...Luangkan waktu untuk memberi Like dan simpan di list favorit untuk Nadya dan Bagas ya......
...Thank you.🌹...
...Happy Reading......
Aku menginjak lantai rumah tepat pukul tujuh malam. Jalanan cukup padat malam ini, dan aku nggak bisa mewujudkan keinginanku untuk ngajak Nadya jalan-jalan. Dia pasti menolak karena sudah terlalu malam, dan memintaku tidur saja agar badan segar besok pagi.
Lampu ruang tamu menyala, itu berarti Nadya sudah sampai dirumah. Aku harap dia masak karena aku lapar sekali setelah Gym. Aku bahkan memilih nggak makan dan membatalkan janjiku sama Hera, untuk yang kesekian kalinya.
Aku menutup pintu mobil dengan sedikit tenaga hingga berdebum cukup keras. Lalu aku berjalan cepat ke arah pintu, bergegas karena ingin cepat-cepat bertemu Nadya.
Pesan yang dikirim Tara tadi sore cukup membuatku was-was. Kata Tara, Nadya lembur berdua bersama kepala Devisi mereka yang masih baru. Itu artinya, Nadya hanya berdua bersama Hansel selama sejam. Tanpa ditemani siapapun? Atau aku terlalu berlebihan mendefinisikan makna berdua, disini?
Setelah menutup pintu, aku melihat Nadya sedang merebah santai diatas sofa ruang tengah sambil melihat film action dari Netflix. Aku mendekat.
“Kamu udah makan, Nad?”
“Udah.”
Aku harap dia tidak memesan fastfood seperti yang dia katakan tadi pagi di WhatsApp.
“Masak apa?”
“Ah, pak Hans membelikan aku tadi sore setelah pulang lembur. Tapi aku udah bikinin kamu gudeg tuh.”
Makan bersama. Langkah awal Hansel untuk Nadya. Aku mendadak kesal dan melempar tas kerjaku di sofa yang ada disisi Nadya hingga dia terkejut.
“Apa sih Gas. Kamu nggak takut iPad mu rusak dilempar begitu?” ketusnya sambil menatap tajam tepat di bola mataku.
“Nggak.” jawabku singkat lalu berjalan menuju meja makan. Mengambil piring dan mengisinya dengan beberapa centong nasi. Aku lapar, sekaligus ingin membakar emosi.
Nadya berjalan mendekat. Pasti dia akan mengomel karena aku makan sebelum berbersih diri. Hal itu adalah hal yang paling dibenci Nadya. Dia tidak suka saat aku makan tanpa mandi terlebih dahulu sepulang kerja.
“Mandi dulu.”
Terlanjur uring-uringan, aku nggak peduli sama sekali dengan perkataan Nadya. Yang ada didalam otakku saat ini, hanyalah Nadya dan Hansel yang makan berdua. Gila. Kenapa aku se-emosi ini? Padahal aku tidak jauh lebih baik dari Nadya yang bahkan tidak pernah mengingkari pernikahan kami dengan menjalin hubungan dengan laki-laki lain.
Atau, ini langkah awal Nadya untuk melakukannya? Mencari sandaran baru yang lebih bisa mengerti dirinya? Kalau tidak, mengapa dia menerima ajakan Laki-laki yang bahkan baru sehari ia kenal alih-alih menolaknya. Setauku, Nadya nggak gampang didekati oleh siapapun.
“Gas, mandi du—”
“Aku lapar, Nad. Masa' kamu mau mempermasalahkan kebersihan dari pada suamimu yang kelaparan?”
Kalimat sarkas itu sukses membuat Nadya berdiri mematung di sampingku. Aku meliriknya sekilas dan lega karena berhasil membuat dia kecewa. Apa dia tidak merasa, betapa kecewanya aku yang tau dia memilih makan dengan laki-laki lain?
“Kamu kenapa sih?”
“Aku lapar.” jawabku masih tak menjalankan titah Nadya, malah melahap nasi yang sudah aku beri gudeg dan ayam goreng serta sambal terasi buatan Nadya yang menjadi kesukaanku.
“Ck!! Terserah!”
Dia pergi. Meninggalkan aku sendirian dimeja makan dengan pikiran kacau. Aku menahan seluruh amarah yang terus membakar hatiku karena Nadya. Aku menahannya agar nggak meledak pada Nadya.
Pintu kamar berdebum keras. Nadya pun kini mungkin sedang di rengkuh emosi karena aku tidak menuruti keinginannya agar membersihkan diri sebelum makan. Tapi anehnya, kenapa kali ini aku merasa lega melihat Nadya marah seperti itu?
Tunggu! Apa ini yang dinamakan cemburu?
***
Keesokan harinya, Nadya nggak nolak saat aku antar berangkat ke kantor. Tapi wajahnya masih terlihat masam—jutek minta ampun— mungkin karena sikapku padanya semalam.
“Nanti pulang jam berapa? Aku jemput.” ucapku memulai obrolan setelah hampir tiga puluh menit didalam mobil, kita nggak bicara apapun.
“Nggak perlu. Aku bareng Tara aja.”
“Nggak. Nanti aku jemput.” jawabku keras kepala yang mendapat sorotan tajam dari Nadya. Selain moody, Nadya itu orangnya nggak suka dipaksa.
“Terserah.” jawabnya ketus, melepas seatbelt lalu menarik pengait pintu mobil dan bersiap keluar.
“Aku pingin sop sayap ayam buat makan malam nanti.”
Nadya menoleh, wajahnya terlihat semakin kesal dan aku merasa bersalah kali ini. Aku kelewatan mungkin?
“Jemput aku jam empat.”
Senyuman mengembang di bibirku mendengar jawaban ketusnya. Nadya nggak keberatan, itu artinya semuanya fine kan?
***
Kantor tidak terlalu sibuk. Pekerjaan sudah rampung, aku hanya perlu memeriksa beberapa berkas laporan dari staff dan memberikan tanda tangan di beberapa kelengkapan pengajuan kredit dari nasabah. Tepat ketika aku melirik jam, seseorang mengetuk pintu lalu menyembul dari balik pintu. Dia Tiara, dari bagian customer servis.
“Selamat siang, pak. Ada tamu untuk bapak.”
“Tamu?” seingatku, aku tidak ada janji bertemu dengan siapapun hari ini.
“Iya, nona Hera, saudari bapak.”
Aku memperkenalkan Hera sebagai saudara di kantor. Nggak mungkin aku ngenalin dia sebagai kekasihku, karena yang orang kantor tau istriku adalah Nadya Ayunda, bukan Herayani Andar, wanita yang cantiknya tumpah ruah tapi berekspresi dingin bin jutek setengah mamvus, baik dan memiliki hati selembut sutra. Itulah Nadya-ku, aku mengenalnya dengan baik. Dia tidak ingin kebaikan yang ia lakukan menjadi ajang penilaian orang lain, dan lebih memilih berbuat baik dalam diam. Kalau tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai tau, begitu prinsip yang ia pegang hingga sekarang.
“Ah, suruh masuk saja.”
“Baik, pak.”
Tidak sampai sepuluh menit, Hera sudah menyapaku dengan senyumannya. Hera yang cantiknya masih beberapa level di bawah Nadya. Eh?
Dia berjalan mendekat dan memelukku singkat, tidak lupa membubuhkan kecupan ringan di bibirku. Bukannya senang, kenapa aku malah takut jika Hera terluka jika tau aku yang sekarang? Aku yang sedang berusaha menarik diri darinya. Aku yang sedang berusaha....menerima Nadya sebagai seorang wanita, yang pantas disebut istri.
“Kenapa nggak ngasih kabar kalau kesini?” tanyaku basa-basi yang disambut bibir kerucutnya pertanda sebal.
“Kasih kabar gimana? Orang kamu ditelepon nggak jawab?”
Aku mengangguk sambil tersenyum dan mengusap rambut pirangnya yang diikat rapi. “Sorry. Aku sibuk, kerjaan akhir-akhir ini numpuk.”
“Iya kah? Bukannya kamu lagi sibuk sama istri kamu ya?”
Itu juga sih. Hera, kamu sudah tau itu tapi malah bertanya. Aku ingin tertawa jadinya.
“Ah, itu juga termasuk sih. Nadya sensitif dan gampang marah kalau aku cuek.”
“Alasan!”
“Kamu masih marah karena dia jawab telepon kamu?” tanyaku, mencoba mencari topik lain yang mungkin membuat Hera sampai datang kesini.
“Marah. Banget! Kenapa sampai dia sih yang jawab teleponku? Kamu juga! Kenapa balas pesanku kayak gitu? Kamu udah nggak sayang sama aku lagi?”
Aku terpaku. Selama ini, aku memang mencintai Hera. Tapi aku lebih menyayangi Nadya dan tidak pernah membayangkan jika sampai kehilangan sosok sahabat dan juga...sosok istri yang peduli pada suami.
“Kamu berubah, Gas.”
Aku menatap Hera tepat di pupil matanya. Lalu teralihkan oleh gerakan Vibra ponselku dari atas meja yang berderit cukup kuat. Sebuah pesan masuk atas nama Tara. Fokusku terpecah, antara pesan dari Tara dan Hera yang sedang ada bersamaku.
“Siapa?” Hera bersuara. Dia penasaran pada si pengirim pesan.
“Tara, temen aku.”
Lalu aku meraih ponsel karena penasaran pada berita yang disampaikan Tara padaku.
Tara: Sorry, Gas. Gua keceplosan bilang ke Nadya kalau Lo minta gua ngasih informasi ke elo soal dia dan pak Hans. Beneran nggak sengaja. Keceplosan gitu aja. Nadya kayak lagi badmood sekarang. Really sorry ya, Gas.
Aku menghela nafas. Hal ini sudah aku antisipasi. Cepat atau lambat, Tara pasti akan tertangkap Nadya. Hah, membingungkan.
Dengan kecepatan kilat, aku mengetik balasan.
Ya udah. Ngga apa-apa Ra. Thank you udah ngasih tau dan bantu aku ya. Sorry juga udah bikin Nadya jutek ke kamu, pastinya kan?
Thankyou so much, and then, sorry.
Aku meletakkan ponsel sedikit kasar diatas meja, lalu menyugar rambut dan mengusap kasar wajah. Aku yakin, akan ada perang dunia malam ini. Nadya pasti akan meledakkan emosinya padaku, karena aku sudah keterlaluan mencampuri urusannya. Meskipun aku tau punya hak atas semua itu. Tapi kami sudah sepakat sejak awal, sepakat untuk tidak ikut campur tentang urusan pribadi masing-masing, yang ternyata tanpa terasa sudah kami langgar.[]
^^^to be continued.^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
MACA
Mau buang sampah ke mulut manisnya baggas
2022-10-31
1
YuWie
no comment lah sama kehadiran hera
2022-08-29
1