...Mungkin kamu tidak pernah tahu...
...Ada seseorang yang membiarkan...
...Hatinya patah, hanya untuk melihatmu...
...B. A. H. A. G. I. A...
...***...
Mentari malu-malu menampakkan dirinya, membawa kehangatan dalam sanubari. Sinarnya mengusir pekat yang menyelubung. Hilanglah sudah sunyi, hilang lah sudah asa. Tapi satu yang tak bisa dilakukan mentari, menebarkan virus bahagianya pada gadis mungil ber iris cokelat ini. Sendu dan pilu terlihat jelas pada raut wajahnya.
Mendung dan hampa melingkupi si pemilik iris cokelat. Semenjak kejadian kemarin ia memutuskan untuk tidak lagi terlalu berharap dan mempercayai yang orang sebut sebagai 'persahabatan'. Jelas luka yang ia pendam kepada salah seorang dari sahabatnya mampu membuatnya menjadi orang yang rapuh.
Bukankah kepercayaan tidak bisa di beli atau digantikan dengan apapun? Benci yang terpendam dalam hati kian bertumbuh semakin kuat akarnya hingga sulit dicabut. Sang iris cokelat pun takut meskipun tepangkas habis nantinya ia masih bisa tumbuh kembali.
Tuhan? Apa cuma aku yang engkau percaya untuk menyelesaikan ujian ini? Apa Tuhan mengagap aku kuat dari apa yang aku pikir?
Seru gadis pemilik iris cokelat dengan bibir mungilnya dan setetes kristal bening jatuh dari pelupuk matanya.
Kenapa? Kenapa orang yang kita sayang lebih berpotensi menciptakan rasa kecewa yang mendalam?
Sekali lagi ia berseru kepada udara berharap angin menghembuskannya kepada sang pencipta. Ia pun tersenyum hambar seraya mengambil foto dan sesuatu yang selama ini ia anggap berharga itu menyakitkan.
"Ternyata cuma disini arti persahabatan buat lo? Gue ga nyangka aja kejadian yang Amalia alami dulu terjadi sama gue, lo tau lo udah nyakitin orang yang selalu denger keluh kesah hidup lo dari SMP..
Lo tau kan kalo gue sama dia udah resmi pacaran? Tapi kenapa? Mungkin lo ga tau bahkan ga pernah mau tau seberapa keras gue bersabar, menjadi yang terbaik buat orang yang gue Cinta. Harusnya lo tau satu hal, bahwa cemburu tidak memandang siapapun. "
Luapku pada selembar foto yang memajang sepuluh cewek dengan raut wajah bahagia saling berpelukan, kemudian merobeknya menjadi bagian-bagian kecil. Seperti itulah kepercayaan bagiku.
Sesuatu yang utuh bentuknya namun bisa hancur berkeping-keping pada saatnya dan tidak bisa dikembalikan sekeras apapun kamu mencoba.
Awan kelabupun menggantung diangkasa menutup sang mentari yang memberi kehangatan dan kebahagiaan. Semilir angin sejuk beraroma hujan pun turut menyapa. Tak butuh waktu lama hujan pun mulai jatuh ke bumi. Aromanya menyeruak menenangkan dan angin sejuk pun berubah menjadi dingin yang menusuk kalbu.
Rinai hujan pun menemani gadis mungil ini. Diarahkannya kelopak tangan yang menggenggam serpihan kenangan yang menyakitkan itu. Dibukanya perlahan kelopak tangan itu dan dihembuskan serta dibiarkannya angin membawanya pergi hingga hujan menghapus jejaknya. Rinai hujan menyamarkan genangan kristal bening yang luruh dari pipi gadis mungil itu.
Flashback on
Dering ponsel melantunkan 'I won't give up' milik Jason Mraz. Tertera sebuah nama disana Diandra Larasati.
"Ya Din kenapa?" aku yang saat itu merasa baik-baik saja tanpa merasakan sesuatu apapun yang akan terjadi hanya diam mengikuti alurnya.
"...." seketika raut wajahku berubah menjadi datar.
"Oh yaudah Din kerumah aja gue dirumah kok" aku tidak mengerti satu hal, tumben sekali diandra menelpon dan ingin main kerumahku.
By the way Diandra juga salah satu dari sepuluh cewek dalam persahabatanku yang lebih dekat denganku selain Aldira.
"Calista.. Main yuk!!! Assalamualaikum atuuuuk tuuuk atuuuk" Toa seorang cewek berambut panjang dan berkulit putih bersih. Cantik.
"Ck. Kapan gue punya temen normal sih. Cantik-cantik suara kayak toa masjid, siap-siap ke THT gue " decakku seraya melangkah membukakan pintu.
Kemudian dia berteriak heboh menyebut namaku dan menciumi pipiku. Iyuuuuh.
"Yaelah gue kagak rabies kali" kesalnya padaku yang mengerti dengan raut wajah jijikku kemudian aku tertawa.
Lalu kami beranjak menuju kamarku.
"Mau minum apaan?" tanyaku dengan penuh kesadaran sebagai tuan rumah yang baik.
"Hm, yang berwarna ada ga?" tanyanya dengan nada sok imut yang dibuat-buat.
"Ada. Spirtus, bensin, wipol, atau oli?" jawabku yang langsung dihadiahi bantal dan guling yang melayang ke arahku.
"Yeuh. Demi kulit kerang ajaib. Sekalian aja lo Kasih gue sianida yang dicampur kopi." cibirnya yang sontak membuatku tertawa.
Setelah aku memenuhi permintaan sahabat tersayangku, kami pun memutar musik yang menemani malam kami, seraya melemparkan diri ke ranjang.
Kami terbawa suasana hingga aku terpejam, tetapi masih tetap bisa mendengar suara disekitarku. Hingga suara lemah Diandra menginterupsi.
"Lis?" Suara lemah Diandra mengusik ketentramanku.
"Hm? " gumamku yang masih terpejam enggan membuka mata.
"Gue minta maaf" seketika saja aku membuka mataku dan menoleh kearah Diandra yang sedari tadi menatap langit-langit kamarku. Kemudian dia merubah posisinya menjadi duduk ditepi ranjangku.
"Buat apa?" dan aku pun refleks merubah posisiku menjadi duduk di ranjangku.
"Buat ini" dia memperlihatkan sesuatu dari ponselnya, salah satu sosmednya yg memang berisikan teman-teman kami tanpa terkecuali yang memang belum sempat aku download.
Seketika saja aku tercekat seperti ada yang melilit jantungku, rasanya aku sulit bernafas melihat apa yang ada didepan mataku.
"Ga Din, ga mungkin. Ini bercanda kan? Lo ngerjain gue pasti? Lo sama aja kayak yang lain Din, suka banget manasin orang, suka banget buat gue nangis" tuduhku pada Diandra yang hanya menggeleng menatapku sendu.
Oke jadi ini kebeneran yang menyakitkan. Sesuatu yang ga pernah diharapkan siapapun.
"Jawab Din!!! Bilang sama gue kalo itu bukan Agas. Bilang sama gue kalo itu cuma foto editan. Jawab Din. J A W A B..
Kenapa lo diem? Hah" refleks Diandra memelukku dan mengelus sayang rambutku.
"Maaf List kebenaran itu lebih sakit dan siap ga siap, mau ga mau lo harus terima" Diandra pun menenggelamkan wajahnya seraya mengucapkan kata maaf yang seharusnya bukan dia yang melakukannya.
Aku menatap nanar kedepan, pikiranku melayang pada apa yang ku lihat beberapa menit yang lalu.
"Udah berapa lama Agas pasang foto mereka berdua di akun sosmed dia yang ini Din?" tanyaku dengan suara bergetar seakan aku seperti dandelion yang siap hancur lebur diterpa badai.
"Seminggu List, setelah acara bukber setu (sepuluh satu) " Ucapnya seraya memelukku erat yang di yakininya aku akan hancur lebur mendengarnya.
Refleks aku pun memeluknya dengan erat sangat erat meski lemah dan bergetar karna menahan airmata.
Bahkan saat itu gue lagi berantem seharian Din dan sorenya kalian bukber tapi Agas ga berusaha bujuk gue Din. Apa gue harus mundur sekarang?
Seketika tangisku pecah mengisi keheningan malam. Aku yang tak percaya, aku yang terluka detik itu, aku yang merasakan arti sebuah 'pengkhianatan' tak bisa lagi membangun tembok kokoh dalam diriku.
"Ga mungkin Din, Agas ga mungkin sejahat itu kan? Daisy juga, gue percaya sama dia. Tapi kenapa di? Kenapa?
Kenapa cuma foto berdua? Hanya berdua dan mesra banget. KENAPA Din?" Teriakku histeris disela derai airmataku tersirat akan luka yang baru dan kecewa yang mendalam.
Seperti hujan yang melanda derasnya pun tak bisa kita cegah.
Flashback off
Dari seseorang aku belajar untuk, jangan terlalu percaya sama sahabat, tapi sayangnya persahabatan itu lebih berharga dari pada Cinta. Layaknya sebuah cermin, yang selalu bisa menilai baik buruknya kita.
Namun, aku lupa bahwa cermin bisa retak, kalau kita tidak bisa meletakkan pada tempat yang seharusnya. Bisa retak juga karna kesalahan yang kita lakukan, disengaja atau tidak.
Jadi harus bagaimana? Itu tergantung kita.
Benci. Satu kata yang awal mulanya tumbuh dari rasa peduli, sayang yang dibumbui dengan pengkhianatan dan diakhiri dengan kecewa yang teramat.
Tiga tahun sudah gadis mungil itu bersabar, tiga tahun sudah gadis mungil itu mengalahkan egonya demi persahabatan mereka, dan tiga tahun sudah gadis mungil itu memasang topeng menutupi luka hatinya dan menganggap semua akan baik-baik saja.
Happy Reading guysss 😄
Jangan lupa votenya heheheh 😀
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 76 Episodes
Comments