Matahari sudah mulai menyapa ketika Deefa yang sudah bangun dari pagi sekali bahkan sebelum adzan subuh berkumandang, mempertontonkan bahwa semalaman wanita yang memiliki paras teduh itu tidak bisa tidur dengan nyenyak, merasa tidak biasa dengan alur pernikahannya yang layaknya kisah para penulis novel yang ingin diabadikan.
Entahlah, Deefa hanya merasa apakah ini benar-benar Allah yang sudah memberikan skenario khusus untuknya?
"Astaghfirullahaladzim."
Beristighfar dan memohon ampun pada sang pemilik semesta karena sempat tidak percaya pada kuasa sang penciptanya.
Sejak selesai sholat subuh tadi Deefa sudah sibuk dengan kegiatannya dari mulai mencuci pakaian lalu sekarang menyiapkan sarapan untuk suaminya yang akan pergi kuliah.
Kuliah? Deefa teringat semalam suaminya itu membahas tentang nafkah yang katanya akan pria itu berikan, kening Deefa mengerut karena setahunya Raffan memang masih kuliah dan belum bekerja lalu pria itu memiliki penghasilan dari mana?
Segelumit pertanyaan memelintir otaknya untuk berpikir, haruskah ia bertanya? karena Ibu mertuanya sempat bercerita kalau Raffan sering terlibat balapan liar dengan taruhan.
"Apa uang yang akan Mas Raffan berikan hasil dari taruhan?" gumam Deefa dengan desakan pertanyaan yang menjalar ke dalam otaknya.
Otaknya terus berpikir sedangkan tubuhnya pun tetap ia gerakkan untuk menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, selesai memasak dan masakannya pun sudah ia hidangkan ke atas meja Deefa berniat untuk membangunkan suaminya, meski sudah cukup telat sebenarnya tapi ia berharap Raffan bisa bangun sendiri tanpa ia bangunkan toh tentunya Raffan seorang muslim yang harus bangun untuk sholat subuh.
Suara dari arah tangga membuat Deefa menarik napas lega, itu artinya Raffan sudah bangun tanpa harus ia bangunkan.
"Sholat subuh gue kesiangan," cetus Raffan seolah memberitahu Deefa yang berdiri di sisi meja makan, "kenapa nggak bangunin?" sambung Raffan dengan rambutnya yang masih basah menandakan bahwa dia belum lama mandi.
"Deefa pikir Mas Raffan bisa bangun sendiri, jadi setelah sholat subuh Deefa langsung sibuk mengerjakan pekerjaan rumah."
"Ck, Lo kan istri gue," Raffan memutar bola matanya.
"Iya Deefa tahu, Mas Raffan pun tahu kita suami istri tapi kenapa malah meminta Deefa untuk tidur di kamar lain?bukankah suami istri itu harus tidur bersama?"
Deefa membela diri tak mau Raffan seenaknya saja padanya, meminta tidur terpisah serta tidak memberikannya nafkah batin sebagaimana mestinya tapi masih saja menuntutnya untuk memperlakukannya sebagai seorang suami.
Mata Raffan membulat, "besok gue pasang alarm saja sepuluh!" Raffan meradang.
"Besok Deefa bangunkan," Deefa memilih untuk mengalah, cukup sadar diri bahwa yang menjadi suaminya masih cukup labil dalam pola pikir dan ialah yang harus banyak mengalah agar suasana rumah tidak selalu panas dengan perdebatan mereka.
Raffan menyendok nasi yang masih mengeluarkan uap panas serta sayur dan ikan yang sudah Deefa masak lalu mulai menikmati makanan yang rasanya cukup sama dengan masakan sang ibu.
Deefa memilih ke dapur lalu kembali lagi dengan cangkir berisi teh hangat yang langsung ia letakkan di dekat piring Raffan.
Deefa duduk di seberang Raffan, hanya duduk saja tanpa memakan masakannya sendiri sesekali melihat pada Raffan namun ketika pria itu melirik menyadari tengah di perhatikan Deefa pun gegas menunduk memainkan jari-jemarinya di balik meja.
"Klo mau ngomong ngomong aja," Raffa tahu ada yang ingin dibicarakan oleh wanita berkerudung di depannya itu.
"Nanti saja setelah Mas Raffan selesai," sahut Deefa.
"Kenapa nggak makan?" tanya Raffan akhirnya.
"Deefa belum lapar," jawab Deefa seraya tersenyum, senang karena Raffan memperhatikannya.
Beberapa menit kemudian Raffan menyelesaikan sarapannya, nasi serta lauk dan pauknya habis tak bersisa membuat Deefa bahagia karena suaminya menyukai makanan yang ia masak.
"Mau ngomong apa?" tanya Raffan setelah meminum yang Deefa siapkan.
"Eemmm," Deefa sedikit ragu untuk berbicara.
"Apaa Deefaaaa?" mulai gemas dan tak sabar karena sebentar lagi dia pun harus segera berangkat untuk kuliah.
"Soal nafkah."
"Nafkah yang mana? jangan menuntut nafkah yang lainnya selain nafkah lahir yang bisa aku berikan," langsung menyela karena tak sabar dengan apa yang ingin Deefa sampaikan.
"Bukan," Deefa menggeleng.
Raffan membuang napasnya dengan lambat, "gue punya bengkel jadi jangan takut kalau uang bulanan yang gue berikan hasil dari taruhan sebab gue tahu elo itu ribet tidak akan mau menerimanya, lagi pula setiap menang taruhan gue langsung menghabiskannya untuk mentraktir teman-teman, uang taruhan tidak pernah gue sisakan di dompet sepeserpun atau bahkan membawanya ke rumah, uang itu akan gue habiskan malam itu juga," sahut Raffan menjelaskan.
Pria itu tahu apa yang ada di dalam pikiran istrinya, yah tentu orang tuanya pun tidak akan mau ujug-ujug menikahkannya jika memang tidak memiliki penghasilan apapun sebagai bekal untuk menafkahi anak orang, Ayah dan ibunya sudah mempertimbangkannya dengan sangat baik.
"Uang bulanan yang akan gue berikan itu murni hasil dari bengkel yang gue punya, memang tidak besar tapi semoga cukup untuk memenuhi kebutuhan elo dan biaya kuliah gue," lanjut Raffan meraih secangkir teh lalu membasahi tenggorokannya yang mengering karena sepagi ini sudah di minta untuk banyak bicara.
Ada tarikan napas lega yang Deefa tunjukkan setelah mendengar semua penjelasan dari pria di depannya, awalnya ia akan keberatan dan mungkin bisa saja ia menolak jika uang bulanan yang akan Raffan berikan hasil dari taruhan balap liar, tapi penjelasan dari suaminya membuat ia tenang dan lega.
"Sudah ya gue mau kuliah dulu, mungkin gue pulang telat karena harus mampir ke bengkel dulu buat ngambil laporan barang yang belum sempat di kirim sama Agam."
"Setelah itu?" Deefa menampilkan seraut wajah penuh pertanyaan, setelah dari bengkel suaminya akan kemana? langsung pulang kah, atau?
"Boleh nggak kalau gue bebas buat ketemu teman-teman gue? nongkrong kayak biasa sebelum ada elo dalam hidup gue," tutur Raffan seolah tengah pertanyaan yang terdengar seperti sebuah protesan karena merasa tidak bebas setelah kehadirannya.
"Deefa hanya ingin menjalankan amanah dari ibu," suara Deefa terdengar sangat pelan menyelusup ke dalam telinga Raffan seolah hanya hembusan angin tak bertenaga.
"Jadi misi elo menikah dan menerima perjodohan ini karena ibu dan Ayah? gue nggak ngerti Deefa sama jalan pikiran Lo," Raffan membuang napas kasar serta menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Bukan misi, amanah.."
"Misi atau pun amanah menurut gue nggak beda, misi atas perintah amanah juga atas perintah, dan gue nggak suka!" tegas Raffan seraya mengambil tas punggungnya dengan kasar lalu melangkah cepat keluar dari rumah dengan wajahnya yang terlihat sangat kesal.
Pria itu sudah berada di jalanan menaiki motor besarnya sebelum akhirnya teringat bahwa dia belum memberitahu Deefa bahwa uang belanja sudah dia simpan di dalam laci kamarnya, Raffan menepi sebentar lalu mengeluarkan handphonenya dan mengirim pesan pada istrinya untuk mengambilnya sendiri.
******
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
nuri
sedikit banyak reffan tu perhatian sm defa
2022-12-17
0
Sunarty Narty
lah d akui istri rupanya kirain lupa
2022-10-01
0
Diana Susanti
lanjut kak
2022-08-26
0