"Cantik sih cantik, tapi kalau usianya 25 tahun terus guru ngaji juga, ini gue mau bangun rumah tangga apa bangun majelis ta'lim?!"
Raffan terus mengoceh di dalam kamarnya, mondar-mandir tak jelas, rasa kantuknya yang sejak tadi mengangguk sudah musnah tak tau rimbanya, dia yang padahal tadi terus menguap malah sangat tidak bernafsu untuk tidur, dan untungnya hari ini dia tidak ada kuliah hingga dia tidak perlu khawatir tidak akan bisa konsentrasi dalam belajar sebab memikirkan pernikahan yang akan dia laksanakan besok.
"Kacau-kacau!"
Mulutnya benar-benar tidak bisa diam untuk mengomeli nasibnya sendiri, di dalam kamar dia sungguh tidak bergairah untuk melakukan apapun bahkan untuk cuci muka sekalipun dia sangat tidak bersemangat.
"Raffan sarapan dulu."
Terdengar suara Ibunya memanggil memonopoli kerisauan yang tengah bergelut di dalam pikirannya.
"Nggak laper Bu, nggak laper, Raffan nggak laper!" sahut Raffan kencang mengulang jawaban.
Pemuda itu sepertinya tidak memiliki nafsu apapun untuk hari ini, semua nafsunya seolah di ambil oleh semesta.
"Kamu belum makan apa-apa Lo dari pulang tadi."
Lagi suara sang Ibu mencoba untuk membujuk anaknya agar keluar dari kamar dan mengisi perutnya, dia tau anaknya hari ini belum makan apapun.
"Raffan udah makan sebelum pulang tadi," sahut Raffan.
"Itu sudah beberapa jam yang lalu Raffan, berbeda."
"Pokoknya Raffan gak mau makan, Raffan puasa hari ini!" gemas dengan wanita yang berada di balik pintu, jelas dia tidak ingin makan malah terus di paksa, bagaimana mau makan jika moodnya sedang tidak baik.
Hayati menarik napas berat dan menyerah namun sebelum pergi dia masih sempat mengingatkan sang anak agar makan jika sudah lapar, "nanti kalau lapar makan ya Nak," bujuk Hayati lembut.
Tidak ada sahutan dari dalam kamar membuat dia melangkah menuju ruang makan dimana suaminya sudah berada di sana sejak tadi.
"Biarkan saja kalau dia tidak mau makan, anak laki kok hobinya ngambek begitu," tukas ustad Imran jengkel dengan sang anak.
"Kita terlalu keras nggak sih Yah?" tanya Hayati akhirnya, memikirkan sang anak.
Imran menghentikan sendok yang sudah terangkat lalu meletakkannya kembali ke atas piring, pria itu menatap pada istrinya yang mulai goyah dengan anak mereka yang sepertinya sedang protes.
"Kita hanya memberi pilihan lalu dia yang memilih sendiri untuk menikah, apa kita salah?" tanya Imran.
"Apa kita batalkan saja ya pernikahannya, Ibu rasanya tidak tega," Hayati merasa sangat bingung.
"Ngaco! apa kamu tidak memikirkan perasaan Defa perasaan orang tuanya? juga teman Ayah, mau di taruh dimana wajah Ayah nanti Bu, kita sudah meminta Defa lalu kita juga yang membatalkan pernikahan ini? tidak! Ayah tidak setuju pokoknya Raffan harus menikah dengan Defa, toh dia sendiri yang sudah memilih untuk menikah," ucap ustad Imran penuh ultimatum dan jelas tidak ingin keputusan yang sudah mereka ambil harus di ubah seenaknya hanya karena tidak tega atau kasihan terhadap anak mereka membuat Hayati tidak lagi mengungkit tentang pembatalan pernikahan.
Malam hari ketika Ustad Irman dan istrinya sedang duduk berbincang di ruang tamu sambil menyiapkan apa yang akan mereka bawa besok hari terdengar langkah menuruni anak tangga, keduanya kompak melihat pada Raffan yang sudah rapi dengan pakaian khas pemuda itu.
Celana robek-robek di bagian dengkul serta kaos hitam yang di tutupi jaket.
"Mau kemana kamu?" tanya Imran menelisik pada sang anak.
"Keluar sebentar ketemu temen," sahut Raffan cuek.
"Nggak ada, malam ini kami diam di rumah jangan kemanapun!" tekan Imran menegaskan.
"Cuma sebentar Ayah, janji deh Raffan nggak kabur kan Ayah sendiri yang bilang laki-laki itu yang di pegang ucapannya," Raffan mencoba bernego agar malam ini diijinkan untuk keluar.
"Nggak ada! sebentar nya kamu itu sampai besok pagi! sedangkan jam 2 kita harus sudah berangkat," tolak sang ustad tidak termakan omongan anaknya.
"Lagian kenapa pagi-pagi banget sih emangnya nggak ngantuk," sinis Raffan yang sepertinya masih belum mau merubah statusnya dari bujangan menjadi menikah hanya dalam waktu satu hari saja.
"Kita ini naik mobil, jadi harus berangkat pagi Raffan," kata Hayati ketika melihat anaknya bergerak tak jelas seperti tengah merajuk.
Mata Raffan membola mendengar pernyataan sang Ibu, naik mobil? mereka dari Jakarta ke Jawa timur naik mobil, apa dia tidak salah dengar? masih ada pesawat yang bisa membawa mereka lebih cepat lalu kenapa harus repot-repot dan berlelah-lelah naik mobil yang mungkin bisa saja terkena macet.
"Ada pesawat, kenapa kita tidak naik pesawat kenapa Ayah dan Ibu ini senang sekali menyusahkan diri sendiri dan anaknya," sungut Raffan menjatuhkan tubuhnya di sofa.
Imran menarik napas, "sebaiknya kamu siapkan pakaian serta barang yang akan kamu bawa besok, daripada keluyuran tidak jelas," pinta sang ustad pada sang anak yang menyandarkan tubuhnya dengan sangat malas di atas sofa.
"Raffaaan," seruan Hayati.
"Iya, iya!" kata Raffan seraya bangkit sambil melepas jaket yang dia pakai dengan kasar lalu kembali menuju kamarnya menyiapkan pakaian seperti yang Ayahnya minta.
\*\*\*\*\*\*\*\*\*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 154 Episodes
Comments
mudahlia
wkwkwkwkk sumpah lambe turah bener
2024-02-07
0
🦋⃟ℛ★🦂⃟ᴀsᷤᴍᷤᴀᷫ ★ᴬ∙ᴴ࿐❤️💚
Bisa aja di Babang 🤭🤭
2023-01-04
0
🦋⃟ℛ★🦂⃟ᴀsᷤᴍᷤᴀᷫ ★ᴬ∙ᴴ࿐❤️💚
yowesss puasa aja Bang 🤣🤣
2023-01-04
0