"Mau jadi apa kamu?! anak berandalan!! Ayah dan Ibumu tidak pernah mendidik mu menjadi seperti ini, urakan pergaulan tidak jelas," murka Imran.
"Tapi kan yang penting Raffan tidak pernah mabok sama zina Ayah."
Masih berani menjadi memotong kemarahan sang Ayah yang menghunuskan tatapan membunuh.
"Siapa yang tau suatu saat kamu tidak melakukan semua itu! mengingat pergaulan mu saja sudah sangat berbelok dari ajaran keluarga!"
Suara menggelegar di pagi hari itu cukup mengalahkan suara sholawat tarhim dari masjid tak jauh dari rumah mereka.
"Jadi Ayah sumpahin Raffan?"
Brak!
Imran menggebrak meja menimbulkan suara yang keras hingga istrinya pun tak kuasa menahan terkejut yang luar biasa sampai tubuhnya tersentak.
"Pergaulan mu itu membawa keburukan, dan pergaulan mu itu bukan tidak mungkin akan semakin menjerumuskan kamu Raffan! kamu sudah dewasa sudah bisa berpikir apa yang baik dan juga buruk, jauhi semua yang Allah larang," pria yang memaki kain sarung itu sungguh mencemaskan pergaulan serta teman-teman anaknya.
"Pulang kuliah tidak langsung pulang malah nongkrong dengan teman yang membawa keburukan lalu baru pulang pagi buta, mau sampai kapan?!" Imran masih tampak meluap-luap.
"Sampai Raffan puas dan bosan," menjawab dengan entengnya.
"Menunggu sampai kamu melakukan dosa yang lebih besar! lalu kamu baru akan merubah sifat mu itu!?" Imran menggelengkan kepalanya tak pernah percaya bahwa dia memiliki anak yang luar biasa menguji nya dan istri.
Sang pemilik semesta benar-benar memberikan ujian paling besar melalui anaknya sendiri, apakah dia mampu untuk menuntun anaknya ke jalan yang sungguh di ridhoi oleh penciptanya.
Setiap hari Imran bahkan tak hentinya berdoa agar anaknya itu bisa berubah, merubah segalanya dari pergaulan serta tingkah lakunya yang tak sesuai dengan ajaran agama mereka.
"Raffan," kini Hayati bersuara, suaranya cukup lebih bersahabat ketimbang pria tua yang dadanya masih naik turun menandakan emosinya belum cukup reda.
Raffan menunduk tak berani menjawab panggilan dari Ibunya, Ibunya itu memang lebih sabar menghadapi dirinya meskipun jangan harap akan membela jika sudah berhadapan dengan Ayahnya, terlebih lagi Raffan memang mengakui dialah yang salah.
"Lepas anting-antingmu itu!" perintah Imran dengan mata yang menyala.
Lagi-lagi Ustad itu menyerbu telinganya dengan suara bentakan yang sangat keras, tidak menghiraukan istrinya kini mengelus dadanya karena kaget dengan suaranya untuk yang kesekian kali.
"Anting-anting? cuma satu doang juga," masih sempatnya menggerutu namun tangannya bergerak untuk mencopot anting dari telinga kanannya.
"Kami tidak bisa terus membiarkan kamu seperti ini Raffan, Ayah dan Ibu sangat sayang kamu, Ayah dan Ibu tidak ingin anak kami satu-satunya menjadi tidak benar, menjadi anak berandalan sedangkan kamu tau Ayahmu ini seorang Guru ngaji dan rutin mengisi pengajian di masjid, apa kamu tidak memikirkan nama baik Ayahmu? nama baik keluarga Kakek mu yang sudah sangat terkenal di berbagai kota, kamu sudah baligh dan artinya kamu pun sudah berakal memahami juga mengerti hal-hal apa saja yang harus di jalankan dan yang di larang oleh Allah," tutur Hayati menatap sang anak memainkan anting di tangannya yang tadi di lepas dari telinga kanannya.
Sedangkan Imran merasa belum puas untuk mengomel pada anaknya, menurutnya anaknya itu sudah tidak bisa lagi untuk di ajarkan dengan lembut dan kasih sayang, Raffan sudah kadung bebal akibat berteman dengan anak-anak nakal yang entah bagaimana bisa di kenal oleh anaknya itu.
Karena seingat Imran sang anak bertingkah seperti ini setelah duduk di kelas tiga SMA, dan makin menjadi ketika masuk kuliah hingga dia pun sangat sulit untuk mengontrol anaknya dan mengembalikannya seperti semula.
"Sudahlah tidak perlu lagi berbicara lembut pada anak bengal ini, suruh saja dia memilih!"
Lagi, Imran merasa kehilangan sabar menghadapi anaknya, juga mulai gemas dengan istrinya menurutnya berbicara lemah lembut juga percuma pada anak bernama Raffan Alawi, sudah di beri nama sebagus itu dan diiringi doa eh tapi kelakuannya malah selalu bersinggungan dengan dosa, terlalu banyak ke mudharat yang di perbuat.
"Memilih? memilih apa nih? wah pilihan beresiko nih pasti," mulutnya berkomat-kamit seraya bergantian melihat Ayah dan Ibunya seperti mencari jawaban dari setiap wajah yang dia lihat.
Hayati menarik napas panjang lalu membuangnya berbarengan dengan melihat pada sang suami yang tampaknya sedikit berkeringat.
"Kamu pilih menikah atau Ayah masukkan ke pesantren!?"
Raffan menegakkan tubuhnya mendengar pertanyaan yang baru saja di lontarkan oleh sang Ayah.
"Pilihan macam apa ini? menikah? pesantren?" tuturnya menunjukkan ketidak tenangan.
"Menikah? tidak mungkin, usia Raffan baru 19 tahun, Ayah jangan ngaco," jelas menolak permintaan pertama.
"Kalau begitu kamu memilih untuk masuk pesantren," desak Imran tak sabar.
Raffan menggeleng, "tidak juga! menurut Raffan sudah telat untuk masuk pesantren, usia Raffan sudah segini akan sangat lambat untuk menerima semua yang di ajarkan di tempat itu," sambungnya kembali menolak.
"Terlalu banyak alasan dan pembelaan kamu! dulu saat Ayah ingin masukin kamu ke pesantren kamu bilang apa? Ayah belajar agama tidak hanya melalui pesantren, itu bukan yang kamu katakan lalu sekarang kamu bilang telat, terlalu banyak cerita kamu ini!" sambar Imran menirukan apa yang dulu pernah di ucapkan oleh anaknya.
Dulu saat baru lulus SMP Imran memang berniat memasukkan Raffan ke pesantren milik temannya tapi bocah itu malah menolak dengan segala dalih dan bodohnya dia percaya dengan omongan anaknya itu, sungguh menyesal tak karuan saat ini jika akhirnya dia tahu kalau anaknya akan bergaul sembarangan tentu dulu dia lebih baik memaksa dan menyeret anaknya itu ke pesantren.
Suara Adzan subuh sudah berkumandang membuat Imran bangkit dari duduknya lalu menatap pada sang anak seraya berkata, "sepulang dari masjid Ayah akan meminta jawaban," tegas dan jelas tidak ingin ada bantahan lagi dari anaknya terlihat dengan caranya melangkah dengan cepat sambil membenarkan Koko yang dia pakai.
Pria itu sepertinya sudah enggan untuk mengajak anaknya untuk sholat subuh di Masjid, sudah sering dia mengajak anaknya namun anaknya itu tak bergerak sedikitpun kala dia ajak.
"Bu," Raffan melihat pada sang Ibu seperti meminta bantuan.
"Ini juga keputusan Ibu," sahut Hayati seraya bangkit dari duduknya meninggalkan sang anak yang sekarang mengusak rambutnya dengan kasar.
*****
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
🦋⃟ℛ★🦂⃟ᴀsᷤᴍᷤᴀᷫ ★ᴬ∙ᴴ࿐❤️💚
Masih sanggop ngejawab pulak 🤣🤣 bujan nya Diam 🤣🤣 malah enteng pilak dia jawab 🤣🤣
2023-01-04
0
Sunarty Narty
nah lo
2022-10-01
0
Fiera
kali ini Raffan yg dibikin pusing dg memilih pilihan yg sama -sama berat buat dia
2022-08-09
0