baik pak.”
Ini tidak benar. Tidak seharusnya aku seperti ini.
***
Sore harinya, Bagas menjemput seperti yang dia janjikan tadi pagi. Kami sempat mampir ke sebuah super market untuk membeli pasta gigi yang ternyata tidak ada stok di rumah, kelupaan.
“Mau makan malam apa?”
“Nasi goreng.” jawab Bagas cepat, sepertinya dia sudah memikirkan jawaban itu jauh sebelum aku bertanya.
Aku mengangguk. “Gas,”
“Emmm?”
“Aku ada tugas luar kota Minggu ini.”
Bagas terlihat keberatan. Sorot matanya yang menelitiku sekejap itu terlihat tidak nyaman. “Kemana?”
“Semarang.”
“Sama tim, atau berdua?”
Aku tidak menyangka jika Bagas bisa menjawab dengan tenang, meskipun ada ekspresi tidak suka dari wajahnya. Aku tebak, dia tidak ingin memancing pertengkaran lagi dan memilih berdamai dengan dirinya sendiri.
“Satu tim, tapi beda-beda divisi.”
Bagas mengangguk. “Berapa hari?”
“Belum tau, kantor pusat belum menetapkan. Tapi kata pak Hans, bisa sampai dua hari.”
Aku bisa merasakan Bagas menginjak pedal rem diantara laju gas mobil, meskipun samar. Dia terkejut karena selama ini, kepala divisi lama saja tidak pernah melibatkan aku kalau ada meeting yang terlalu jauh. Kalau kepala divisi yang lama, lebih memilih menggunakan assiten yang ditunjuk dari kantor. Biasanya hanya dua orang. Tapi kali ini, pak Hans meminta sendiri padaku, agar aku ikut. Katanya, dia belum terbiasa dan lebih nyaman kalau aku yang mendampinginya.
“Kalau aku larang, kamu pasti marah,” kata Bagas dengan senyuman yang terlihat kaku. “Jadi, ya mau bagaimana lagi?”
“Kalau kamu larang, ya aku ngomong ke pak Hans kalau aku nggak bisa.” sahutku cepat ngerasa nggak enak. Bagas itu suamiku, kok kesannya aku
Aku semakin tercengang ketika Bagas menggeleng. “Nggak apa-apa. Aku percaya sama kamu.”
Hatiku mencelos. Bagas seperti sedang menyindir ku secara nggak langsung, membuat aku menunduk dengan perasaan sedikit bersalah karena terkesan memaksa.
“Beneran?” tanyaku memastikan sambil menekuk-nekuk tali tas selempang kulit dipangkuan.
“Iya, nggak apa-apa. Kamu jangan nakal disana.”
Gas, Bagas. Kenapa kesannya aku—
“Kasih jatah dulu sebelum berangkat.”
Ranjang adalah kunci, sekaligus kebutuhan. Jadi aku anggap itu impas karena Bagas memberikan izin.
“Okey. Kamu bebas mau berapa ronde, aku turutin.”
“Beneran?” tanya Bagas dengan wajah jail dan senyuman nakal. “Nanti malah batal luar kota, pingin deket-deket aku terus gimana?”
“Ish, kamu?!” kesalku sambil mencubit lengannya yang sibuk dengan kemudi hingga bibir seksihnya mengaduh sakit. Rasain, siapa suruh goda-goda nakal begitu. Tapi, bagaimanapun, aku nggak bisa bohong karena lega ada kerelaan Bagas melepasku dengan rasa percayanya.
“Sakit loh, Nad. Kamu kalau nyubit kok bisa sakit begitu sih?” tanyanya tak kalah sebal akibat cubitanku.
“Nggak tau. Udah dari sono nya.”
“Aku bakal bikin kamu nggak bisa tidur di Semarang, karena mikirin aku.”
Aku tersenyum lembut, meraih pahanya untuk ku tepuk. “Boleh.” []
^^^to be continued.^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments