"Aku, ingin mengakhiri ini semua, nyonya." Dengan suara parau dan serak, Catherine menyampaikan keinginannya kepada, nyonya Margaretha.
Keduanya kini, sedang berada di kamar tidur yang ditempati Catherine. Kamar yang tidak terlalu besar dan mewah, buat kalangan konglomerat terpandang, seperti keluarga Abraham.
Tiba-tiba, suasana berubah senyap, saat — gadis yang baru beberapa jam belakang menjadi seorang istri, menginginkan mengakhiri hubungan yang baru tadi pagi terjalin.
Nyonya Margaretha, menatap lekat wajah sembab Catherine yang terdapat bekas memar di bagian pipi gadis itu. Mata teduh nyonya Margaretha, kini berpindah di kedua telapak tangan Catherine yang terlihat terluka dan terdapat bekas cairan merah yang sudah mulai mengering.
Nyonya Margaretha pun melihat kedua lutut menantunya memar. Wanita yang masih terlihat anggun di usianya yang memasuki kepala lima itu, menghela nafas panjang. Hatinya, ikut terluka, melihat kondisi dan keadaan menantunya ini.
Nyonya Margaretha yang kini duduk di pinggiran ranjang, Catherine, hanya bisa memalingkan wajahnya. Ia tidak tega melihat kondisi gadis di depannya ini. Yang membuat perasaannya ikut terluka dan sakit.
Nyonya Margaretha pun mencoba, menetralisir perasaannya, yang tiba-tiba merasakan pilu. Ia mendongak kepalanya keatas, untuk menghalangi air matanya yang akan jatuh.
Nyonya Margaretha, mencoba keras untuk menguasai dirinya sendiri, ia tidak boleh terlihat sedih di depan menantunya ini. Itu sama halnya, menyinggung perasaan Catherine, yang dianggap di kasihani.
"Nyonya …."
"Mommy. Panggil, aku mommy mulai sekarang," sela nyonya Margaretha, yang memotong ucapan Catherine.
"Tapi … saya tidak pantas menjadi bagian dari keluarga, anda," imbuh, Catherine dengan wajah sedih dan nada lirih. Kepalanya, terus menunduk.
"Siapa yang mengatakan, kamu tidak pantas menjadi menantuku?" Nyonya Margaretha, meraih salah satu telapak tangan Catherine dan membawanya ke pangkuannya.
"Katakan, siapa yang berbicara seperti itu kepada, menantuku yang spesial, ini," ucap nyonya Margaretha, yang mengangkat wajah menantunya, menghapus air mata gadis cantik itu.
Catherine, hanya terdiam dan terus terisak sedih. Karena tak tahan melihat menantunya yang terus-menerus menangis pilu, nyonya Margaretha, membawa tubuh mungil menantunya kedalam pelukan hangatnya yang penuh ketulusan layaknya sebagai seorang ibu.
Kembali, Catherine menumpahkan segala rasa sakit hatinya di dalam pelukan ibu mertuanya itu. Ia menangis sejadi-jadinya, mengeluarkan segala beban rasa sakit yang menumpuk di rongga dadanya, yang begitu menyesakkan.
Luruh sudah air mata, nyonya Margaretha yang sejak tadi ia tahan, saat mendengar tangisan menantunya. Ia mengusap lembut punggung bergetar Catherine dengan penuh kasih sayang.
Nyonya Margaretha, begitu merasa dilema. Haruskah, ia melepaskan gadis berhati baik ini? Atau mempertahankannya.
Ia pun tidak tega melihat, sang menantu mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan di kediamannya.
Melepaskan gadis di pelukannya ini, sama saja, ia mengingkari janjinya untuk selalu melindungi menantunya ini.
Janji yang dahulu kala ia berikan kepada kedua orang tua Catherine, nyonya Margaretha juga tidak akan, membiarkan gadis baik ini lepas darinya. Sosok gadis yang sangat tepat untuk putranya.
"Berhentilah, menangis, nak! Ingatlah, mulia sekarang kamu adalah bagian dari keluarga Abraham. Kamu, memiliki hak sepenuhnya segala yang ada di Mansion ini. Terutama soal suamimu. kamu, memiliki hak, atas dirinya. Jangan, pikirkan apa yang orang-orang anggap tentang dirimu, yang jelas kamu adalah menantu dari keluarga ini. Dan … anggap ini adalah ujian untukmu, untuk mengambil perhatian, suamimu," terang nyonya Margaretha, panjang lebar. Memberikan sebuah wejangan kepada menantunya, agar bisa memposisikan dirinya sebagai menantu dari keluarga Abraham, yang tidak mudah ditindas.
"Tidak! Aku, tidak sanggup," Catherine menjawab ucapan ibu mertuanya dengan suara yang lirih dengan sesegukan.
"Aku, tidak sanggup untuk meneruskan ini. Apalagi, dia sudah memiliki seorang istri, dan … itu membuatku merasa seperti wanita murahan yang mengambil suami orang," lanjut Catherine yang masih diselingi oleh tangisan pilu.
Nyonya Margaretha, menjauhkan tubuh menantunya dari pelukannya, ia mengusap air mata Catherine dan menatap gadis itu lekat.
"Kamu, sudah mengetahuinya?" Tanya nyonya Margaretha, yang terlihat syok.
Catherine mengangguk terbata dengan membalas tatapan lembut nyonya Margaretha. "Kenapa, anda tidak berkata jujur kepadaku? Seandainya, anda jujur, saya, tidak akan menerima pernikahan ini," pungkas Catherine yang mengusap air matanya kasar.
"Mengapa, anda tidak berterus terang kepada, saya?" Tanya Catherine yang merasa dipermainkan.
"Katakan, nyonya," lanjut Catherine dengan tatapan yang berbeda.
Gadis itu menjauhkan dirinya dari ibu mertuanya itu, dan menyadarkan kembali punggung rapuhnya.
"Aku, sengaja menyembunyikannya," nyonya Margaretha terlihat terdiam sesaat dan melanjutkan kembali ucapannya. "Agar, kamu bisa menerima permintaan aku dan menjadi menantu dari keluarga Abraham," lanjut nyonya Margaretha.
"Bukankah, itu sama saja anda mendorong saya kedalam penderita, akibat perlakuan dan kebencian, putra anda?" Ujar Catherine tidak percaya. Air mata gadis itu lagi-lagi, membanjiri wajahnya. Dengan raut wajah tidak percaya dan air mata yang terus-menerus meluruh dalam diam.
"Tapi … dengan cara inilah, aku bisa mengikatmu." Kembali, nyonya Margaretha mengucapkan kalimat, yang membuat Catherine hanya menggeleng tidak percaya.
"Anda, egois!" Sentak Catherine, yang menatap nyonya Margaretha tajam dengan pandangan yang berkaca-kaca.
Nyonya Margaretha, hanya bisa memejamkan matanya, saat Catherine mengeluarkan ucapan dengan nada keras,untuk pertama kalinya.
"Aku, melakukannya demi kebaikan dan kebahagiaan, putraku," ujar nyonya Margaretha lirih dengan tatapan sendu.
"Terus, bagaimana dengan aku? Apakah, anda sengaja menjadikan saya tumbal pelampiasan amarah putra anda? Apakah, anda, tidak memikirkan nasib dan perasaan yang saya rasakan, sekarang?" Cerca Catherine dengan wajah menahan segala macam emosi.
"Aku, yakin. Kamu pasti bisa meyakinkan perasaannya," timpal nyonya Margaretha, yang berusaha menggapai gadis di depannya.
"Bagaimana, kalau itu tidak terjadi? Apakah, saya harus mati tersiksa?" Jawab Catherine dengan terkekeh perih.
"Aku, yakin suatu saat dia akan menerimamu," sahut nyonya Margaretha yang kini dapat merangkul pundak, menantunya.
"Dia, memiliki seorang istri. APAKAH ANDA, DENGAR. DIA, MEMILIKI SEORANG WANITA YANG BEGITU DICINTAINYA. DAN … MENGANGGAP SAYA SEBAGAI WANITA PERUSAK. APA ANDA DENGAR? PE-RU-SA-K." Karena terlalu tertekan, tanpa sadar Catherine berkata histeris di dekat nyonya Margaretha, dengan intonasi penuh penekanan di setiap ucapannya.
Kembali, gadis itu histeris dengan memukuli dadanya dan menarik-narik kasar rambutnya yang masih terlihat lembab.
Nyonya Margaretha, ikut terisak sambil terus menghalangi, Catherine yang ingin menyakiti dirinya sendiri.
"Aku, mohon nyonya, biarkan saya pergi," mohon Catherine yang kini terduduk di kedua kaki ibu mertuanya.
Nyonya Margaretha, hanya bisa menahan tangisannya dengan membuang pandangannya ke samping. Ia mengabaikan ucapan Catherine yang memohon.
"Kamu, harus membuktikan dirimu, kalau kamu layak berada di lingkungan ini. Dan … berhak menjadi istri sempurna untuk pria yang kamu cintai. Cobalah untuk saat ini, nak. Kalau, memang kamu tidak sanggup, maka… aku akan mengabulkan permohonanmu," ungkap nyonya Margaretha.
"Kamu, mempunyai hak atas diri suamimu, maka gunakan itu, untuk mengambil hatinya. Kamu, punya hak besar di keluarga ini, maka gunakan, untuk membuat mereka tunduk kepadamu. Lawan mereka dengan sikap berani dan tangguh. Mommy, yakin dan percaya, kamu pasti bisa. Kamu, gadis kuat dan mandiri. Jadi… tunjukkan, status dan posisimu di kediaman ini, sebagai seorang menantu di keluarga Abraham." Terang, nyonya Margaretha yang memberikan wejangan kepada menantunya. Agar lebih memperlihatkan statusnya di Mansion Abraham.
Catherine tidak menyahuti ucapan ibu mertuanya, ia hanya terdiam dengan berbaring miring. Memunggungi, nyonya Margaretha. Sambil terus menangis dalam diam.
Catherine sudah merasa lelah saat ini, jiwa dan fisiknya seakan dipermainkan. Ia, membutuhkan istirahat, agar dapat berpikir jernih kembali.
Nyonya Margaretha, menarik nafas dalam-dalam dan membunuhnya secara perlahan, saat tidak mendapatkan respon dari menantunya.
Ia pun mendekati, gadis itu dan menyelimutinya. Tidak lupa, nyonya Margaretha meninggalkan kecupan kasih sayang di pelipis kiri — Catherine.
"Beristirahatlah, nak! Selamat malam," bisik nyonya Margaretha. Setelahnya ia pun keluar dari kamar, Catherine.
Sedangkan, gadis itu hanya bisa termenung dengan tatapan kosong. Tapi, masih terdengar suara isakan sesekali dan suara sesegukan gadis itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 80 Episodes
Comments
Leng Loy
Egois banget nyonya Margaretha
2024-07-22
0
Tarmi Widodo
dasar egois tu
2024-02-08
0
Yusria Mumba
kasiang tinggalin aja, suami kaya gitu,
2023-12-27
0