...Seventeen August '22....
...Happy independence Day Indonesia, 🇮🇩 semoga makin maju dan berjaya Indonesiaku....
...Untuk teman-teman pembaca satu tanah air, semoga kalian selalu dalam lindungan-Nya. 🥰...
...BTW, udah ikut lomba apa nih? Pulangnya jangan lupa baca Wedding Dust ya...🤭...
...Happy Reading....
Pernah mendengar kutipan “Hanya ada satu kebahagiaan dalam hidup ini, yakni mencintai dan dicintai.” dari George Sand? Atau, “Jangan menyalahkan gravitasi karena jatuh cinta.” oleh Albert Einstein?
Aku sempat menjadikan dua kutipan itu sebagai kunci untuk menjalani sebuah hubungan. Namun mengapa kali ini, aku merasakan sendirian. Tidak dicintai, atau bahkan merasakan Gravitasi berputar untuk cinta?
Aku bahagia karena yang menjadi pendamping hidupku adalah sahabatku sendiri, Nadya. Akan tetapi, saat Nadya mengatakan kalimat yang membuat darahku membeku, dunia seolah berhenti berputar. Otakku yang tadi seperti dibakar habis oleh amarah, kini mendadak putus jaringan. Kosong, blank.
Aku tau aku berlebihan dalam mengambil sikap. Tapi apa Nadya boleh memilih dan merealisasikan apa yang aku takutkan untuk menjadi nyata? Aku takut sekali jika aku akan berdiri sendirian ketika menatap matahari tenggelam. Tidak seperti yang selama ini kita lakukan, selalu bersama ketika matahari terbit, hingga tenggelam.
Tidak. Nadya tidak boleh melakukan itu. Dia harus tetap menjadi orang yang berdiri disampingku. Bukan orang yang membelakangiku dan berjalan bersama punggung lain disisinya.
Aku mengambil nafas besar agar paru-paru ku kembali bekerja sebagaimana mestinya, lalu menghembuskannya bersamaan beban yang aku harap bisa menguar begitu saja, meskipun nyatanya masih tersisa banyak dan berat.
Lantas mengambil langkah menyusul Nadya ke kamar. Bukan untuk bicara, karena aku tau pasti Nadya akan menolak bicara dalam situasi seperti ini. Jadi, aku memutuskan melepas kemeja, celana, menyisakan bo*xer. Kemudian mengambil pakaian bersih dan handuk, bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sedangkan Nadya, dia sudah meninggalkan kamar ketika aku masuk. Kami hanya berpapasan dan tidak saling lihat, apalagi saling sapa atau bicara.
Kuputar bulatan besi beruas lima yang menempel di dinding itu agar air mengucur dari Shower. Kubiarkan titik-titik air membasahi setiap jengkal tubuh dan setiap inci kulitku. Semoga cara ini berguna untuk mengurangi beban yang sekarang sedang mengguncang sebagian kewarasanku.
Nadya dan keras kepalanya adalah beban kewarasanku. Aku bisa gila jika tidak bisa membuat Nadya kembali luluh. Atau...memang seharusnya dia tetap keras kepala? Lalu memutuskan untuk kami menjadi sahabat saja? Cukup sebagai sahabat? Begitukah? Aku tidak tau harus bagaimana.
***
Makan malam cukup dengan keheningan. Hanya suara piring dan sendok yang beradu, memenuhi rungu. Tidak ada suara kami yang membahas apa yang kami lakukan hari ini seperti biasanya. Kami diam dan tenggelam dalam perasaan masing-masing. Terutama tentang apa yang kita perdebatkan tadi sepulang dari kantor.
Nadya mengakhiri sesi makan malamnya lebih dulu dan membawa piring kotornya ke arah westafel dapur. Aku melipat bibir saat menatap punggungnya yang menjauh. Setelah berfikir keras, aku merasa bersalah kepada Nadya. Dan aku berniat meminta maaf dan percaya padanya tanpa memandang Hansel. Tidak seharusnya aku berfikir jika Nadya akan berbuat serong dengan Hansel. Aku harus membuat Hansel hanya bagian buruk masa laluku, tidak untuk masa depan.
Aku berdiri, berjalan membawa piring kotor dan sisa sop ayam untuk ku masukkan ke dalam Tupperware dan menyimpannya di lemari pendingin. Aku masih menunggu moment, dimana Nadya akan menatap mataku, dan kami akan bicara. Tapi, itu bahkan tidak terjadi karena Nadya menghindar. Dia mengambil langkah berlawanan dengan keberadaanku.
“Nad,” panggilku menghentikan langkahnya. “Maaf.”
Nadya acuh. Dia terus memacu langkah tanpa peduli aku yang masih berharap banyak akan maafnya. Tak kenal putus asa, aku mengejarnya sampai didepan ruang tengah, dimana dia menyalakan televisi dan mulai memilih film dari Netflix. Aku masih diam dan mengambil posisi sedikit jauh darinya. Aku berusaha berdamai. Berdamai dengan Nadya, dan tentu saja dengan diriku sendiri yang mulai membisikkan keinginan-keinginan yang bertolak belakang dengan hatiku. Dua sisi diriku yang bertolak belakang sedang berperang mencari kemenangan.
Hingga akhirnya Nadya memutuskan untuk melihat film action yang dibintangi oleh Vin Diesel, aku mulai kembali membuka bibir.
“Untuk tadi sore, sorry. Aku nggak ada maksud memata-matai kamu.”
“Lalu apa?” tanyanya santai tanpa menoleh sedikitpun padaku.
“Aku hanya tidak ingin Hansel merebutmu dariku.”
Nadya terkikik masam. “Merebut? Bukankah kamu tadi menuduhku mau selingkuh dengannya? Alibimu berlebihan, Gas.”
“Nggak. Sama sekali nggak seperti itu, aku nggak berniat menuduhmu selingkuh.” belaku pada diriku sendiri. “Hansel itu masalalu buruk untukku, Nad.”
Nadya menoleh, seperti sedang menuntut dan menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari mulutku dalam bentuk kejujuran. “Aku pernah terlibat satu masalah dengan dia di kampus.”
“Masalah?”
“Masalah pribadi, lebih tepatnya.”
Nadya diam mendengarkan. Namun suara kami teredam oleh suara film yang sedang diputar.
“Kenapa kamu percaya diri sekali jika kepala Devisi ku itu, adalah Hansel yang kamu maksud? Padahal bertemu saja kalian belum pernah 'kan?”
“Filling.” sahutku cepat. Fillingku terhadap sesuatu itu kuat, jadi aku tidak bisa abai untuk hal ini. Apalagi menyangkut rumah tanggaku bersama Nadya. “Tapi maaf, karena aku salah mengambil langkah dan bikin kamu nggak nyaman.” lanjutku dengan senyuman yang terasa membuat tenggorokanku sakit seperti dijejali ratusan paku hingga nyaris tercekat dan sekarat. “Aku nyesel.”
Nadia kembali mengalihkan tatapannya dariku ke arah layar televisi didepan kami. Nggak ada jawaban, dia hanya menatap lurus, dan aku sangat menunggu rentetan kalimat kemarahannya menyerbuku. Tapi tidak ada, dan itu semakin membuatku khawatir dan tentu saja takut.
“Aku cuma butuh kamu percaya ke aku, Gas.”
“Aku percaya kamu, Nad.” sahutku tanpa berpikir ba-bi-bu dan langsung memangkas jarak untuk meraih Nadya kedalam pelukanku, meskipun masih ada penolakan-penolakan kecil yang dia lakukan ketika lenganku hendak berlabuh di bahunya. “Aku akan selalu percaya sama kamu.”
Dan pada akhirnya dia luluh, membiarkan aku merengkuhnya dalam pelukan. Tidak ada siapapun yang tergambar didalam otakku, selain Nadya. Dia adalah semesta bagiku.
“Jangan lakuin itu lagi, Gas. Aku nggak suka.”
“Iya. Maaf, sudah membuat kamu nggak nyaman.”
“Ngomong sama aku kalau kamu nggak suka. Jangan orang lain.”
“Iya, iya sayang.” kataku sambil merapikan rambut hitamnya yang sedikit berantakan.
“Kalaupun kamu ngerasa aku berubah, atau berbeda dari Nadya yang kamu kenal, tegur. Jangan ragu.”
“Eumm.” jawabku, lalu mengecup puncak kepalanya penuh kasih. Aku nggak bisa bohong, kalau aku membutuhkan Nadya. “Aku—akan coba bicara sama Hera.”
Apa topik ini sudah pas untuk aku bahas? Semoga iya.
“Ngomongin apa?”
“Aku pingin udahan sama dia, dan fokus ke kamu.”
Aku merasakan hembusan nafas Nadya yang kelewat besar. “Nggak perlu ngelakuin itu kalau kamu masih sayang, masih cinta sama dia. Aku nggak apa-apa.”
Tiba-tiba pembicaraan kami terhenti karena ada panggilan masuk di ponsel Nadya. Mama telepon. Aku dan Nadya saling tatap sebentar, kemudian aku mengangguk agar dia bergegas menerima panggilan.
“Ya, Mam.”
“Mama ganggu nggak Nad?”
“Nggak kok Mam, ada apa?”
“Kapan kalian pulang? Sudah hampir setahun kalian nggak pulang ke Surabaya.”
Nadya menatapku. “Do'ain akhir tahun kami bisa pulang ke Surabaya ya, Mam. Kami sebenarnya juga pingin sambang ke sana, tapi sikonnya masih belum memungkinkan.”
“Mama kangen sama kamu Nad. Apalagi Juwi, dia yang paling ngomel kalau inget kalian nggak pulang-pulang.”
Juwita memang dekat dengan Nadya. Adikku itu sudah seperti kembar Siam kalau sama Nadya.
“Ehehehemmm...” tawa Nadya lembut sebagai jawaban kalimat mama. Aku juga menangkap sebuah kerinduan dimata Nadya. Mungkin dia juga merindukan keluarganya. “Nadya nggak bisa janji, tapi semoga cuti akhir tahun bisa kami gunakan untuk pulang ya, mam.”
“Amin.”
Aku mengusuk puncak kepal Nadya dan mengecupnya sekali lagi, lalu menyembunyikan wajahku di ceruk lehernya yang wangi. Aku ingin bermanja-manja ke Nadya.
“Ah, mama juga udah nggak sabar denger kabar baik dari kalian. Kapan mama bisa gendong cucu?”
Pernyataan mama membuat Nadya membeku. Dia seperti terpukul dan tersakiti setiap mendengar pernyataan itu. Ini salah kami berdua, karena membuat kesepakatan untuk tidak memiliki momongan hingga kami bisa dan mau menerima satu sama lain seutuhnya. Tapi disini, seolah Nadya seorang yang dipojokkan. Aku nggak tau kenapa, mengapa sistem kerjanya seperti itu, seolah wanitalah yang bersalah dan patut dipertanyakan kalau belum juga memiliki momongan. Padahal, ada alasan lain dibalik ketidak tahuan mereka. Dan aku merasa sangat bersalah atas itu. Aku harus membicarakan berdua bersama dia. Tentang momongan, tentang cucu yang diidamkan dua keluarga, tentang anak untuk kami.[]
^^^to be continued.^^^
...🖤🖤🖤...
Jangan lupa mampir juga,
—Vienna (Fiksi Modern)
—Another Winter (Fiksi Modern)
—Adagio (Fiksi Modern)
—Dark Autumn (Romansa Fantasi)
—Ivory (Romansa Istana)
—Green (Romansa Istana)
—Wedding Maze (Romansa Modern)
—WHITE (Romansa Modern)
Atas perhatian dan dukungannya, Vi's ucapkan banyak terima kasih.
...See You....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments