Menikah atau pesantren benar-benar tidak ada dalam pikirannya saat ini, sungguh Raffan merasa otaknya meledak memikirkan dua pilihan itu sampai dia lupa untuk sholat subuh.
"Sholat pun gue nggak bakal bisa khusyuk," gerutunya melempar jaket ke pinggiran tempat tidur.
"Bisa-bisanya Ayah dan Ibu ngasih pilihan yang nggak ada dalam catatan kehidupan gue dalam waktu dekat ini," menggaruk kepalanya gemas kantuknya sudah benar-benar hilang entah kemana akibat memikirkan antara menikah atau masuk pesantren.
"Nikah? jelas nggak mungkin lah bisa-bisa gue nggak akan bebas kemanapun karena di teleponin tiap hari sama istri buat pulang, sedangkan masuk pesantren lebih nggak mungkin lagi jiwa dan raga gue pasti terkunci di tempat itu, gue nggak bakal bisa balapan nongkrong dan bergaul, nggak mungkin kan gue pakai sarung sama Koko tiap hari? bukan gue banget!" menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur lalu berguling tak jelas.
"Ya Allah bantulah hamba mu yang sedang dalam tuntutan orang tua itu."
Dalam keadaan begini dia pun meminta bantuan sang pemilik semesta yang mungkin akan lebih berpihak pada orang tuanya.
"Raffan."
Panggilan dari arah pintu membuat Raffan memutar tubuhnya, dan dia sadar bahwa ini sudah waktunya dia untuk memberikan jawaban, mengambil keputusan untuk hidupnya.
"Cepat banget sih!" gerutunya kesal merasa waktunya untuk berpikir sangat singkat.
Tubuhnya terasa begitu berat untuk beranjak dari tempat tidur, Raffan sungguh sangat kalut hingga langkahnya pun terlihat malas menuju pintu kamar guna menemui Ayahnya yang sudah menunggu selepas pulang dari masjid.
Langkah teraturnya meskipun lambat namun sudah membawanya berada di ruang keluarga dengan Ayahnya yang sudah duduk menunggu.
Lihatlah sekarang ini dia merasa Ayahnya itu seperti seorang hakim kejam yang bersiap untuk memberikan hukuman padanya, sorot mata pria itu sungguh mengintimidasi seorang Raffan yang bahkan di sebut berandal jalanan sang penakluk lintasan luar.
Astaga! saat ini dia benar-benar di buat tidak bisa berkutik oleh Ayahnya sendiri.
"Ayah sedang menunggu jawabanmu."
Jelas suara yang sekarang terdengar datar itu malah seperti dentuman bagi Raffan hingga tubuhnya sedikit bergoyang karena kaget.
Sebelum bicara Raffan memilih untuk duduk terlebih dulu dibarengi dengan suara tarikan napasnya yang entah kenapa sungguh sangat berat padahal dia pun sudah cukup yakin untuk keputusan yang akan dia ambil.
"Menikah saja, Raffan pilih nikah," katanya seraya menggaruk kepalanya dengan keras hingga rambutnya semakin berantakan.
"Kamu yakin?" Hayati tampak sedikit tidak percaya, bukankah dia sangat mengenal anaknya yang bahkan haus akan kebebasan.
"Yakin Ibuuu," gemas menjawab keraguan wanita yang melahirkannya 19tahun lalu.
Ya, Raffan memilih menikah karena menurutnya menikah hanya statusnya saja yang terkunci sedangkan jiwa dan raganya masih bisa bebas berkeliaran dengan teman-temannya, bebas bergaul seperti biasa, ketimbang harus berdiam di pesantren menjadi anak pondok yang kesemuanya di atur dari mulai tidur sampai bangun tidur, dan itu tentu bukan pilihan yang menyenangkan, terlebih lagi tadi pun dia sudah memikirkan syarat apa yang akan dia minta.
Hah, tentu saja dia tidak akan menjadi anak penurut yang dengan mudah mengikuti dan memilih pilihan yang orang tuanya minta, ada syarat yang jelas akan menguntungkannya.
Ustad Imran menghembuskan napasnya perlahan menatap sang anak lalu berucap, "kalau begitu besok kita akan ke Jawa timur, ke pesantren milik teman Ayah."
"Lah ngapain?" bingung Raffan dengan ekspresi tegang.
Bukankah dia setuju untuk menikah? lalu kenapa Ayahnya itu masih saja ingin membawanya ke pesantren? Raffan benar-benar di buat heran dengan ucapan sang Ayah.
"Kamu bilang mau menikah bukan?" tanya Ustad Imran.
"Iya, lalu kenapa Ayah malah mau bawa Raffan ke pesantren? Ayah kira Raffan anak kecil apa yang bisa di bohongi!" dengus Raffan tak terima.
Dia sudah memilih menikah setidaknya dia bisa memilih sendiri siapa wanita yang akan menjadi istrinya, itulah yang tadi Raffan sempat pikirkan.
"Raffan bilang menikah bukan mau ke pesantren dan jadi anak santri!" lanjut Raffan geram dengan wajah nyolotnya.
"Ckckckck," ustad Imran berdecak mendengar anaknya bicara.
Anaknya itu selalu mendahulukan emosi ketimbang otak, sebenarnya tidak beda jauh dengan dirinya yang memang kerap kali kehilangan kesabaran dalam mengajari sang anak.
"Kamu akan menikah di sana Raffan, dengan wanita yang sudah Ayah dan Ibu pilih."
Hayati menjawab kekalutan Raffan membuat anaknya membulatkan mata dengan sangat lebar.
"Dengan salah satu guru di pesantren temannya Ayah," sambung Hayati yang membuat Raffan bagaikan di sambar petir.
Memilih menikah saja sudah keputusan yang amat sulit baginya dan sekarang masih harus di jodohkan, oh ayolah ini bukan zaman Siti Nurbaya bukan?
"Jadi itu artinya Raffan di jodohkan? astaghfirullah Ibu, Raffan bukan Siti Nurbaya," ucapnya merasa tidak terima dan protes.
"Kamu lelaki mana bisa di panggil Siti Nurbaya!" sentak Imran.
"Maksud Raffan perlakuan Ayah dan Ibu yang enteng banget ngejodohin, kalau begitu Raffan milih di pesantren aja jadi santri jadi santri sekalian," ketusnya mengubah pilihan.
Ustad Imran menggeleng kepalanya, "laki-laki itu yang di pegang omongannya, jangan jadi laki-laki plin-plan sebentar A sebentar B, lalu berubah lagi menjadi C, pilihan pertama sudah yang paling final! tidak ada perubahan lagi!" tegas ustad Imran tak ingin lagi mendengar anaknya mendebat mengenai apa yang sudah mereka tentukan.
Tak di sangka Hayati berpindah duduk ke samping anaknya lalu merapikan rambut hitam sang anak yang berantakan, "percayalah kami hanya ingin yang terbaik untuk kamu Raffan, kami akui kami sedikit egois tapi kami tidak mau membiarkan kamu tak tentu arah dalam bergaul," dengan lembut dan kasih meyakinkan anaknya.
Pasrah, yah itu yang kini harus Raffan terima dia sudah berusaha untuk menolak tapi tidak mungkin melawan kemauan orang tuanya.
"Ya sudah, tapi Raffan punya satu permintaan," tukas Raffan mengangkat wajahnya.
Hayati mengangguk seraya berkata, "apa? katakan saja insya Allah Ayah dan Ibu akan menurutinya."
"Setelah menikah Raffan mau tinggal di rumah Raffan berdua saja sama istri Raffan, biar Ayah dan Ibu tidak ikut campur dalam urusan rumah tangga Raffan nantinya," jawab Raffan menuntut.
Imran baru saja akan angkat bicara namun Raffan kembali mengeluarkan suaranya.
"Bukankah Raffan yang akan menjadi kepala keluarga, di dalam agama kita juga mengajarkan setelah menikah sebaiknya tinggal di rumah sendiri tidak bercampur dengan orang tua, tentu Ayah tau itu," sinis Raffan.
Hayati menatap pada sang suami lalu mengangguk seraya mengedipkan kedua matanya memberi kode agar suaminya itu menuruti apa yang anak mereka mau.
"Baiklah, kamu bisa tinggal di rumah Ayah yang di Jakarta Selatan, itu juga cukup dekat dengan kampus kamu," papar Imran yang setuju dengan kemauan sang anak.
Raffan tersenyum sedikit merasa pilihan menikah dan di jodohkan memang jauh lebih baik ketimbang harus tinggal di pesantren, setidaknya dengan menikah dia masih bisa keluyuran nantinya.
"Raffan mau tahu bagaimana calon istri Raffan itu, apa dia sudah tau kalau akan di jodohkan?" Raffan mulai penasaran mengingat sudah besok akan menikah dan itu sangat-sangat singkat dan cepat.
Tentunya mereka tidak akan ujug-ujug datang untuk meminta seorang wanita menikah dengannya bukan? memangnya mau di tolak mentah-mentah!
"Kamu tenang saja, kamu hanya tinggal mengucapkan ijab kabul dan pernikahan sah dalam agama dan juga negara," sahut sang Ustad.
Astaga, ternyata orang tuanya ini sudah merencanakan semuanya dengan sangat matang dan baik tanpa mengatakan apapun padanya, lalu dia langsung saja di tembak dengan pilihan sulit yang mau tak mau harus dia pilih.
Raffan melirik kesal pada sang Ayah yang kini tersenyum penuh kemenangan.
"Calon istri kamu namanya Adeefa Ranaya, salah satu guru di pesantren teman Ayah, dia cantik solehan juga dan pertama kali bertemu Ibu sudah langsung suka sama dia," Hayati memaparkan bagaimana wanita yang akan menjadi menantunya besok.
"Guru? Guru ngaji?" tanya Raffan.
Hayati dan Imran mengangguk bersamaan.
"Biar kamu bisa ngaji bareng sama Defa atau mungkin di ajarin ngaji nantinya," ketus ustad Imran.
"Gini-gini Raffan juga bisa ngaji Ayah, walaupun belum khatam Alqurannya," dengus Raffan tak terima dengan pernyataan Ayahnya seolah dia tidak bisa ngaji sama sekali.
"Tidak buruk lah, berapa usianya? seumuran Raffan kan?" bertanya usia calon istrinya.
Hayati terdiam sejenak melirik pada suaminya yang diam saja seperti tidak berminat untuk memberikan jawaban, yah terpaksa dialah yang harus menjawab.
"25 tahun."
Hayati menjawab singkat.
"Hah 25?"
Kali ini Raffan hampir saja mati duduk mendengar usia wanita yang akan dia nikahi, 25 tahun dan itu artinya lebih tua dari usianya.
"Ayah dan Ibu yang benar saja! 25 tahun bedanya 6 tahun sama Raffan! gila masa anaknya di jadiin berondong!" protes Raffan hingga tidak lagi memikirkan perkataan apa yang dia keluarkan dari mulutnya.
"Tidak ada masalah dengan usia, mau usia istrimu lebih tua darimu tetap saja kamu yang akan menjadi kepala keluarga dan imam dalam rumah tangga, sudah tidak ada protes apapun lagi Ayah akan segera menghubungi teman Ayah dna mengatakan kita akan berangkat ke sana besok pagi-pagi sekali," tegas sang ustad seraya beranjak dari duduknya meninggalkan anak dan istrinya.
"Gila! ruwet-ruwet, mimpi buruk apa gue semalem!" menggerutu di saksikan oleh Ibunya yang tidak mengeluarkan sepatah katapun, membiarkan anaknya larut dalam kegelisahan.
\*\*\*\*\*\*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
mudahlia
😛😀😀😀😀😀bab terngakak
2024-02-07
0
🦋⃟ℛ★🦂⃟ᴀsᷤᴍᷤᴀᷫ ★ᴬ∙ᴴ࿐❤️💚
Asem dehh mulut nya si Babang Rafa 🤣🤣 ceplas ceplos x lahh 🤣🤣
2023-01-04
0
🦋⃟ℛ★🦂⃟ᴀsᷤᴍᷤᴀᷫ ★ᴬ∙ᴴ࿐❤️💚
lama lama pasti Bucin kok nnatik 🤭
2023-01-04
0