...Happy Reading......
I LOVE YOU, atau...THANK YOU?
Aku bingung harus mengetik apa karena masih merasa tidak enak menyembunyikan apa yang terjadi semalam. Sure, aku tetap menyimpan dan tidak memberitahu Nadya akan kelalaian kondhom bocor semalam. Aku tidak ingin membuat Nadya uring-uringan sebelum ninggalin rumah untuk kerja diluar kota. Aku juga takut, dia nggak kembali kerumah setelah tau kebenaran itu.
Mungkin berlebihan, tapi begitulah Nadya. Dia itu keras kepalanya minta ampun. Tapi aku menjadi orang yang beruntung karena bisa menjadi salah satu orang yang bisa meluluhkan kerasnya seorang Nadya. Dan itu hal membanggakan tersendiri untukku.
Setelah pesan terakhirku tidak mendapatkan balasan dari Nadya, aku kembali bekerja, bergelut dengan dunia nyata yang rumit. Akan tetapi lagi-lagi ponselku berbunyi. Hera menelepon.
“Ada apa, Ra?” tanyaku ketika panggilan sudah aku terima dan kami tersambung untuk melakukan percakapan
“Nadya luar kota?”
Aku mengernyit, dari mana dia tau?
“Ya, kamu tau dari siapa?”
“Juwita yang bilang.”
Sejak kapan Hera punya nomor Juwi?
“Kamu, dapat nomor Juwi dari mana?”
“Kamu pernah telepon dia pake hape ku waktu kita staycation di bogor, Gas. Jangan lupakan itu.”
“Hapus nomor Juwita. Aku nggak pingin siapapun tau kita masih ada hubungan—”
“Maksud kamu, aku udah nggak penting lagi? Begitu?”
Aku terdiam. Nyatanya aku menyakiti orang lain selain Nadya, yakni Hera. Tapi dia sudah bertindak terlalu jauh, dan aku harus mengambil keputusan untuk menghentikannya agar tidak semakin jauh.
“Apa kamu nggak mikir, Juwi akan bilang ke mama, dan kita bakalan di cerca habis-habisan Ra. Hubunganku sama Nadya juga bakalan berantakan.” sahutku berapi-api. Kenapa Hera terkesan santai atas perbuatannya?
“Memangnya kenapa? Kamu takut?”
Dia sudah seperti menginjak kepalaku, menjatuhkan harga diriku sebagai seorang laki-laki. “Kalau kamu nggak mau hapus nomor Juwi, kita stop sampai sini aja.” tegasku lalu mematikan sambungan. Tidak peduli pada Hera yang menelepon ribuan kali setelahnya. Aku cukup lelah dengan hubungan tanpa arah bersama Hera, yang tentu saja tidak secara langsung menyakiti perasaan Nadya.
Setelah hampir beberapa kali Hera menelepon dan nggak aku pedulikan, pesan dari Nadya menyapa.
Wifu: Aku berangkat.
Singkat, padat, dan jelas. Nadya tidak pernah membuang-buang tenaga hanya untuk mengetik pesan panjang, selain terpaksa.
Aku tersenyum dan membalas. Ya, hati-hati dijalan. Setelah itu aku kembali merenung, menatap langit-langit ruang kerja yang masih tetap bersih dan berwarna sama. Sudah hampir delapan tahun aku duduk di ruangan ini, baru kali ini aku merasa nggak percaya diri. Aku meraup udara, lalu memejam. Membayangkan wajah Nadya yang sudah hampir lima belas tahun ada di hidupku.
Kata Nadya, sesampainya di Semarang nanti, dia akan menginap di hotel yang sudah disediakan kantor sebagai akomodasi. Aku, hanya menaruh rasa percaya penuhku padanya, dan berdo'a agar ketakutan yang timbul dalam benakku hanya sebuah asumsi kosong belaka.
“Ngga fair dong. Aku udah janji bakal percaya sama dia. Seharusnya aku ngga berfikir buruk ke Nadya. Apalagi sampai—”
Ponselku bergetar. Nadya menelepon.
“Halo?”
“Aku baru nyampe kantor. Bentar lagi flight ke Semarang. Jadi aku nggak bisa hubungi kamu sampai landing di Semarang nanti.”
Entah mengapa, aku kecewa. “Iya. Hati-hati ya?”
“Eumm.”
“Jangan telat makan.”
“Kamu yang jangan telat makan, Gas. Kamu itu kalau nggak di ingetin nggak makan.”
Hatiku tiba-tiba menghangat. Nadya begitu perhatiannya ke aku, tapi aku masih tega berhubungan dengan wanita lain, didepan matanya pula. “Iya, iya. Nanti malem aku fast food aja.”
“Tadi, aku bikinin rendang, sop ayam kesukaan kamu, sama gudeg. Bisa kamu makan untuk dua hari, jadi nggak perlu beli diluar. Jangan lupa dimasukin lemari pendingin kalau udah selesai makan.”
Bahkan, dia menyempatkan diri masak buat aku sebelum pergi. Nadya memang nggak tertandingi.
“Ah...makasih, sayang.”
Ngga ada jawaban. Hufft...
“Yasudah. Aku siap-siap dulu. Pak Hansel dan yang lain udah keluar ruangan meeting.”
“Eumm. Nyampe Semarang, langsung kasih tau aku, okey.”
“Iya, Bagas. Udah ya, sampai jumpa hari sabtu Bye...”
“Bye...”
Nadya, adalah pemilik hatiku.
***
Sesampainya dirumah, langit masih cerah. Rumah sudah bersih, cucian nggak ada sudah beres masuk lemari, dan makanan ada didalam kotak Tupperware diatas meja makan.
Nadya dengan keahliannya, memasak. Yang bikin aku betah makan dirumah. Mataku memaksa tertuju pada kursi, dimana Nadya selalu duduk disana, menemaniku setiap aku makan untuk mengisi perut yang lapar oleh lelahnya hari yang lewat. Tanpa bisa aku hindari, suara-suara imajinasi tentang Nadya yang berkata dengan nada dingin dan raut datarnya ketika mengingatkan aku untuk makan tepat waktu meskipun tidak dirumah, membuat salah satu sudut hatiku menghangat. Terbitan senyum dibibir membuat aku merona, pipiku memanas hanya karena membayangkan omelan Nadya padaku.
Malam ini, kami akan berada diruang dan tempat berbeda. Aku pasti akan sangat merindukannya, tanpa bisa aku elak sedikitpun.
Aku segera meninggalkan ruang makan, menuju kamar, dan membersihkan diri seperti yang biasa dititahkan Nadya kepadaku sepulang kerja. Pantang baginya makan sebelum bersih, dan itu sudah menjadi habit baruku selama hidup bersama Nadya. Dia sangat cinta kebersihan, terbukti rumah kami yang selalu bersih tanpa celah.
Detik berubah menjadi menit, dan menit berubah menjadi jam. Waktu berubah secepat kilat yang berkedip dilangit.
Malam tiba-tiba sudah menggelapkan kamar. Dan aroma Nadya masih tertinggal disini, membuat aku semakin merindukannya. Dia belum mengirim pesan padaku. Mungkin dia masih lelah, atau...sibuk? Jadi, aku berusaha maklum dan tidak mengirim pesan lebih dulu padanya.
Pikiranku mulai berkelana ketika mata mulai ku paksa terpejam. Kenangan demi kenangan bersama Nadya mulai terputar. Dari awal, hingga detik ini. Dari yang indah, sampai yang pahit. Semua terlintas didalam mata yang terkatup.
Satu tempat yang membuatku terus mengagumi Nadya. Disana, kami selalu bertemu, saling berbicara tentang semua hal yang kami alami. Meskipun lebih banyak dia yang diam menjadi pendengar. Nadya hanya akan bercerita tentang hubungannya dengan keluarganya jika dia rasa sudah terlalu membebani isi kepalanya. Ya, begitulah Nadya sejak dulu.
Sejak aku mengenalnya, Nadya sering mengeluh lelah. Didalam kelas pun dia sering tertidur dan berakhir meminjam catatanku. Nadya memang berasal dari keluarga yang memang tidak terlalu baik dalam hal finansial. Dia dituntut oleh ayah dan ibunya untuk mencari uang demi membiayai sekolahnya. Aku miris mendengar itu, saat itu.
Aku sekolah itu bayar sendiri Gas. Jadi, kalau aku nggak dapat nilai bagus, kerja kerasku sia-sia.
Aku ingat sekali, saat mendengar itu, aku meremat tepian kursi kayu yang kami duduki. Dia tertunduk sambil tersenyum meskipun kaku, lalu dia berkata,
Ibu juga nggak setuju kalau lulus sekolah nanti, aku kuliah. Tapi aku nggak bakalan diam. Aku bakalan kerja lebih keras untuk biaya masuk universitas, nanti.
Alasan mengapa aku sangat menyayangi Nadya, karena dia sejak dulu adalah gadis rapuh yang menyembunyikan semua lukanya sendirian, tidak pernah mau membagi kepada orang lain, selain hanya kebahagiaan. Ya, meskipun wajahnya memang lempeng—ngga ada ekspresi yang meyakinkan jika dia sedang sedih atau bahagia.
Nadya selalu menolak segala bentuk bantuan yang coba aku berikan. Dia bilang, dia masih bisa, dia masih sanggup meskipun dia lelah. Dia dengan keras kepalanya yang buat aku nggak bisa berpaling. Dia dengan keras kepalanya yang buat aku selalu ingin ngelindungi dia. Untuk itulah, aku selalu menyisakan waktuku agar selalu ada disekitarnya. Menyempatkan diri untuk menjemputnya pulang kerja paruh waktu di jam sebelas malam, menyempatkan diri menemaninya jalan-jalan di hari Sabtu ketika dia hanya bekerja sampai jam enam malam. Kami pulang, meminta izin, lalu menghabiskan waktu ditaman, atau tempat apapun yang bisa bikin dia bisa ngelupain sejenak beban dia.
Lalu, tiba saatnya ketika kami lulus SAMA, aku diterima disebuah universitas di Jakarta yang sejak lama aku idamin. Kami sempat mendaftar bersama, tapi dia gugur di nilai matematika, dan aku tetap jalan hingga ke tahap pengumuman dan berhasil lulus. Dia memilih tetap kuliah di Surabaya, membuat kami hanya bisa bertegur sapa lewat telepon. Teleponnya pun milik kakak laki-lakinya. Jadi, waktu kami singkat dan terbatas. Tapi aku tetap berusaha untuk ada buat dia. Aku memilih pulang ke Surabaya dua Minggu sekali. Dan sebanyak itu pula kami bertemu di sana, ditempat penuh kenangan kami. Sebuah taman kecil yang tidak jauh dari sekolah lama kami, yang juga menjadi saksi, jika aku mulai mempunyai rasa pada Nadya. Rasa yang lebih dari sekedar sahabat, rasa yang lebih dari mencintai diriku sendiri, dan rasa yang nggak bisa aku utarakan karena hanya akan merusak persahabatan kami.
Aku memendamnya hingga hari ini. Bersikap seolah hanya sebagai sahabat meskipun kami telah mengikat janji, hidup bersama, bahkan berbagi peluh diatas ranjang. Nadya tidak ingin persahabatan kami rusak, walaupun pada kenyataannya, hubungan itu memang sudah rusak sejak dulu. Sejak ada dua hal yang tanpa sadar membuat kami mencoba membohongi diri kami masing-masing. Pertama, sejak aku mengatakan jika aku memiliki seorang kekasih dan aku bisa melihat raut kecewa diwajahnya. Kedua, sejak kami memutuskan mengikat diri dalam ikatan suci sehidup semati didepan Tuhan, dan kedua orang tua kami, dengan aku yang masih menjalin hubungan dengan kekasihku atas persetujuan Nadya sendiri. Aku hanya mencoba terus membohongi diriku sendiri, dengan berkata jika aku dan Nadya, jika kita, baik-baik saja. []
^^^to be continued.^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Love 💞💞💞
hadddehhhh plin plan sekali anda pak bagas😪😪
2023-06-28
1
MACA
Dari awal udah salah gaßs
2022-10-31
1
YuWie
itu kamu nyadar bagas, klo ada yg salah dg hubunganmu dan nadya....kenapa diterus2in
2022-08-29
1