...Terkadang cewek itu takut banget...
...Buat ngomong apa yang dia rasain....
...Dan cewek itu selalu berharap...
...Cowoknya itu bisa ngerti apa yang...
...Dia rasain....
...***...
Senja menutup Fajar yang menyingsing pertanda hari ini telah berakhir. Dilangit bak lukisan Agung terpampang luas coretan sang ilahi, bertaburan kristal menyilaukan mata di mega.
Bulan pun turut hadir melengkapi malam. Tapi disini seseorang enggan menatap, enggan berucap, enggan turut merasakan karya agung-Nya. Calista Hartawan.
Bagi Calista bahagia itu sulit ditemukan, bahagia itu sulit diraih seperti Bintang yang terlihat dekat namun nyatanya jauh,
Seperti bayangan yang terlihat namun sulit disentuh,
Seperti kenangan tapi tak berwujud,
Seperti memeluk masa lalu yang mustahil dilakukan.
Kalau saja waktu berbaik hati berputar lebih cepat mungkin ia sanggup mempertemukan dan membawa gadis mungil itu pada kebahagiaan. Tapi sayang, waktu punya caranya sendiri dan waktu Tuhan juga bukan waktu kita.
Sepi banget. Sama kayak hati.
Celetukku pada udara, berharap angin berhembus menerbangkan secerca harapan dalam kalbuku.
"Ck. harus apa gue duluan yang nge Chat? Harusnya itu cowok yang duluan." decakku seraya berbicara pada ponselku sendiri sebagai tanda pelampiasan.
Sent to Agas ♡
From Calista : Agas kamu lagi ngapain?
Ah. Ketauan banget gue yang ngebet. Kemudian ku hapus lagi pesan itu dan mengetikkan sesuatu lagi disana.
Sent to Agas ♡
From Calista : Sayang? Kamu dimana? Lagi ngapain? Sama siapa?
Eh? Kok mirip kayak emaknya gue. Aaaasssshhhhhhh.
Kemudian ku hapus lagi. Pada akhirnya aku enggan untuk mengirimkan pesan padanya.
Berjarak. Satu kata untuk hubunganku dengannya. Aku pun memutuskan untuk menonton drama Thailand sebagai pelarianku, ditengah film.
Jika Cinta seperti menunggu sebuah bis, kadang walaupun kita mendapatkan yang tepat itu bukan berarti kita selalu mendapatkan perjalanan yang mulus.
Seketika hatiku membeku, seperti gong yang dipukul lalu berdengung nyaring sekali. Benar. Aku pernah berjuang, dan yang selama ini aku kira berjuang akan selalu berujung dengan mendapatkan apa yang diperjuangkan.
Tapi ternyata aku salah, berjuang pada akhirnya bukan selalu tentang memenangkan, melainkan memaknai setiap proses yang dilalui.
Kemudian aku berinisiatif mengirimkan sebuah pesan pada Agas dan membiarkan film itu terputar menemani kesendirianku malam ini.
Sent to Agas ♡
From Calista : Agas?
Aku ingin mencintaimu tanpa kata-kata. Tanpa sesuatu yang memagari kita, hingga tak perlu takut spasi membuat jeda. Ataupun tanda baca yang membuatnya mudah terbaca. Biarlah menjadi sukar dimengerti. Sebab memang kita perlu saling memahami.
Lanjutku dalam hati. Andai aku mampu menorehkan suara hatiku disana, berharap mahkluk yang berjenis laki-laki itu memahami perasaanku bahwa berjuang itu bukan hanya Aku atau Dia tapi Kita.
Kesunyian menelan gadis mungil itu dalam pekat malam, seseorang bisa saja memeluknya dan meyakinkan padanya bahwa semua ada masanya.
Sent to Calista 😘
From Agas : Sayang kamu gapapa?
Tanya hati seseorang disebrang sana, menjawab semua keresahan yang menghimpit gadis mungil itu. Ya, memang waktu punya caranya sendiri.
Sent to Agas ♡
From Calista : Aku gapapa sayang..
Sent to Calista 😘
From Agas : Di balik Gapapa nya cewek, pasti ada sesuatu lis. Yakin kamu gapapa?
Ingin rasanya memeluk seseorang yang mengirimkan pesan ini namun saling sentuhpun kita tak berdaya. Aku benci pada jarak, jarak yang membuat sekat diantara kita.
Aku benci pada angin, angin yang membelai wajah mu yang tak sanggup aku kikis. Aku benci pada malam, malam yang menemani mu saat ini dan semua itu bukan aku.
Sent to Agas ♡
From Calista : "Aku cuma rindu, itu saja". Dari lagu ya itu yang hehehe 😀
Sent to Calista 😘
From Agas : Dari kamu juga gapapa kok. Susah banget bilang kangen kamu nih hmmm 😜
Terima Kasih untuk tetap bersamaku,
Untuk tetap tak bisa jauh dariku.
Meski aku masihlah jauh dari apa yang kamu harapkan.
Malampun menjadi saksi bisu bahwa hati tidak pernah salah memilih, bahwa berjuang bukan soal hasilnya tapi proses yang dilalui, dibalik semua itu juga ada waktu dan takdir yang memegang kendali.
******
Fajar menyingsing menampakkan dirinya yang mempesona, sinarnya yang hangat menembus jendela kamar mencoba menyapa. Semilir angin menerpa wajah mungilnya, memainkan helaian rambutnya yang beraromakan apel.
Bak Putri tidur yang hanya berbalutkan piama dengan gulungan rambut yang seadanya tanpa perias wajah. Cantik. Satu kata yang pantas untuk dirinya yang terlihat seperti itu setiap saat.
"Hmmmm" hembusan nafas terdengar mengisi hamparan udara. Sembari menyesap greentea yang telah ia seduh sebelumnya.
Dering telpon membuyarkan lamunannya. Membuat iris cokelat itu terpaksa berhenti sejenak dari aktivitasnya. Mengagumi semesta.
Diletakkannya secangkir greentea panas itu di atas nakas, mengambil telpon dan berjalan kembali menuju balkon kamar. Seraya berbicara kepada udara.
Terlihat guratan kecewa dan terluka pada raut wajahnya. Andai, andai semesta tau bahwa gadis mungil ini telah berada di titik lelahnya.
"Hah? Demi apa lo? Dia nulis status, muter balikin fakta kalo gue yang salah? Setan. " kesalku seraya memutuskan sambungan telpon secara sepihak.
Di buru rasa penasaran dari apa yang aku dengar tadi, langsung saja aku membuka akun sosmedku. Dan benar, disana tertulis sebuah satatus milik Daisy Indira. Orang yang selama ini aku anggap sahabat, tempat aku bercerita suka duka, aku yang selalu ada saat dia sendiri, butuh teman untuk menemani dikala ia sendiri di rumah ternyata tega mempermainkan yang namanya 'kepercayaan'.
Mungkin di khianati orang lain tidak akan sesakit ini.
Rasanya ingin melampiaskan apa yang tersimpan dalam dada. Kemudian aku menyudahi kegiatan ku, terlalu sakit untuk dilihat.
Ada ya orang yang udah tau salah malah nulis status kayak gitu. Biar apa? Orang tau kalo lo bener? Kenapa orang lain harus tau masalah yang sebenarnya bisa diselesaikan berdua? Ketauan banget cari simpatinya. Ga punya temen? Butuh Kasih sayang? Kasian.
Batinku dalam hati seraya menarik sebelah bibirku, senyum yang jelas-jelas orang lain tidak akan pernah tau bahwa itu hanyalah topeng. Kecewa sama ikhlas itu beda tipis.
Aku berjalan menuju kamar mandiku. Aku butuh menyegarkan diri. Selang dua puluh menit aku bersiap berangkat menuju kampusku.
Hari ini aku berangkat sendiri karna Aldira sudah berangkat bersama Mahendra Rizaldi yang telah iya deklarasikan seminggu yang lalu menjadi kekasihnya dan dia belum memberitahuku. Apapun.
Hari ini seketika saja moodku menurun sejak membaca status milik seseorang yang pernah mengecewakanku dan aku terluka padanya sampai saat ini.
Aku melajukan mobilku membelah kemacetan kota Jakarta tapi percuma saja, macet tak bisa dihindari. Seraya menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan kasar, aku meraih jemariku menekan tombol play musik.
Dan disinilah aku terjebak kemacetan dengan pikiran kosong yang melayang entah kemana.
Jujur saja aku sudah merasa sangat lelah. Aku terlalu dipermainkan oleh perasaanku sendiri. Kadang ingin tetap bertahan, kadang juga ingin berhenti.
Kadang juga ingin menjauh pergi, tapi naluri meminta berjuang lagi. Padahal nyatanya, aku kembali berhenti didalam duka seperti ini. Untuk kesekian kali, lagi dan lagi.
Klakson mobil dari arah belakang membuyarkan lamunanku. Aku tersentak dan langsung saja melajukan mobilku menuju kampus.
Sesampainya dikampus..
Satu lagi yang membuat ku menghembuskan napas kasar. Diphpin dosen.
"Ngapain masuk Lis? Kan cancel semua dosen hari ini. Ga baca grup?" Cibir cewek gempal berhijab dan bermata sipit. Jihan Frella.
"Ck. Gue lebih suka baca masa depan kita berdua" candaku yang langsung dihadiahi toyoran kesamping kiriku.
Asataga gegar otak nih lama-lama gue.
"Mana yang lain?" kataku. Ya, kami berlima aku, Jihan, Aldira, Ivana dan Fellicia sudah mulai akrab, kemanapun dikampus kami selalu berlima.
Girlband kali ah.
"Cieeee nyariin. Kangen ya lo sama kita?" suara gaib entah darimana menampakkan tiga orang yang memang kucari-cari sedari tadi.
"Yeuh, kunti dari mana lo. Mentang-mentang berangkat dianter doi. Kan bikin pengen" celotehku yang langsung dapat tatapan membunuh dari Aldira Respati.
"Bosen nih, kemana gitu yuk?" celetuk Fellicia dan disetujui Ivana. Dasar dua sejoli.
"Iya nih, di phpin dosen itu lebih sakit" sambung Jihan.
"Yaudah ke Bekasi yuk?" timpalku kembali.
"Ngapain kesana?" tanya Aldira penasaran yang membuat mereka serempak ikut penasaran.
"Ada Harapan Indah disana. Abis di php in dosen kan?" jawabku yang sudah pasti mendapatkan tatapan membunuh dari mereka berempat.
Akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke daerah bilangan Jakarta, mencari tempat ternyaman untuk meluangkan waktu bersama, sekedar melepas penat, terbuka satu sama lain dan untuk mencoba lebih akrab juga pastinya.
Jam berganti menit, menit pun berganti detik. Semburat senja mulai menggantung dilangit menutup Fajar yang bertugas sejak pagi. Kristal bening bertaburan di mega berkelip menghiasi angkasa. Satu yang semesta lupakan, satu yang tak terjamah oleh asa.
Perasaan kecewa yang melilit jantung sehingga membuatnya sulit bernafas. Sekali lagi gadis mungil ber iris cokelat itu tersenyum dan tertawa seolah dia bisa memainkan drama dengan sangat cantik.
"Udah jam segini balik yuk? Belum sholat juga gue" celetuk Aldira yang memang tidak pernah lalai menjalankan ibadahnya.
Dan kami pun setuju mengingat mereka juga sama dengan Aldira. Aku melajukan mobilku menuju kampus, mengantarkan ketiga teman kami ke kosan mereka yang notabene memang satu kosan. Lalu berpamitan untuk kembali kerumah kami.
Didalam mobil aku terkejut dengan kata-kata Aldira "Lo bisa nutupin luka lo dari semua orang Lis tapi ga sama sahabat lo. Gue, gue yang tau lo dari dulu." aku tercekat mendengar kalimat pernyataan dari Aldira yang memang benar adanya.
"Terus gue harus gimana Dir? Bahkan sakitnya dalem banget. Lo ga tau seberapa kerasnya gue buat maafin cewek itu..
Tapi ternyata lebih sakit dikhianati sama orang yang udah kita anggap sahabat dibanding orang lain Dir" kataku dengan suara bergetar dan lemah.
Seketika kubanting stir mobilku ke arah kiri untuk menepi, aku tidak bisa lagi menahannya. Kurasakan hidungku memerah dan mataku memanas hingga cairan sebening kristal pun luruh begitu saja dari pipiku.
"Gue tau apa yang lo rasain Lis, gue juga sakit liat lo yang pura-pura tegar padahal gue tau banget lo rapuh..
Gue sakit juga saat lo diluar sana bisa tertawa lepas tapi nyatanya lo berusaha keras nutupin luka-luka lo Lis." seketika saja aku memeluk Aldira dan terisak kuat.
Ingin rasanya menangis sekeras yang aku bisa, namun percuma tidak akan pernah ada yang tau karna memang aku selalu menutup rapat. Semuanya. Sialnya hanya Aldira yang tau dan sulit menyimpan sesuatu darinya.
"Gue.. Gue udah capek Dir. Selama ini gue kira Agas udah berubah. Ternyata dari awal emang gue..
Gue Dir yang berjuang. Sendirian" isakku dalam pelukan Aldira yang sembari mengusap pungguku mencoba menenangkanku.
"Lo boleh mundur kapan aja Lis, kalo emang dia takdir yang Tuhan tulis buat lo, lo ga akan pernah dibiarin berjuang sendiri" celetuk Aldira padaku.
"Gue yang nyetir. Lo pindah dikursi penumpang" komando Dira seraya memberi perintah. Aku yang masih terisak pun menurutinya saja.
Kemudian, aku berpindah ke kursi penumpang dan menatap ke arah luar jendela, menerawang sesuatu, berusaha menghilangkan sesegukan yang masih terasa dan derai air mata.
Aku sudah berusaha memberikan yang terbaik semampuku, menjadi seorang penyabar sekuat ku bisa, berfikir positif tentang semua yang sebenarnya membuatku tak tenang.
Jika ini hasil dari apa yang aku perjuangkan selama ini, hingga kini kutemukan lelahku, yang selelah-lelahnya, aku akan beranjak pergi meninggalkan semuanya. Karena aku tau semua hal memang ada masanya.
Bahkan bintang pun mulai memudar di langit, tertelan gelap pekatnya langit malam. Seolah ada guratan hati yang terluka dan kecewa yang menguap di angkasa. Berharap semesta berbaik hati menyampaikannya pada sang khalik.
Happy Reading guys 😄
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments