...Happy Reading......
“Kamu dimana? Kita nggak jadi ketemu?”
Aku terpaku. Ternyata apa yang menjadi firasatku tadi pagi memang benar. Bagas tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia tidak lembur, semua perkataan tadi pagi hanya omong kosong.
“Halo? Bee?”
Aku menarik nafas panjang, mencoba menetralisir semua pikiran agar emosiku tidak meledak kepada Hera. Namun nada sarkasku tidak bisa aku tutup-tutupi, aku membenci ketika ada wanita lain menghubungi Bagas, suamiku.
“Ini aku, Nadya.”
Tidak ada sahutan dari seberang. Hening tercipta beberapa saat. Mungkin, wanita itu sedang bertanya-tanya mengapa bisa sampai aku yang menjawab telepon darinya, bukan Bagas.
“Bagas sedang ke belakang sebentar. Jika kamu memang butuh bicara sama dia, hubungi dia nan—”
“Lancang sekali kamu menjawab panggilan telepon dari ponsel Bagas. Ini privasi lho?!”
Aku terkejut dengan ucapan wanita ini. Kenapa dia seolah-olah pihak yang dikhianati disini? God, please...
“Aku tau. Tapi aku istrinya. Aku punya hak untuk ini.”
“Tidak tau malu.”
Aku yang sudah kepalang emosi karena ucapannya, meremas dress ku cukup kuat. Aku benci kalimat itu.
“Jangan ganggu Bagas. Dia suamiku!”
Aku mengakhiri panggilan dan Bagas muncul dari arah kamar setelah aku meletakkan ponselnya kembali. Aku memang mengingkari komitmen yang kami buat dulu. Seharusnya aku membiarkan saja panggilan tadi. Jika Bagas sampai tau, aku tidak tau akan se-marah apa dia karena privasinya aku usik.
Aku menyembunyikan itu dengan bersikap jutek dan acuh. Hingga kami selesai belanja, dan menata semua barang pada tempatnya sambil mengobrol. Aku tiba-tiba dikejutkan oleh dua lengan kekar Bagas yang tiba-tiba melilit pinggangku. Dia menciumku dua kali, lantas memintaku untuk mengatakan apa yang sedang aku pikirkan hingga aku bersikap acuh padanya. Dia bersedia mendengarkan. Tapi, apa dia akan terima jika aku memberitahunya tentang ucapanku pada Hera tadi?
Baiklah, coba saja.
“Kamu boleh marah padaku jika nggak suka sama apa yang bakal aku bilang ke kamu.”
Aku merasakan pelukan Bagas yang semakin erat di pinggangku. “A-aku, tadi menjawab panggilan Hera dari ponselmu.”
Kenapa Bagas diam? Bukankah seharusnya dia marah padaku? Merasa Bagas hanya mendengarkan, aku melanjutkan kalimatku. “Maaf.”
“Untuk apa kamu minta maaf?”
Aku menelan ludah susah payah. Takut jika Bagas benar-benar akan melampiaskan dan menumpahkan seluruh amarahnya padaku setelah ini. Aku takut dia kecewa karena aku sudah melanggar kesepakatan dan dengan lancang ikut campur masalah pribadinya dengan menjawab panggilan telepon dari kekasihnya. “Aku sudah berkata nggak enak ke Hera. Dia kayaknya marah.”
“Memangnya, kamu bicara apa?”
Pertanyaan jebakan yang sudah aku pancing untuk diriku sendiri. Bodoh, seharusnya aku diam saja dan tetap acuh pada Bagas meskipun dia berkata manis dan berjanji akan mendengarkan semuanya.
“Aku... melarangnya untuk nganggu kamu lagi.”
Bukannya marah. Aku malah merasakan udara hangat menyapa kulit leherku ketika suara tawa Bagas tertangkap indra perunguku. Dia mencium tengkukku lembut hingga terdengar bunyi kecupan dari bibirnya.
“Ternyata, istriku galak juga ya?”
Karena kesal, aku menepuk keras lengannya yang masih nyaman di pinggangku. Dia tertawa makin keras. Sebal bukan main, aku mencubit kecil hingga dia mengaduh lalu melepas pelukan itu dan mengusap bekas cubitan yang aku buat. “Sakit Nad.”
“Salah siapa bikin sebal.”
“Lho, benerkan? Ternyata Nadya Ayunda, istri manager Bank Rakyat kecil ini ternyata galaknya minta ampun. Kayak singa lapar kalau lagi mode emosi.”
Demi apapun, ingin sekali aku remas bibir sens*ual laki-laki itu. Bikin pipi panas saja. “Tau ah! Terserah kamu!”
Aku beranjak, lalu mengambil mangkuk kuah sop dan menyalakan microwave. Aku lapar dan ingin makan banyak. Kalimat-kalimat Bagas berhasil membangunkan navsu makanku.
“Nyonya Ade, tolong siapkan piring untuk tuan Ade juga ya? Lapar.”
Ingin sekali aku melempar muka jail itu dengan sepatu heels lima centi yang sedang ku pakai. Apa dia nggak tau sudah bikin anak gadis orang kelimpungan begini?
Bagas menghilang dari pandangan, membuat senyuman terbit dibibirku tanpa aku minta. Pipiku seperti dibakar, dan aku tidak bisa bohong jika Bagas yang seperti ini lah yang selaku berhasil membuatku bertahan hingga sejauh ini.
***
Jam menunjuk angka sebelas malam, tapi aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri. Bagas sudah tenang, atau bahkan sudah tertidur. Tapi aku masih tidak bisa memejam sama sekali. Efek kopi dari starbak tadi kah?
Aku meraih ponsel, membuka galeri foto yang aku simpan di google Drive-ku. Disana, banyak sekali kenangan yang aku simpan bersama orang yang aku anggap penting dihidupku. Termasuk Bagas.
Kenangan berupa foto itu masih tersimpan apik disana. Foto kami sejak mengenakan seragam putih abu-abu, kemudian almamater kampus yang berbeda warna. Ah, aku ingat, meskipun tempat kuliah kami jauh, Bagas selalu menyempatkan diri untuk menjemput dan mengantarku pulang. Dia memang sahabat yang baik dan tak kenal lelah, sampai sekarang juga masih sama.
Jariku terus men-scroll layar hingga sampai pada foto pernikahan kami. Dari sanalah semua berawal. Kami yang membuat jarak dan bersikap tidak seperti diri kami sendiri. Ralat, hanya aku yang tidak bersikap seperti diriku sendiri untuk menutupi semuanya. Menutupi rasa marah dan egoku karena Bagas lebih memilih wanita lain dari pada pernikahan kami yang sudah menjadi nyata. Kami berdiri bersisian. Bagas tersenyum ketika melihat kearahku yang sedang menatap ke arah kamera. Foto ini satu-satunya yang menjadi favoritku hingga saat ini. Bagas terlihat tampan dengan tuxedo, senyuman, serta tatanan rambut yang membuatnya terlihat begitu menawan.
Tanpa aku duga pada menit berikutnya, aku merasakan ranjang memantul pelan yang membuatku buru-buru menekan tombol back di ujung bawah ponsel. Lalu merasakan pelukan posesif dari lengan kekar Bagas di pinggangku bersamaan kakinya yang mengamit kedua pahaku.
“Kenapa belum bobo Nad?” tanyanya dengan suara serak.
“Nggak bisa tidur. Kena kopi tadi kayaknya.” jawabku mencoba mencari alasan yang relevan agar dia tidak menaruh curiga.
“Kalau begitu, lain kali nggak usah minum kopi.”
Aku mengangguk patuh pada ucapan Bagas.
“Kalau nggak bisa bobo, sekalian saja ronda ya?” pintanya. Aku tau kemana arah pembicaraan ini, sebab Bagas sudah mencium dan menyesap leherku beruntun.
“Kamu nggak capek?” tanyaku, takut jika dia kelelahan dan besok aku juga bangun kesiangan karena kelelahan.
“Nggak.”
“Kamu kalau masalah ranjang aja nggak pernah ngeluh capek. Heran aku sama kamu, Gas.”
Bagas tertawa dan kembali mengecup leherku lalu bangkit untuk menindih kedua paha ku yang hanya mengenakan celana piyama diatas lutut. “Jangan lupa pengamannya.” ucapku tidak ingin kecolongan dan membuat Bagas kecewa. []
^^^to be continued.^^^
^^^🖤🖤🖤^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Love 💞💞💞
ya memang lebih baik bgtu pake pengaman,lah wong suaminya ajja masih plin plan bgtu,masih punya hubungan dengan wanita lain.
2023-06-27
1
MACA
Apalagi ini...5 tahun ... sarungan
2022-10-31
1
osa
Pasto ada sesuatu yg melatarbelakangi pernikahan mrk , sehingga mrk nikah tapi dg komitmen yg aneh
2022-10-15
1