...Rate Dua puluh satu ples....
...Hati-hati baper....
...•...
...•...
Aku menjauhkan wajah, menatap bibir Nadya yang sedikit bengkak berwarna kemerahan, kemudian melepaskan kekangan dari pahanya, turun dari ranjang untuk mengganti lampu utama menjadi lampu tidur. Ruangan mendadak remang lantas aku membuka nakas, mengambil satu bungkus balon keamanan demi kesejahteraan, lalu ku pasang dengan gerakan gesit—sangking terbiasanya. Berlanjut kembali merangkak naik ke ranjang dan menindih tubuh Nadya yang sudah hampir terbuka seluruhnya.
Bibir itu ku kecup sekali lagi. Besok Nadya berangkat ke luar kota, dan malam ini aku menagih janji yang kita sepakati dua hari lalu.
“Pengamannya?”
“Udah.”
Jujur aku nggak nyaman ketika Nadya mengingatkan aku untuk selalu menggunakan pengaman ketika berhubungan badan. Tanpa pengaman pun, aku bisa mengontrol diri, menyuruh diriku sendiri berhenti dan melepas milikku dari milik Nadya kalau sudah tiba waktunya. Tapi, mau bagaimana lagi? Kalau aku nggak nurut, Nadya juga bakal menolak dan aku bakalan sengsara sendirian. Wah, sial sekali kan? Kenapa aku dulu sepakat dengan perjanjian konyol itu.
Sudahlah. Ini waktunya bercocok tanam, jangan mikir yang macem-macem, ntar malah down lagi tegangannya. Salah-salah malah Turn off.
Tanpa membuang waktu, aku memulai pene*trasi tanpa melepas tautan mata dari milik Nadya. Satu hal yang aku sukai dari kegiatan ranjang kami selain kepuasan, yakni Nadya yang penurut dan pasrah. Dia akan membiarkan aku melakukan apapun padanya, menyerahkan dirinya kepadaku yang tidak bisa ku dapati selain diatas ranjang.
Nadya mendesis pelan. Dia pernah protes padaku, karena ukuran phallus ku yang memang cukup besar untuk ukuran pria Asia. Tapi justru itu yang membuatku percaya diri didepan Nadya. Dia akan puas sampai akhir.
“Sakit?” tanyaku memastikan, seperti biasanya ketika kami memulai permainan ranjang yang akan terkenang tiga hari tiga malam.
Anggukan Nadya membuatku melakukannya lebih lembut. Sampai ketika kepala suku sudah mulai melesak masuk membawa sedikit demi sedikit pengikutnya, Nadya mulai terlihat nyaman.
“Nyaman?”
“Eumm.” jawab Nadya dengan suara manja.
“Aku mulai ya?”
Tidak bersuara, Nadya lagi-lagi hanya mengangguk sebagai jawaban. Dan aku mulai membuat suasana kamar menjadi bising oleh suara rinti*han, ringikan, bahkan umpatan Nadya, dan tentu saja suara tawa kami ketika merasa ada yang lucu dan harus ditertawakan. Ya, seheboh dan semenyenangkan itu kegiatan ranjang kami. Tapi, satu yang tragis dari semua itu, kesepakatan sialan yang membuat aku harus selalu membuang calon penerus bangsa berwajah tampan dan cantik seperti aku dan Nadya. Tentu saja anak. Kami tidak bertujuan untuk itu.
Sampai ketika Nadya mencengkeram kedua lenganku yang ada disisi bahunya, tubuhnya bergetar, dan tidak lama kemudian, aku merasakan ledakan hebat dari diri Nadya. Nafasnya terengah, bibirnya terbuka dan langsung saja ku raup serakah dengan bibirku. Dan aku bergerak semakin semangat untuk mengejar pelepasan dari diriku.
Sumpah, Nadya itu candu untukku. Seluruh inci kulitnya adalah getaran dahsyat untuk hasr*at menggebu dalam diriku. Aku membutuhkannya dan selamanya ingin bersama dia.
“Nad,” panggilku serak bersama gerakan yang semakin membuat kaki ranjang kami berderit.
“Eumm?”
Suara Nadya seperti daya tarik tersendiri untukku segera meledak. “Aku—” suaraku tercekat oleh ludahku sendiri yang tiba-tiba meluncur melewati tenggorokan. Sial!
“Ya, Gas. Lepaskan.” bisiknya, menarikku mendekat dan mengecup tengkuk leherku yang menjadi tempat kesukaannya. Ya, aku baru sadar jika Nadya menyukai area leherku ketika kami bercintha. Sedangkan aku, semakin menggila hingga titik tertinggi kewarasanku yang semakin ingin meledak. Nafasku terengah berikut tempo gerakanku yang semakin lambat. Kemudian, aku mendorong pinggulku cukup keras hingga Nadya memekik seperti terkejut. Aku mendapatkannya, pelepasan yang pertama. Tidak buru-buru melepas dari milik Nadya karena semua akan aman. Aku mengenakan kelengkapan perang dengan baik dan sempurna. Yeah...kalian tau lah apa yang ku maksud.
Lima menit berlalu, Nadya mulai menggeliat dan mendorongku agar menyudahi acara kesukaanku, tak lain adalah acara tindih menindih setelah berperang. Aku bangkit sambil terkekeh geli, menopang bobot tubuh sedikit rendah lalu mengecup bibir Nadya sebagai salam perpisahan sementara.
“Haus nggak?”
“Eumm.”
“Tunggu sini aja. Aku ke kamar mandi sebentar, habis itu aku ambilin minum.”
“Eumm.”
Tuh, Nadya kembali ke bentuk settingan semulanya. Datar, dingin, dan kaku. Aku menarik milikku perlahan diiringi desisan Nadya yang membuatku ingin menerkamnya lagi. “Sejam lagi, ronde dua.”
Nadya menepuk lenganku cukup keras. Bukannya marah, aku tertawa terhibur melihat wajah kesalnya. Salah siapa nantangin aku, Hmm?
Selepas menuruni ranjang, aku berjalan menuju kamar mandi. Kegiatan rutinku setelah bercintha, melepas balon yang berisi bibit unggul milikku yang harus rela ku buang sia-sia.
Sesampainya di kamar mandi, aku yang semula masih tersenyum karena berhasil mengerjai Nadya, harus menghapus lengkungan senyum itu saat menyadari sesuatu. Mataku membola sempurna ketika menatap balon yang baru saja aku lepas itu kosong tanpa isi. Padahal tadi, jelas-jelas aku ngerasain semuanya keluar deras dan banyak. Lalu, kemana mereka?
Jantungku mendadak berdebar cepat. Ujung jariku tiba-tiba dingin karena khawatir dan cemas. Mereka tidak ada didalam sana, itu artinya...
“Tidak. Tidak mungkin.”
Aku mengecek sekali lagi, memastikan jika ketakutan ku tidak benar-benar terjadi.
Akan tetapi,
SHI***!!!
kedua lututku berubah lemas ketika aku mendapati robekan sepanjang setengah centi diujung balon. Mataku tiba-tiba berkunang karena keterkejutan yang begitu mendadak. Mereka lepas. Itu artinya, mereka ada didalam rahim Nadya sekarang.
Aku menjumput rambutku yang masih basah oleh keringat, menggigit bibir bawahku menahan teriakan. Bagaimana kalau sampai Nadya hamil?
“Ck. Kok bisa sih?!” kesalku sambil menatap balon berwarna merah yang ada diatas telapak tanganku, lalu menatap kearah pintu kamar mandi yang tertutup rapat. Disana, Nadya tidak tau apapun. “Bagaimana ini?” gumamku pelan. Otakku tidak bisa berfikir jernih sekarang. “Apa aku bicara saja dan memberitahu Nadya masalah ini?”
Tapi, jika aku mengatakannya kepada Nadya, dia pasti akan marah, lalu berusaha sebisa mungkin mengeluarkan apa yang seharusnya tidak berada didalam tubuhnya. Dan kemungkinan terburuknya, Nadya akan menjauh dariku, atau meminta berpisah dariku karena sudah melanggar kesepakatan kami.
Satu ketakutan lain yang memenuhi kepalaku, dalam waktu satu bulan kedepan, jika memang mereka menemukan ovarium dan berhasil membuahinya, mereka akan tumbuh dan Nadya akan...
Aku membuka pintu kasar sebagai pengalihan otakku yang berisik. Untuk sekarang, cukup diam, dan berharap agar Nadya mendapat tamu bulanan rutinnya tepat waktu bulan depan. Sekilas melirik Nadya yang sudah mengenakan dasternya kembali dan bermain ponsel, aku berjalan tanpa mengenakan pakaian menuju dapur mengambil minum untuk Nadya dan diriku sendiri.
Pikiranku masih sibuk membayangkan bagaimana kodhom itu bisa sobek, dan cerobohnya aku yang tidak memeriksanya terlebih dahulu. Karena berfikir terlalu keras, tiba-tiba navsu ku menghilang begitu saja. Aku sudah tidak berniat melanjutkan permainan ranjang bersama Nadya.
Kuremat gelas minuman ketika berjalan menuju kamar dan menemukan Nadya yang masih sibuk dengan ponsel dengan posisi nyaman.
“Nih,” kataku sambil menyodorkan segelas tinggi air putih dingin didepan Nadya.
“Thank you.”
Aku meraih bokxer dan memakainya. Kemudian memungut pakaian dan memakainya yang membuat Nadya menatapku heran. “Katanya sejam mau lagi, kok dipakai?”
“Sudah cukup Nad, besok kamu perjalanan jauh ke Semarang, bisa kecapean kalau aku lanjut lagi.” ucapku lalu menarik Nadya kedalam pelukan tanpa ada penolakan. Aku mengusap puncak kepalanya yang ini tersandar didepan dadaku. Aku memulai pembicaraan lain, yang lebih... sensitif.
“Kamu biasanya dateng tamu bulanan, tanggal berapa?”
“23, kenapa?”
itu artinya, sebentar lagi. Semoga saja Nadya datang tepat waktu, atau kalau tidak aku akan merasa sangat bersalah.
“Engga, cuma nanya aja.”
Nadya mengangguk, lalu melingkarkan tangannya ke pinggangku. Tumben ya?
“Gas,”
“Eum?”
“Mama sama ibu, terus nanyain anak ke aku. Aku risih.”
Aku membeku ditempat. Apa itu artinya Nadya memang belum mau jika memang bayi itu hadir?
“Ya nanti aku coba ngomong ke Mama. Kamu ngomong ke ibu.”
“Aku nggak bisa kalau bohong Gas. Gelagatku langsung kebaca sama ibu.” sahutnya cepat dengan suara manja. Ah, Nadya ku...
“Ya udah, terus gimana maunya?”
Nadya mendongak dan mata kami bertemu. Tanpa meminta izin, aku mengecup bibirnya karena gemas. “Mau punya anak beneran?” kelakarku yang membuat Nadya menarik pandangan dan menunduk. Garing. Candaanku nggak lucu sama sekali.
“Aku mau tanya kamu dulu sebelum memutuskan untuk itu.”
Aku mengecup lagi bibirnya, yang kemudian dihadiahi cubitan kecil di pinggang. Nadya kesal dan aku puas sambil tertawa. “Tanya apa? Silahkan.”
“Kamu, aku, apa bisa kita saling mencintai?”
Ini pertanyaan sulit yang tidak mudah untuk dijawab. Salah sedikit saja bisa mengacaukan semuanya. “Kenapa engga?” jawabku sembari mengeratkan pelukan. Aku ingin terus seperti ini, tidak ingin Nadya jauh, apalagi pergi ninggalin aku.
“Aku takut kita akan berakhir buruk, Gas.”
“Buruk? Kenapa?”
Aku melihat kecemasan di mimik wajah Nadya. “Karena masing-masing dari kita, menyukai orang lain.” []
^^^to be continued.^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Kustri
waduh nad.... jgn aneh", emg km g suka ama bagas?
2023-08-30
1