...Jangan lupa dukung WEDDING DUST dengan memberi like, komentar, serta simpan di list favorit kalian ya......
...Happy Reading...
...•...
Seperti permintaan Bagas, aku memasak sop ayam yang dia pesan untuk makan malamnya nanti. Sambil memasak, aku sesekali mengecek putaran mesin cuci di ruangan berukuran kecil yang dikhususkan untuk mencuci disisi belakang rumah.
Rumah Bagas membentuk leter L, jadi aku bisa menengok ke garasi rumah melalui jendela kaca berukuran cukup lebar yang terpasang di tempat mencuci, dekat dengan taman belakang rumah. Dan tepat ketika mesin cuci selesai mengeringkan pakaianku dan juga pakaian Bagas, aku mendengar deru mesin mobil memasuki garasi rumah. Mobil Pajero Sport hitam mengkilat berusaha memarkir rapi. Bagas datang. Hatiku senang bukan kepalang.
Aku bahkan bisa mencium aroma parfumnya dalam imajinasiku, aroma yang pastinya masih sama seperti tadi pagi. Aroma Woody berbaur coklat yang lembut, namun tetap maskulin, jujur aku sangat menyukai aroma Bagas. Itu seperti candu bagiku. Laki-laki itu selalu harum, tidak peduli keringatnya bercucuran sekalipun.
Detik selanjutnya, aku mendengar pintu rumah dibuka, kemudian ditutup kembali. Tak lama kemudian Bagas muncul. Masih dengan kemeja biru langit yang pas tubuh, dan celana bahan berwarna hitam yang memperlihatkan kaki jenjang dan se*ksi miliknya, juga sepatu pantofel hitam berujung runcing yang masih tetep mengkilat.
“Biar aku yang jemur. Kamu lanjutin masaknya.” katanya sedikit berteriak sambil meletakkan tas kerja di atas meja nakas yang ada di dekat dapur.
“Aku aja. Kamu mandi saja sana.”
“Iya, habis jemur baju.” kekehnya nggak mau pergi, malah merampas keranjang baju dari tanganku dan membawanya ke arah jemuran aluminium yang ada di tengah-tengah taman belakang rumah.
Untuk kesekian kalinya, aku mengagumi sosok itu. Sosok Bagas yang sudah hadir dalam hidupku sejak kami ada dalam fase remaja bengal yang sedang mencari jati diri. Dia tipikal pria yang memang mudah bergaul, santun—tapi kadang iseng juga, dan sering bersikap manis kepada orang lain. Mungkin sikapnya inilah yang sering membuat banyak wanita salah paham.
Dari sini, aku bisa melihat dia yang sedang sibuk menjemur pakaian kami. Dan yang membuat mata tidak ingin beranjak sedikitpun adalah, tubuh kekar dalam balutan kemeja yang bagian lengannya digulung sebatas siku itu sangat mempesona. Wajahnya yang tampan tidak termakan usia juga menjadi faktor utama mengapa selama ini Bagas selalu dianggap belum memiliki pasangan oleh banyak kaum hawa, dan berakhir didekati tanpa malu.
Lima belas menit berlalu, Bagas membawa kembali keranjang baju masuk kedalam ruang mencuci, lalu berjalan ke dapur membantuku menyiapkan makanan diatas meja makan.
“Wah...” desisnya kagum ketika matanya menatap mangkuk sup berisi sayuran wortel, buncis, sawi, juga kubis kesukaannya yang berbaur bersama beberapa potong bakso daging juga sayap ayam. Dari sekian banyak bagian ayam, Bagas paling suka sayap. Hal itu membuatku selalu memilih bagian sayap ketika belanja di tempat teh Arini. “Kok aku jadi lapar ya?”
“Mandi dulu. Badanmu kotor, bau asem.” sindirku dengan wajah datar sambil menata piring diatas meja.
Dia mengendus badannya sendiri akibat ucapanku. Dan yang dia lakukan itu berhasil membuat sebuah tawa terbit di bibirku. Aku yakin dia akan protes karena aku bilang begitu. “Nggak tuh. Masih harum. Kalau nggak percaya, sini cium.” katanya sambil meraih dan menarik tubuhku untuk merapat padanya.
“Ih, Bagas. Udah deh. Cepetan mandi dulu sana.”
Dia tertawa lepas melihat tingkahku yang menolak mentah-mentah dirinya. “Iya, bawel. Demen banget ngomel.” jawab Bagas sambil mencubit hidungku hingga kesulitan bernafas, tapi aku suka. Sial. “Habis ini, temani aku makan.”
Rasanya, pertengkaran kami tadi pagi, sudah lewat begitu saja. Seperti tidak terjadi apapun pada kami berdua. Dan kemungkinan besar, hal inilah yang menjadi penyakit dalam hubungan kami. Aku dan Bagas seolah tidak mempermasalahkan lagi pembicaraan dalam pertengkaran kami, lalu kami berdua seperti orang bodoh yang selalu mencoba melupakan kenyataan jika kami tidak baik-baik saja dalam hubungan ini.
“Aku ingin bicara dengan kamu.”
Stagnan. Aku terpaku di tempatku berdiri. Dia ingin bicara, apa topik pembicaraan kami nanti tentang perseteruan kami tadi pagi? Atau pertengkaran kemarin, dimana dia mengatakan jika ingin memiliki anak lalu ku tolak? Atau pertengkaran beberapa waktu lalu, karena aku pulang telat karena bertemu teman sekaligus mantan kekasihku ketika kuliah? Ah, mengapa banyak sekali hal yang kami lalaikan hingga menumpuk dan membusuk seperti ini?
“Oh, okey.”
...***...
Jam makan malam berlangsung sedikit cepat hari ini. Hal itu terjadi lantaran Bagas benar-benar makan setelah selesai mandi, ketika jam masih menunjuk angka setengah lima sore. Seperti janji yang sudah aku buat dengannya tadi, aku menemaninya makan. Dia aktif mengajakku berbicara meskipun responku tidak banyak. Hanya tiga kata yang aku ucapkan sebagai tanggapan. Ya, tidak, dan Hmm. Kalimat itulah yang selalu aku berikan untuknya sebagai jawaban.
Jika memang memerlukan kalimat yang lebih panjang, aku terlebih dulu diam dan merangkum setiap kata dalam satu bentuk kalimat utuh didalam otak, lalu aku utarakan dengan lugas agar tidak boros bicara, karena memang seperti itulah aku, tidak suka berbelit dan lebih menyukai komunikasi yang simple.
“Sorry untuk yang tadi pagi. Aku terlalu egois.”
Oh, wow. Dia meminta maaf?
“Nggak masalah.”
“Cuma itu jawabannya?”
“Lalu apa lagi, Bagas?” sahutku cepat sambil memutar bola mata malas, dan menjatuhkan bahu lebih rendah. Aku meraih garpu dan menusuk satu bakso, lalu melahapnya sekali hap, untuk mengalihkan kegugupan.
“Ya... yang lebih panjang kek?!” jawabnya santai seperti biasa.
Aku menghela nafas. “Nggak masalah. Kalau aku jadi kamu, aku pasti akan bersikap sama kayak kamu tadi pagi.” lanjutku, lalu mengambil sandaran kursi untuk mengalihkan suasana tidak nyaman yang mulai merambat naik kedalam ulu hatiku. Apa kita akan adu mulut lagi? Aku harap tidak. Aku capek.
“Ucapanku terlalu kasar tadi pagi, Nad. Kamu sampai nangis gitu.”
Bohong kalau aku jawab enggak. Hatiku sempat hancur dan putus asa tadi pagi. “Nangis itu wajar, Gas. Aku capek banget tadi pagi. Terus kamunya nggak mau berhenti, malah nahan aku yang mau pertengkaran kita stop dan nggak berlarut-larut.”
“Iya, itu sebabnya aku minta maaf. Mungkin kalau aku ngelepas kamu tadi pagi, kita nggak bakalan bertengkar kayak gitu. Jadi, maafin aku.”
Aku menatapnya lekat. Tidak ada kebohongan dimatanya. Semua ucapannya tulus.
“Apa kamu pernah menyesal dengan keputusan kita ini, Gas?” tanyaku keluar topik, hanya ingin memastikan jika aku tidak sendirian. Bagas mungkin juga merasakan hal yang sama denganku. Tersiksa.
“Keputusan apa? Kalau tentang menikah, sama sekali Enggak tuh. Memangnya kenapa? Kamu menyesal?”
Bagas meraih cangkir kopi lalu menyesap tanpa memutus pandangannya padaku. “Ah, lupakan.”
“Lupakan?”
Aku mengangguk, tidak ingin mengacau lagi setelah Bagas berniat baik meminta maaf kepadaku. Aku berdiri, berniat pamit.
“Kok rapi, mau kemana?” tanya Bagas sambil memperhatikan penampilanku sore ini. Dress berwarna caramel, dan coats berwarna coklat gelap yang mempercantik penampilanku. Nggak berniat sumbar sih, tapi memang banyak yang bilang, kalau aku cocok pakai pakaian apapun dan aku selalu percaya diri akan hal itu.
“Mau ke supermarket, kebutuhan dapur dan lainnya sudah pada habis. Kenapa? Mau ikut?” sengakku berniat menyindir. Bagas tidak akan ikut, pikirku.
“Ya udah aku anter.”
“Boleh.” sahutku cepat. Selain ada yang menyetir mobil, mendorong keranjang belanja, dan juga membawa barang belanjaan ke mobil, yang terpenting bagiku, aku senang kalau ada dia.
Tapi, tepat ketika aku sudah selesai mencuci piring setelah Bagas selesai dengan makanannya dan berniat mengambil tas diatas meja makan yang tadi sempat aku siapkan, aku melihat ponsel Bagas menyala. Tidak ada suara, hanya getar yang membuat ponsel itu sedikit bergerak memutar.
Hera.
Saat itu juga hatiku seperti diremat sepenuhnya. Untuk apa wanita itu menghubungi Bagas? Ada janjikah?
Karena penasaran, dan Bagas tadi berpamitan untuk ke kamar mandi sebentar, aku meraih ponsel tersebut. Dengan lancang, aku menggeser tombol yang melompat ke atas itu, lalu mengarahkan speaker ke arah telinga tanpa mengucapkan sepatah kata.
Disana, diseberang telepon, Hera berkata dengan nada berapi-api, “Kamu dimana? Kita nggak jadi ketemu?” []
^^^to be continued.^^^
...🖤🖤🖤...
Jangan lupa mampir juga ke cerita Vi's yang lainnya ya.
—Vienna (Fiksi Modern)
—Another Winter (Fiksi Modern)
—Adagio (Fiksi Modern)
—Dark Autumn (Romansa Fantasi)
—Ivory (Romansa Istana)
—Green (Romansa Istana)
—Wedding Maze (Romansa Modern)
—WHITE (Romansa Modern)
Atas perhatian dan dukungannya, Vi's ucapkan banyak terima kasih.
See You.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Nur Yuliastuti
🫣🫣
2023-09-30
1
Ratna Sari Dewi
apakah jadi bertengkar lg stlh mengangkat telp bagas ? jd penasaran
2022-12-04
1
MACA
😤😡😡😡
2022-10-31
1