...Luangkan waktu untuk memberi Like, komentar, untuk Wedding Dust ya teman-teman. Jangan lupa juga ditambahkan ke list favorit dan vote jika tidak keberatan....
...Terima kasih.💕...
...Happy Reading......
Nggak usah jemput. Aku pulang naik ojek.
Aku memijat pelipis setelah berhasil mengirim pesan itu pada Bagas. Rasanya masalah tidak berhenti mengitari kami. Ada saja yang membuat otak kami mengepul seperti asap rokok, bahaya jika terus dihirup.
Sial!
Aku mengumpat ke empat kalinya ketika mengingat apa yang dikatakan Tara saat makan siang tadi.
Tara bilang, Bagas memintanya untuk memberitahu apa yang aku lakukan bersama pak Hans dikantor. Bisa-bisanya Bagas melakukan itu? Apa dia tidak percaya padaku? Mengapa sampai sejauh itu dia melakukan kekonyolan? Apa dia ingin aku benar-benar berselingkuh dengan pak Hansel?
Selama ini, aku tidak pernah ikut campur urusannya bersama Hera. Tapi, mengapa mendadak posesif hanya karena mengira Hansel Tiono yang menjadi kepala Devisiku yang baru, adalah Hansel yang ia kenal ketika kuliah.
Nggak salah sih kalau dia bersikap antisipasi begitu, karena dia itu suamiku. Tapi caranya salah. Mengapa dia tidak bertanya langsung saja kepadaku, atau percaya padaku? Malah menyuruh Tara memberi informasi sembunyi-sembunyi tanpa sepengetahuan dariku. Ini yang membuat aku tidak suka, dia sudah berusaha mengusikku.
Dari pelipis, aku beralih menekan pangkal hidungku yang kini berat dan membuat pusing. Sialan Bagas.
Drrrt.
Aku meraih ponsel dan membaca pesan masuk, dari Bagas.
Bagas: Aku udah OTW. Mau putar balik malas, jadi lanjut aja ke kantor kamu
****!!
Aku meremat tanganku sendiri. Ingin sekali memaki Bagas saat ini juga. Aku melirik jam di pergelangan tangan, dan masih setengah jam lagi waktu kerja usai.
“Nad, kamu mau kopi? Sekalian, aku mau bikin.”
Suara pak Hans memecah emosiku yang hampir meledak. Aku mengangkat wajah dan menemukan mata sipitnya yang semakin bersembunyi lantaran tersenyum padaku. Dia benar-benar atasan yang baik dan peduli.
“Ah, tidak perlu pak. Saya tidak minum kopi.” tolakku halus, karena memang aku sudah janji ke Bagas kalau tidak akan lagi minum kopi. “Bapak mau saya buatkan? Sekalian saya mau isi botol minum saya.”
“Ah, nggak ngerepoti kan?”
Aku tersenyum balik sambil berdiri dan meraih botol minuman yang dibelikan Bagas setahun yang lalu. “Tidak. Silahkan pak Hans melanjutkan pekerjaan bapak saja. Urusan kopi, biar jadi urusan saya.”
Pak Hans tersenyum semakin lebar hingga mata sipitnya benar-benar membentuk satu garis dan menenggelamkan pupil coklatnya. “Thanks. Kopi dua sendok, gula satu sendok saja ya.”
Aku mengangguk kemudian mulai berjalan menuju pintu keluar dan menuju dapur hendak membuat kopi untuk pak Hans yang kelihatannya akan lembur hari ini.
Sepanjang langkah menuju dapur, aku terus kepikiran Bagas. Kenapa dia seperti itu padaku? Kenapa dia tidak percaya padaku? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus berputar didalam kepalaku, berdengung keras meminta jawaban dan penjelasan detail dan spesifik tentang tujuannya bersikap konyol kekanakan begitu.
Sesampainya di dapur kantor dan menyapa beberapa petugas kebersihan yang juga sedang santai menunggu jam kerja usai, aku mengambil satu cangkir bersih dari nakas. Kemudian meraih toples berisi kopi hitam, dan juga gula di toples lain. Bagas pernah bilang, kalau bikin kopi itu airnya harus mendidih. Kalau tidak, perut bisa kembung.
Bagas lagi, Bagas lagi!
Aku meraih salah satu panci yang ada di gantungan diatas westafel. Mengisinya dengan air galon, lalu memasaknya diatas tungku kompor.
Otakku terus berisik memikirkan kelakuan Bagas yang berlebihan dan tanpa sadar menyakiti satu sisi diriku. Aku menumpu kedua tangan di pinggiran meja marmer, mengetuk ujung jari karena sibuk mencari kalimat yang akan aku sampaikan pada Bagas sesampainya dirumah nanti.
Apa aku harus marah begitu saja? Atau berbicara empat mata secara baik-baik?
Lamunanku buyar ketika bunyi didihan air menyapa gendang telinga milikku. Aku mematikan api, dan menuang air ke dalam gelas cangkir berukuran kecil yang sebelumnya sudah aku isi gula dan kopi.
Meskipun aku sering membuat kopi untuk Bagas, mengapa membuat kopi untuk pak Hans membuat aku gugup ya? Takut rasanya tidak sesuai.
Aku mengetuk pintu dan mendorong pintu, lalu membawa secangkir kopi dan meletakkannya diatas meja kerja pak Hans.
“Thank you Nadya...” ucapnya dengan nada riang gembira seperti anak kecil yang diberi permen. Ah, menatap aku deg-degan?
“Maaf kalau rasanya nanti tidak sesuai dengan yang bapak inginkan.” kataku sebelum orang itu protes dengan kopi hasil buatanku.
“Pasti enak. Kamu masukkan takarannya sesuai yang aku minta kan?”
Aku mengangguk. “Iya.”
“Pasti sesuai.”
Aku kembali mengulum senyum. Laki-laki ini fokus didepan layar komputer, tapi kenapa bisa fokusnya terbagi begitu ya? Kalau itu aku, pasti sudah bingung sendiri jika sedang konsentrasi dan diajak bicara.
“Ah, jam kerja udah berakhir loh. Kamu bisa pulang sekarang.”
“Bapak lembur? Apa ada yang bisa saya bantu sebentar? Saya nggak apa-apa kok.”
Pak Hansel mengangkat wajahnya demi menjawab ucapanku. “Nggak perlu. Kamu pasti lelah, seharian mondar-mandir naik turun lantai kantor. Lebih baik kamu pulang dan istirahat. Biar besok bisa kerja maksimal, Okey?”
Benar juga. Belum lagi otakku yang butuh hiburan. Sepertinya Netflix bukan pilihan buruk. Sampai dirumah dan selesai makan malam nanti, aku mau lihat film saja. Ya, itu lebih baik daripada terus memikirkan persoalan tentang Bagas.
“Baiklah kalau begitu. Saya undur diri dulu, pak.”
“Oke, hati-hati pulangnya.”
Aku mengangguk disemati senyuman ramah agar pak Hans senang. Kemudian aku berjalan menuju meja kerjaku, meraih tas selempang hitam milikku, lalu berjalan hendak keluar ruangan. Namun terhenti ketika pak Hans berkata,
“Oh ya Nad. Minggu depan ada kerjaan luar kota. Kamu temani aku ya?”
***
Ketika aku berlahan melewati pintu kaca lebar yang terbuka otomatis, aku langsung mengenali mobil Bagas yang terparkir tak jauh dari gerbang pintu masuk kantor tempatku bekerja. Ada rasa campur aduk yang tidak bisa aku ungkapkan saat ini. Ada emosi yang membuncah, ada rasa senang yang melilit perut, dan tentu saja ada sepercik rasa bersalah kepada Bagas karena aku sudah memusuhinya dalam diam.
Aku berjalan menuruni undakan sebanyak enam buah ketika mobil Bagas bergerak mendekat. Lalu aku berjalan memutar dari arah depan, dan masuk ke dalam mobil. Duduk bersisihan dengan Bagas saja membuat urat leherku seperti ingin meledak tanpa sebab. Ingin sekali mengatakan semua uneg-uneg dalam hatiku, untuk dia.
“Jadi masakin aku sop?”
“Eum.” jawabku singkat sambil memakai seatbelt, lalu Bagas melajukan mobil meninggalkan area kantor dan berbaur dengan kendaraan lain di jalan utama.
“Aku—”
“Tolong jangan bicara apapun selama perjalanan.”
Arggh...kenapa aku berkata begitu? Ingin sekali menampar mulutku sendiri karena sudah bicara kasar ke Bagas seperti itu. Bagaimana kalau dia tidak terima, dan berakhir mendiamkan aku selamanya? Aku nggak mau itu terjadi.
Mengalihkan rasa bersalah, aku menatap keluar jendela. Entah mengapa bukannya tenang, aku semakin takut. Sorry, Gas. Aku nggak maksud ngomong gitu ke kamu.
“Maaf atas sikapku ke kamu, nad.”
Aku masih tetap dengan posisiku. Bohong jika aku hanya ingin diam tidak ingin bicara, rasanya aku ingin sekali menjawab ucapan permintaan maaf Bagas dengan kalimat-kalimat yang sudah mendesak dan memaksa keluar dari kerongkongan. Tapi tetap, aku tahan.
“Harusnya, aku nggak minta Tara—”
“Aku cuma minta tolong, jangan ngomong apapun sampai kita dirumah.”
Bagas diam seketika, tapi aku bisa merasakan kemarahannya dari caranya mengemudi mobil yang kami tumpangi, ugal-ugalan. Aku juga mendengar dia mengumpati orang-orang yang menyalip mobilnya, padahal mereka tidak melakukan kesalahan lalu lintas apapun.
Dan sesampainya dirumah setelah aku membuka pintu, Bagas menarik kasar pergelangan tanganku hingga aku berbalik menghadapnya. Matanya tajam menghujam, bibirnya terkatup rapat, dan rahangnya terlihat mengerat. “Berhenti kerja dari tempat itu.” katanya tanpa basa-basi hingga membuatku bagai disambar petir di siang bolong.
Aku tertawa hambar. Jadi ini benar-benar hanya karena Hansel Tiono?
“Nggak.”
“Kenapa?”
“Kamu yang kenapa?” todongku tanpa ampun. Sudah seharian aku menahan emosi. Dan inilah saatnya semua meledak. “Karena Hansel? Kekanakan.” cebikku meremehkan dengan senyuman miring disudut bibir.
“Kekanakan? Nad, aku cuma nggak pingin kamu—”
“Selingkuh?!” teriakku dengan ekspresi datar. Inilah gunanya kepercayaan dalam sebuah hubungan rumah tangga. Jika kalian tidak bisa percaya dengan pasangan, sampai kapanpun hubungan kalian tidak akan tenang. “Kamu nggak percaya sama aku?”
“Nggak gitu Nad. Kamu nggak kenal siapa Hansel itu.”
Aku membuang muka, melipat bibirku tajam lalu menjumput suraiku karena sebal bukan main. “Bukankah sudah aku katakan, pak Hansel itu atasan baru yang masih perlu bantuan ku, Gas. Tapi kamu keterlaluan sampai bawa-bawa Tara untuk mata-matai aku! Kamu keterlaluan, Gas.” lanjutku dengan suara rendah sedikit bergetar. Aku masih mencoba untuk tidak menumpahkan tangis didepan Bagas.
Tidak ada jawaban yang dikatakan Bagas untuk membela dirinya.
“Aku nggak tau masalah kamu sama Hansel di masa lalu. Tapi aku nggak suka kamu memperlakukan aku seperti istri yang nggak fair sama suaminya. Aku nggak suka kamu begini, Gas. Karena selama ini, aku nggak pernah ikut campur hubungan kamu sama wanitamu itu!”
Aku memutar tubuh, bersiap meninggalkan Bagas yang masih terdiam. Tapi kepalang tanggung jika aku hanya mengatakan sepenggal kalimat-kalimat itu tanpa penutup. Aku memutuskan menengok ke kanan sampai menemukan bayangan Bagas di ekor mataku. Lalu, dengan nada dingin aku berkata,
“Jangan salahkan aku jika apa yang kamu coba tuduhkan padaku itu, jadi nyata.” []
^^^to be continued.^^^
...🖤🖤🖤...
Gimana ya? Akhir-akhir ini kok suka sama alur yang seringkuh-seringkuh? 🤭
Dibuat seringkuh tidak?
Jangan lupa mampir juga,
—Vienna (Fiksi Modern)
—Another Winter (Fiksi Modern)
—Adagio (Fiksi Modern)
—Dark Autumn (Romansa Fantasi)
—Ivory (Romansa Istana)
—Green (Romansa Istana)
—Wedding Maze (Romansa Modern)
—WHITE (Romansa Modern)
Atas perhatian dan dukungannya, Vi's ucapkan banyak terima kasih.
...See You....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
YuWie
gak asyik kali ya klo gak bertengakar, berbantah2an....
2022-08-29
1