...Kalau aku berkata...
...'Aku baik-baik saja'...
...Aku tidak benar-benar...
...'baik-baik saja'...
...Nyatanya aku teramat rapuh...
...Bahkan setiap detiknya,...
...Bisa hancur lebur seperti dandelion...
...Hanya saja aku tidak mau kau tahu....
...***...
Kurasakan jantungku seperti teremas. Sakit, perih melihat sesuatu yang mungkin seharusnya tidak ku lihat. Keringat dingin keluar dari tubuhku dan kurasakan tanganku mengepal kuat sampai buku jariku memutih. Entah sudah berapa kali Agas menyakitiku? Entah sebodoh apa aku yang masih saja Setia menemani hari-harinya.
Enam tahun sudah aku menghabiskan waktu bersamanya dan besok adalah Anniv kami ke tujuh tahun. Tapi dia sudah memberiku kejutan. Selalu dari dulu. Kejutan yang menyakitkan.
Ternyata sayang sama lo itu sesakit kita memeluk kaktus Gas..
"Lo jahat Gas" kataku lemah dengan suara bergetar sembari memukul-mukul bantal dan isakku pecah seketika.
Ingin rasanya aku mundur. Menyerah bukan karena kalah tapi terlalu lelah karena permainanmu. Aku tahu aku bukan orang yang ingin kau rebut hatinya tapi jika bukan aku, untuk apa kamu datang, untuk apa kamu memberiku harapan, memintaku untuk tinggal dan menemani hari-hari mu. Andai aku tahu sejak awal Kalau bersamamu sama seperti melukai diri sendiri, aku pasti akan memilih untuk tak menjatuhkan hati dan percaya padamu.
Sent to Agas ♡
From Calista: Gas. Aku udah selesai pakai laptop kamu, nanti sore kalau aku belum pulang kamu ambil aja ya kerumah, aku titipin mbok surti.
Begitulah pesanku yang ku kirim padanya. Aku perlu waktu sendiri dulu sekarang. Ingatan yang masih melekat segar dikepalaku, sulit untuk menyembunyikannya.
Sent to Aldira Respati
From Calista: Dir hari ini berangkat sendiri-sendiri ya? Gue lagi pengen sendirian soalnya.
Benar-benar sendiri. Maaf Dir..
Kemudian aku bergegas menuju kamar mandi dan bersiap-siap untuk ke kampus.
Ku hembuskan napas dalam sembari mematut diri didepan cermin mencoba menerawang entah apa aku tidak tahu. Hari ini aku terlihat lesu, mataku sembab dan yang pasti terlihat menyedihkan. Mencoba sedikit tersenyum tapi tetap saja aku tidak bisa melakukannya.
Akhirnya aku pun keluar dari kamarku berjalan menuruni tangga dan menuju garasi mobil. Ku lemparkan tasku ke kursi penumpang disampingku dan sekali lagi ku hembuskan napas berkali-kali untuk meredam semuanya.
Kemudian aku pun mulai melajukan mobilku membelah kota Jakarta dengan kemacetan yang cukup membuat frustasi. Di bunuh rasa bosan aku pun menyalakan radio untuk mengisi kesunyian yang ada.
Aku bisa menutup apapun yang ada dimasa lalu. Namun ketika Tuhan memutuskan untuk membukanya, aku bisa apa selain mencoba ikhlas dalam menerima. Hidup tiada mungkin tanpa perjuangan dan pengorbanan bukan?
****
Sesampainya dikampus..
Biasanya aku langsung menuju kantin bersama mereka tapi tidak hari ini. Tersenyumpun enggan ku lakukan. Sesaat di loby aku berpapasan dengannya. Damar. Yang tersenyum padaku, mau tidak mau akupun membalas senyumnya dengan lemah dan kemudian berlalu begitu saja menuju kelasku.
Aku memilih duduk dipojok kelas yang berada didekat jendela. Kemudian mengeluarkan headset dari dalam tasku, menyambungkannya ke ponselku dan menyumpalkannya ketelingaku. Aku melipat tanganku diatas tas dan merebahkan kepalaku serta menghadapkannya pada jendela.
Seketika saja kejadian pagi tadi teringat kembali dan tanpa sengaja cairan sebening kristal pun lolos begitu saja dari kelopak mataku. Bagaimana caranya harus bersikap baik-baik saja dihadapan mereka padahal ingin sekali aku meluapkan isi dihatiku.
Saat sadar semua orang sudah mulai memasuki ruangan akupun menghapus kasar airmataku dan berlari menuju toilet masih mendengarkan musik. Kemudian aku mencuci mukaku dan menambahkan bedak sedikit untuk menyamarkan semuanya tak lupa lipstick yang menjadi sentuhan terakhir.
You're ***** by the way don't fool to crying him..
Begitulah kata hati kecilku yang berbisik saat aku mematut diri pada cermin. Dan berjalan keluar toilet menuju kelasku.
"Kayaknya ada yang beda nih dari Calista" kata Zahra teman kelasku yang terkadang sering menilai tampilanku.
"Beda apanya? Aku sama aja Zah. Calista yang kamu lihat dari kemarin-kemarin" kataku yang membalas ucapan Zahra.
"Your lips anyway. I like that. Itu merahnya tuh soft" kata Zahra dengan mata yang berbinar-binar.
"Oh ini. Makasih ya Zah, ini merah maroon" jawabku sambil tersenyum sebaik mungkin.
Dan kemudian aku berjalan menuju bangku ku. Aku tahu ini tidak adil untuk mereka karena biasanya kami berlima duduk bersama bahkan sering bercanda disaat dosen sedang menjelaskan tapi untuk saat ini aku tidak bisa.
Menghindari sesuatu itu adalah sah asal kita punya alasan yang kuat. Alasanku karena aku sedang meredam emosi yang mungkin saja bisa melukai salah satu diantara kalian dan aku tidak mau itu terjadi.
Bersikap dewasa itu mudah tapi berpikir dewasa itu tidak semua orang bisa melakukannya. Dan menurutku ini adalah prosesnya. Penguasaan diri. Semua orang butuh itu agar hidupnya tidak sulit. That's right?
Seusai kuliah aku tidak langsung pulang aku sengaja mampir ke cafe yang menyediakan buku-buku bacaan seperti diperpus, aku butuh sesuatu untuk menghilangkan apapun yang ada dihati termasuk kejadian tadi pagi yang masih segar dalam ingatanku.
Setelah aku menerima pesananku aku pun mencari buku bacaan. Dan pilihanku jatuh pada sebuah buku yang bisa dikatakan novel bukan buku ilmu pengetahuan apapun.
Lembar demi lembar ku baca sampai mataku berhenti pada sebuah kata..
Jika akhirnya kau tidak bisa bersama dengan orang yang sering kau sebut namanya dalam doamu,
Seketika saja ponselku berdering menampilkan nama seseorang disana. Agas Cokrodinoto. Yang semenjak dikampus Agas mengirimkan banyak sekali chat dan pesan singkat padaku tapi semuanya hanya aku baca karena aku masih enggan untuk berbicara atau membalas pesannya.
Kemudian aku menonaktifkan ponselku dan melanjutkan aktivitasku yang sempat terhenti karena telpon dari Agas.
Mungkin kamu akan dibersamakan dengan orang yang diam-diam menyebutkan namamu dalam doanya.
Andai saja kata-kata itu terjadi padaku aku tidak akan sebodoh ini jatuh Cinta pada orang yang salah. Tapi Cinta yang membuat aku bodoh, bodoh karena berani masuk dalam hidupnya, bodoh saat dia memberiku perhatian kecil yang aku anggap berbeda, bodoh karena ternyata aku jatuh Cinta pada pikiranku sendiri, bodoh karena selalu menggantungkan harap pada sosoknya, bodoh karena berpikir dia akan berubah dan sayang padaku.
Aku pun tersenyum getir pada kenyataan yang ada dan kecewa yang berusaha menelanku dalam. Aku sadar sekarang. Kadang mencintai itu seperti membaca buku, kita lupa menikmati setiap lembarnya hanya karena kita terlalu sibuk menebak-nebak akhir cerita. Menikmati? Ya, walau perih.
Happy Reading..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments