Bab XV - Dia Adalah Kekasihku

Wanita itu duduk di beranda rumahnya, sepasang matanya yang bulat menatap kosong ke arah tanaman-tanaman perdu yang tumbuh teratur, berjejer di sepanjang jalanan setapak penghubung pintu depan dan pintu gerbang rumahnya. Ia tidak peduli beberapa helai rambutnya melayang-layang dipermainkan oleh angin-angin kecil yang turun dari badan bukit sambil membawa sisa-sisa sinar raja siang yang mulai beranjak senja. Wanita itu tetap duduk sabil sesekali menghela nafas panjang. Di bawah kelopak matanya tampak cekungan hitam, sayu dan pucat menyembunyikan kecantikan pada wajahnya yang bulat telur.

Sudah satu jam wanita itu duduk disana dan sedikitpun pandanganku tak pernah lepas darinya.

Lidya ... demikianlah nama wanita itu. Sudah sekian lama aku mengenalnya bahkan sebelum dia menikah dengan JOHAN, yang meninggal satu tahun yang lalu karena kecelakaan. Aku bisa memahami kesedihannya, tapi, yang tak bisa kumengerti adalah dia masih menganggap suaminya masih hidup dan menemaninya kemanapun ia pergi, bahkan untuk saat ini. Terus terang aku tak ingin ia terus-menerus larut dalam kesedihan hatinya, aku mencintainya dan apapun akan kulakukan demi untuknya.

“Le... mau sampai kapan kau terus-menerus menatapnya ?” mendadak telingaku mendengar seseorang memanggilku dari arah belakang. Aku menoleh, ibu berjalan menghampiriku sambil tersenyum, “Dari tadi ibu lihat kau tak pernah lepas memandanginya,”

Aku menganggukkan kepala lalu melangkah ke tepi pembaringan lalu duduk di dekat ibu yang sudah duduk dulu, “Ya, bu... aku merasa kasihan sekali pada Lidya, semenjak ditinggal mati suaminya, dia jadi seperti orang gila. Padahal ibu tahu sendiri, sewaktu belum menikah ... dia adalah seorang wanita yang enerjik dan tak kenal putus asa. Tapi, lihatlah dia sekarang ...”

“Ibu mengerti. Tapi, apa yang hendak kaulakukan padanya ? Sementara, dia sendiri sepertinya tidak mempedulikanmu,”

“Ibu ... percayakah ibu akan adanya makhluk halus atau dunia lain ?”

“Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu ? Tentu saja ibumu ini tidak percaya,” sambil berkata demikian, aku bisa melihat ibu menundukkan wajahnya dalam-dalam ke lantai kamar.

Aku tersenyum, kupandangi wajah ibuku dalam-dalam ... 35 tahun sudah aku hidup bersama kedua orang tuaku, rasanya lucu sekali kalau aku tak mengenal sifak, watak dan karakter mereka masing-masing. Maka dari itu, saat ibuku bersikap demikian, aku paham ibu sebenarnya percaya akan adanya dunia lain, alam roh, makhluk halus ataupun sejenisnya berikut eksistensinya. Hanya beliau tak mau menceritakannya pada kami, anak-anaknya. Itu semua disebabkan oleh bencana yang menimpa keluarga kami beberapa tahun silam. Aku tak ingin menceritakan kejadian yang membuat ayahku kini menghilang entah kemana. Tapi, yang ingin kutanyakan pada ibu saat ini berhubungan dengan wanita yang kucintai dan kusayangi, Lidya.

“Ibu tak bisa menyangkal adanya dunia lain, kita semua tahu apa yang telah terjadi pada Ayah ... pada keluarga kita. Saya tak ingin ini terjadi pada Lidya. Ketahuilah, beberapa waktu yang lalu ... aku sempat berkunjung ke rumah Lidya. Tahukah ibu, apakah yang dia lakukan ? Dia berbicara, tertawa dan menangis sendiri. Dia menyuruhku pergi karena tak ingin bertengkar dengan suaminya, padahal saya tahu sendiri di rumahnya tak ada orang lain selain kami berdua. Tapi, tak bisa kusangkal ... telinga ini mendengar dengan jelas, ada orang lain selain kami berdua. Dia menggeram dan yang lebih mengerikan kursi-kursi di ruang tamunya mendadak saja bergerak sendiri,” jelasku, “Kalau ibu tak percaya, ibu bisa lihat sendiri kejadian itu di rumahnya,”

Penjelasanku ini membuat ibu terpana, aku bisa melihat dari sudut matanya basah oleh airmata, “Ya, anakku... ibu percaya. Tapi, penjelasanmu tadi membuatku terkejut. Kapankah itu terjadi, le ?” tanyanya.

“Tepatnya, 7 hari setelah kematian Johan,” jawabku.

Ibu mengangguk-anggukkan kepala, “Kalau begitu... tapi, tak mungkin ...” katanya dengan nada gemetar, wajahnya pucat pasi.

“Ada apa, bu...”

“Tidak, Le. Itu tak mungkin. Kita semua tahu bagaimana keadaan rumah tangga Lidya dan Johan setelah mereka menikah,”

“Le, tolong antarkan ibu ke rumah Lidya sekarang,” sambil berkata demikian ibu berdiri dan menarik tanganku untuk kemudian melangkah keluar meninggalkan ruangan itu. Sekalipun rasa bingung dan penasaran masih merambati sekujur tubuhku, namun, aku juga merasa senang ibu akhirnya mau menanggapiku dan mengajakku ke datang ke rumah Lidya.

_____

Lidya masih duduk sendirian di beranda rumahnya. Tatapan matanya kosong dan hampa, sampai-sampai kedatangan kami tak dihiraukan. Aku berjalan mendekatinya, kudekatkan mulutku ke telinganya, “Lid, aku Eko datang berkunjung, kali ini bersama dengan ibuku,” bisikku perlahan berharap ia mau mendengarkannya, tapi, tetap tak bergeming. Melihat keadaan itu, ibu berjalan menghampirinya, beliau menatap wajah Lidya dalam-dalam lalu berkata, “Tubuhnya memang di tempat ini... tetapi, jiwanya tidak berada pada tempatnya,” Aku benar-benar tak paham akan apa yang dikatakan ibu, “Maksud ibu, bagaimana ? Saya tidak mengerti,”

“Bawalah Lidya masuk ke dalam rumah dan berjagalah, biar ibu yang akan mengurusnya dan apapun yang terjadi, jangan coba-coba untuk meninggalkannya sendirian. Mudah-mudahan ia masih bisa diselamatkan,”

Tanpa banyak tanya lagi, aku segera menggendong Lidya lalu berjalan beriringan dengan ibuku. Pintu depan terbuka, kami melangkah memasuki ruangan.

Aku membaringkan tubuh Lidya di lantai dan menyalakan lilin di sekelilingnya.12 batang lilin mengelilingi tubuhnya. Sementara sepasang mata ibuku menatap tajam ke segala penjuru ruangan berikut setiap sudutnya termasuk lantai dua, “Jagalah lilin-lilin itu agar jangan sampai padam,” tegasnya, “Oh,ya ... ibu hampir lupa.

Kenakanlah 2 gelang ini. Satu di tangan kananmu dan satu di tangan kirinya” sambungnya sambil mengeluarkan dua buah gelang yang terbuat dari kuningan dari sakunya.

Itu adalah gelang warisan turun temurun dari keluarga kami.

Konon, gelang itu bisa melindungi kami dari mara bahaya, bahkan bisa membawa kami menuju alam gaib. Bentuknya sederhana sekali, gelang kuning berukiran bunga 7 warna. GELANG 7 BUNGA, begitulah namanya. Jika gelang itu dibuat untuk kebaikan, maka, orang yang mengenakannya senantiasa dianugerahi kebaikan pula juga rejeki, kesehatan dan umur panjang. Memang, itu sudah terbukti sekian lama, saat ayah menghilang, beliau tak mengenakan gelang itu. Asal-usul gelang itu hanya ibulah yang tahu dan kami sama sekali tidak pernah mengungkit-ungkit hal itu. Terus terang, sekalipun ada banyak bukti tentang manfaat gelang itu, aku masih tidak mempercayainya.

Tapi, dalam keadaan seperti itu, tak ada alasan bagiku untuk ragu. Kukenakan gelang itu di tangan kananku, sementara, gelang yang lain kupakaikan ke tangan kiri Lidya. Setelah mengenakan gelang itu, terjadilah hal yang sama sekali tidak masuk di akal sehat. TIDAK BISA DITERIMA OLEH LOGIKA ORANG. Perlahan-lahan semua dinding di ruangan itu retak-retak bagaikan sawah kering di musim kemarau, warna dinding tersebut berubah menjadi coklat kehitaman, sarang laba-laba menempel hampir di semua sudut. Anak tangga penghubung lantai satu dengan lantai dua yang semula berwarna kuning keemasan dengan ukiran indah, berubah menjadi besi-besi karat berdebu dan berwarna hitam dan anak tangganya berubah menjadi kayu-kayu lapuk sebagian ada yang rusak. Lampu-lampu yang bergelantungan di langit-langit berubah menjadi lampu-lampu model kuno dengan ukiran binatang yang aneh-aneh. Semuanya berubah menjadi barang-barang rongsokan yang sudah tidak utuh lagi bentuknya.

Rumah Lidya yang semula kelihatan mewah, kini berubah menjadi sebuah bangunan kuno tak berpenghuni penuh dengan debu dan tak terawat. INILAH WUJUD ASLI RUMAH TERSEBUT. RUMAH TUA, RUMAH BELANDA.

“Berhati-hatilah. Kita sudah masuk ke alam dimana jin, setan dan makhluk-makhluk halus berkumpul. Pada gelang 7 bunga yang kalian pakai ada seutas tali merah yang tipis. Apapun yang terjadi, jangan sampai tali itu putus. Mereka akan berusaha membuat kita terpisah. Jalan yang paling baik untuk mengatasinya adalah ... apabila kau mendengar suara orang minta tolong, menangis, atau yang lain TIDAK PERLU DIHIRAUKAN. Tujuan kita adalah mencari Lidya. Perlu kau ingat mereka bisa berganti wujud sesuka hatinya ... jadi, jangan sampai lengah, le ....” sambil berkata demikian ibu melangkah dengan hati-hati menelusuri ruangan demi ruangan meninggalkan kami yang duduk di ruang tengah dan dikelilingi lilin-lilin yang cahaya apinya bergoyang kesana-kemari ditiup angin yang masuk melewati lubang udara.

Sekalipun aku dan Lidya berada di ruang tengah, tapi, aku bisa mengikuti kemana ibu pergi menelusuri setiap ruangan yang ada di dalam rumah tua itu. Yah... aku memang baru pertama kali ini mengikuti ibuku masuk ke dunia yang disebut DUNIA LAIN. Entah sudah berapa banyak aku dihadapkan pada berbagai macam pemandangan aneh dan mengerikan ... seorang wanita berambut hitam, kusut, panjang dan mengenakan pakaian putih kecoklatan, ia berdiri sambil menggendong bayi dan sesekali menangis, tertawa dan bersenandung dengan suara merdu; Sesosok manusia tinggi besar berbulu hita, lebat ; sesosok tubuh terbungkus kain kafan putih kecoklatan sedang melompat-lompat dan sosok-sosok lain yang aneh lagi mengerikan. Suatu waktu, telinga ini mendengar namaku dipanggil-panggil dan sesekali terdengar jeritan / teriakan kesakitan serta minta tolong.

Suara-suara yang menyayat hati tapi, tak tahu darimana asalnya.

“Jangan kau hiraukan suara-suara itu, le ...” kata ibuku, “Semuanya itu bisa membuat kita kehilangan akal sehat,” sambungnya. Kami terus berjalan dan kini tiba pada tangga penghubung lantai satu dan lantai dua. Saat hendak menaiki anak tangga kesatu, telinga kami mendengar bunyi seperti benda jatuh dari lantai dua, tampak sebuah benda bulat menggelinding melewati tangga dan berhenti tepat di kaki kami.

Mataku terbelalak melihat benda yang ternyata adalah sebuah kepala manusia yang berlumuran darah, sepasang matanya terbelalak menatapku.

“Bu, itu adalah kepala Johan, suami Lidya,” seruku.

“Bukan. Itu adalah salah satu jelmaan dari penghuni tempat ini, kau tak perlu mempedulikannya,” sambil berkata demikian ibu berjalan menaiki anak tangga.

“PEMBUNUH ! PEMBUNUH ! PEMBUNUH !” suara itu terdengar berulang-ulang di kedua belah telingaku, suara itu berasal dari kepala yang tergeletak tak jauh dari kakiku saat aku hendak menoleh ibuku kembali mengingatkanku agar tidak mempedulikannya, akupun kembali mengikutinya dari belakang. Teriakan itu makin lama makin keras, membuat telingaku sakit.

“DIAMLAH !!!” mendadak terdengar ibuku berseru lantang, suara-suara itu pun perlahan-lahan menghilang dan situasi kembali sunyi. Kamipun akhirnya tiba di depan pintu masuk lantai dua, jari-jemari tangan ibu bergerak memutar gagangnya.

“KKRRIIEETTHH ...”

Suara berat dan kering menggelitik telinga dan tengkuk, bulu kudukku yang sudah merinding sejak tadi, semakin membuat gemetar sekujur tubuhku. Kami berjalan menyusuri ruangan yang hanya terdapat sebuah lampu gantung yang nyalanya begitu  redup.

Ruangan yang temaram itu banyak sekali perabotan rumah tangga yang berserakan dan pakaian-pakaian kotor, kumal dan menebarkan bau tidak sedap. Setelah berjalan sekian lama jantungku serasa berhenti berdetak manakala di hadapan kami mendadak berdiri sesosok tubuh berlumuran darah dan tidak memiliki kepala.

Sosok tanpa kepala itu perlahan-lahan mengangkat tangan kanannya, sesaat kemudian jari telunjuknya mengarah pada sebuah ruangan yang terletak di sebelah ujung kanan dari tempat kami berdiri. Pintu ruangan itu terbuka dengan sendirinya dan kami melihat sebuah cahaya merah.

Kami menghampirinya dan saat tiba terlihat sesosok tubuh duduk sambil menaruh kaki kiri pada pangkal paha kanan, jari-jemarinya tengah memegang sebuah surat kabar.

Lembaran-lembaran surat kabar yang panjang dan lebar menyembunyikan sebagian wajahnya. Huruf-huruf yang tertera di permukaan kertas usang itu seakan membujuk sepasang mata sosok laki-laki berkaca mata itu untuk enggan beralih pada kami.

Yang  menarik perhatianku adalah, huruf-huruf besar dan bertinta merah yang tertera pada halaman depan ‘JALAN TENGKORAK, MINTA TUMBAL LAGI’. Itu adalah berita kecelakaan yang menewaskan Johan, suami Lidya, kataku dalam hati.

Laki-laki itu masih saja duduk diam seakan-akan tak mempedulikan kehadiran kami. Aku kembali berjalan mengikuti kemana ibuku berjalan menyusuri ruangan yang cukup besar dan gelap itu. Cahaya lampu ruangan sudah tak mampu lagi  menjangkau seisi ruangan, membuat kami kesulitan. Dalam gelap seperti ini, apapun bisa terjadi. Kami berjalan sambil merapat pada dinding-dinding yang lembab dan berlumut. Sejauh mata memandang yang ada hanyalah kegelapan dan udara pengap. Hingga akhirnya, sepasang mata kami menangkap sebuah cahaya kecil yang makin lama makin dekat.

Cahaya itu berasal dari sebuah lampu minyak yang tergeletak di lantai. Lewat cahaya itulah kami dapat melihat ke sekeliling. Rupanya ada ruangan lain yang cukup luas dan lebar di depan sana ada seorang wanita mengenakan baju panjang berwarna merah dengan hiasan renda bunga-bunga mawar.

Perawakan tubuh wanita itu mirip sekali dengan Lidya, dia duduk membelakangi kami. “Lidya,” seruku sambil hendak mendekatinya, tapi, ibu menarik pergelangan tangan kananku, “Tunggu, le ... jangan buru-buru,” pada saat itulah kami merasakan desiran angin tajam, dingin dan aneh bertiup kencang. Kami membalikkan badan dan di hadapan kami sudah berdiri seorang pria jangkung dan kurus, ia tidak memiliki bola mata. Yang tampak oleh kami adalah 2 lubang yang cukup besar pada bagian matanya juga sesekali terlihat ulat belatung, cacing dan kelabang merayap diantaranya, “Menyingkirlah kalian darinya ...PEMBUNUH !!” seru makhluk itu, suaranya penuh dengan hawa amarah dan seakan menggema di seluruh ruangan, itu membuat telingaku sakit sekali.

Pada saat yang sama, tubuh ibuku terpental ke belakang sejauh 3 tombak, sepasang tangan yang tinggal tulang dibungkus kulit, berkuku hitam panjang dan runcing memegang kepalaku. Kejadian itu begitu cepat sekali, tak bisa kuhindarkan, sesaat aku merasakan isi kepalaku kosong dan sebuah cahaya putih yang menyilaukan membuat mataku terpejam.

Saat aku membuka mataku, aku mendapati diriku tengah berdiri di tengah jalanan yang cukup ramai oleh kendaraan yang berlalu lalang dengan kecepatan yang cukup tinggi, astaga bagaimana aku bisa berdiri di tengah jalan seperti ini ? tanyaku dalam hati. Pandanganku menyapu ke segala penjuru banyak sekali kendaraan-kendaraan berbagai ukuran meluncur dengan kecepatan tinggi, tak bisa kuhitung berapa kali kendaraan-kendaraan itu menabrakku, tapi, aku tak merasakan apa-apa. Tampak olehku sebuah sedan mewah menepi dan dari dalam muncul sepasang muda-mudi. Mereka adalah JOHAN dan LIDYA, wajah keduanya tampak merah padam dan saat keluar dari mobil mereka bertengkar dan berakhir saat Johan melayangkan telapak tangan kanannya ke pipi Lidya hingga wanita itu jatuh terpelanting. Apa yang membuat mereka bertengkar hingga Johan menampar Lidya ? Melihat Lidya jatuh terpelanting, Johan seakan tak mempedulikannya, ia masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Lidya dalam keadaan terkapar di tanah. Pemandangan itu membuatku sakit hati, aku mencoba menghampiri Lidya, tapi aku terkejut manakala sebuah truk meluncur dengan kecepatan tinggi. Beberapa detik kemudian telingaku mendengar sebuah suara yang cukup keras seperti benda berat saling beradu dan disusul dengan teriakan orang-orang, “KECELAKAAN ! KECELAKAAN !”

Sekilas jalanan itu jadi macet dan aku bisa melihat sedan mewah yang dikendarai Johan ringsek. Di antara roda-roda truk yang berukuran raksasa, tampak cairan kental berwarna merah dan kepala Johan yang sudah tidak utuh lagi, sementara, sopir truk juga mengalami luka parah.

Aku membelalakkan mata begitu mengetahui siapa yang pingsan di dalam truk tersebut. Sopir truk itu adalah aku. TIDAK MUNGKIN !! seruku tapi, tak ada yang mendengarnya. Dari jauh aku melihat Lidya berjalan terseok-seok menghampiriku.

Saat ia sudah berdiri di hadapanku, “Mengapa kau lakukan itu ?” tanyanya. Belum sempat aku menjawab, mendadak sebuah bayangan hitam muncul dan mengelilingi tubuh Lidya. Wanita itu tampak kebingungan, ia berseru saat bayangan hitam itu menariknya menjauh dariku, “Eko, tolong aku !!!” serunya sementara tangan kanannya menggapai-gapai.

Kucoba untuk mengejarnya, saat jari-jemariku hampir mendapatkannya, aku merasakan tubuhku bagaikan dihisap oleh mesin penghisap debu. Pandangan mataku kabur, semua yang kusaksikan sirna dan berubah menjadi setitik cahaya redup dan aku mendapatkan diriku berada di sebuah ruangan yang diterangi oleh cahaya lilin dan tubuh Lidya masih tergeletak tak sadarkan diri. Aku menatap ke sekeliling, tak jauh dari hadapanku, ibu sedang berhadapan dengan sebuah sosok hitam dan tinggi berbulu lebat, wajah ibuku tampak tegang manakala melihat Lidya berada dalam gendongannya.

“Aku tahu siapa, kau. Tak seharusnya kau menculik wanita itu. Turunkan dia dan jangan ganggu dunia kami lagi,” kata ibuku.

“Tapi, anakmulah yang membunuh suaminya dan haruskah kubiarkan dia melukai perasaan wanita ini ?” kata sosok hitam itu.

“Aku tahu. Itu adalah urusan kami dengan Sang Pencipta. Dan, kau ... tak perlu ikut campur urusan dari dunia kami. Kemarikan wanita itu atau aku akan mengusirmu dari tempat ini. Sebab, aku memiliki kuasa untuk itu ... kuasa yang diberikan oleh-NYA untuk menyingkirkan makhluk pengganggu sepertimu,”

Sosok itu menurunkan tubuh Lidya, untuk kemudian perlahan-lahan menghilang entah kemana. Bersamaan dengan menghilangnya makhluk itu, secara perlahan-lahan pula seisi ruangan berubah menjadi sebuah tanah lapang yang cukup luas dengan sebuah pohon beringin raksasa. Serabut akar yang panjang bergelantungan di udara nyaris menutupi badan pohon dengan bongkol-bongkol akar berbentuk aneh dan mengerikan. Dalam keadaan seperti itu, wujud pohon beringin bagaikan kepala sebuah makhluk yang memiliki rambut panjang dan awut-awutan. Di belakang kami sebuah bangunan tua berdiri megah menantang langit, rumah tua yang tak terawat sudah berubah ke wujudnya semula. Sebuah Rumah Mewah yang cukup besar dan indah, disitulah Lidya tinggal.

“Lid, bagaimana keadaanmu ?” tanyaku girang setelah keadaan Lidya kembali seperti semula. Lidya menatapku juga ibuku secara bergantian, “Eko, Bibi Tania, apa yang sudah terjadi ? Mengapa kalian ada disini ?” tanyanya heran. “Apakah kau ingat sesuatu, nak ?” tanya ibuku.

Lidya menggeleng-gelengkan kepala, “Seingat saya, saya duduk di beranda rumah, untuk menghilangkan perasaan jenuh karena sendirian di dalam kamar. Setelah itu entah mengapa, mendadak saja saya sudah berada disini dan kalian sudah ada di depan saya. Dan, saya merasa ada kepala ini ringan sekali,” jawab Lidya seraya menggosok-gosok dahi dengan punggung tangan kanannya.

Ibuku tersenyum, “Nak Lidya... bibi tahu, kau masih bersedih akan kematian suamimu, tapi, janganlah kau terlalu banyak melamun. Terus terang bibi katakan disini, jiwamu baru saja selamat dari cengkeraman makhluk yang disebut Gondoruwo, jin penunggu pohon beringin di belakang rumahmu itu.

Lidya tersenyum kecut, “Bi, saya tidak percaya tahayul atau sejenisnya,”

“Lalu, bisakah kau jelaskan bagaimana kau kini punya kebiasaan baru ?” tanyaku.

“Kebiasaan baru apa ?”

“Setelah suamimu meninggal, kau sering berbicara, tertawa dan menangis sendirian,” jawabku, “Ibuku sering melihat kau berduaan dengan sesosok makhluk hitam, tinggi dan besar saat tengah malam tiba,”

Lidya membelalakkan mata, “Apakah itu benar, bi ?” tanyanya.

Ibuku menganggukkan kepala, “Benar. Dan aku tahu siapa dia. Dia selalu mengikutimu kemanapun kau pergi. Pernikahanmu dengan Johan membuatnya marah, itulah sebabnya, dia mengambil wujud anakku, EKO dan membunuh suamimu lewat kecelakaan 1 tahun yang lalu di Tol Cipularang. Dengan memanfaatkan pertengkaranmu dengan Johan sekaligus mencoba menjadikan anakku sebagai kambing hitamnya. Dia tak menginginkanmu menjadi isteri orang lain, dia ingin mengambilmu sebagai isterinya,” jelasnya.

Paras muka Lidya pucat pasi, ia benar-benar tak mengerti bagaimana itu bisa terjadi, “Tidak mungkin. Bagaimana ini bisa terjadi ?” tanyanya.

“Cinta telah membuat siapa saja buta, Nak Lidya,” baru saja ibuku menutup mulutnya, kulihat wajah Lidya berubah. Dia tampak bengis dan kejam, matanya yang liar menatap tajam ke arah kami, “DIA ADALAH KEKASIHKU !! Takkan kubiarkan kalian merusak cintaku padanya !!!” suara Lidya yang semula lembut menjadi kasar dan bernada tinggi, setelah itu Lidya tertawa, melompat keluar lalu berlari kencang ke halaman, ia tak peduli tubuhnya beradu dengan kaca jendela. Ia terus berlari dan berlari meninggalkan kami yang tengah mengejarnya sambil berteriak memanggil namanya.

Kami kehilangan jejak, pengejaran kami berhenti di halaman belakang dimana pohon beringin raksasa itu berdiri. Sepasang mata ibuku menatap tajam ke arah pohon tersebut dan terhenti pada sesosok tubuh wanita dengan leher terikat pada salah satu serabut akarnya. Sepasang matanya terbelalak lebar dan kosong, lidahnya terjulur keluar, sepasang mata ibuku basah oleh airmata manakala melihat sudah tak ada lagi tanda-tanda kehidupan di tubuhnya.

Jauh di atas pohon tersebut, sesosok bayangan berdiri pada salah satu daun, sepasang matanya yang merah menatap ke bawah, di sudut bibirnya tersungging senyuman dingin, tipis lagi mengerikan.

( Senin, 24 – Sept – 2018 )

Terpopuler

Comments

Kardi Kardi

Kardi Kardi

subhanallahhh

2022-11-05

0

lihat semua
Episodes
1 P R A K A T A :
2 Bab I - Kosmetik ( Si Pembawa Pesan )
3 Bab II - Kosmetik 2 ( Si Penulis ) - Babak Pertama
4 Bab III - Kosmetik 2 ( Si Penulis ) - Babak Kedua
5 Bab IV - Kosmetik 3 ( Si Pemain Musik ) - Babak Pertama
6 Bab V - Kosmetik 3 ( Si Pemain Musik ) - Babak Kedua
7 Bab VI - Kosmetik 4 ( Si Pelukis )
8 Bab VII - Suster Michelle - Babak Pertama
9 Bab VIII - Suster Michelle - Babak Kedua
10 Bab IX - Aku [ masih ] Hidup - Babak Pertama
11 Bab X - Aku [ masih ] Hidup - Babak Kedua
12 Bab XI - Patung - Babak Pertama
13 Bab XII - P a t u n g - Babak Kedua
14 Bab XIII - A N G E L I C A - Babak Pertama
15 Bab XIV - A N G E L I C A - Babak Kedua
16 Bab XV - Dia Adalah Kekasihku
17 Bab XVI - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Pertama
18 Bab XVII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kedua
19 Bab XVIII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Ketiga
20 Bab XIX - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Keempat
21 Bab XX - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kelima
22 Bab XXI - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Keenam
23 Bab XXII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Ketujuh
24 Bab XXIII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kedelapan
25 Bab XXIV - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kesembilan
26 Bab XXV - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kesepuluh
27 Bab XXVI - K u r i r ( babak pertama )
28 Bab XXVII - K u r i r ( babak kedua )
29 Bab XXVIII - K u r i r ( babak ketiga )
30 Bab XXIX : K u r i r ( babak keempat )
31 Bab XXX : K u r i r ( babak kelima )
32 Bab XXXI : K u r i r ( babak keenam )
33 Bab XXXII : K u r i r ( babak ketujuh )
34 Bab XXVI : Tiga Kisah Hantu Sekolah ( Malam Pertama )
35 Bab XXVII : Empat Kisah Hantu Sekolah ( Malam Kedua )
36 Bab XXVIII : Malam Terakhir
37 Bab XXIX - R i t u a l ( Babak Pendahuluan )
38 Bab XXX - R i t u a l #1 ( Babak pertama )
39 Bab XXXI - R i t u a l #2 ( babak kedua )
40 Bab XXXII - R i t u a l #3 ( babak ketiga )
41 Bab XXXIII - R i t u a l #4 ( babak keempat )
42 Bab XXXIV - R i t u a l #5 ( babak kelima ) [ Tamat ]
43 Bab XXXVI - R I T U A L #6 ( Alternatif Ending )
44 [ Horor ] [ Misteri ] K u r i r ( Babak Kedelapan )
45 [ Horor ] [ Misteri ] K u r i r ( Babak Kesembilan - End )
Episodes

Updated 45 Episodes

1
P R A K A T A :
2
Bab I - Kosmetik ( Si Pembawa Pesan )
3
Bab II - Kosmetik 2 ( Si Penulis ) - Babak Pertama
4
Bab III - Kosmetik 2 ( Si Penulis ) - Babak Kedua
5
Bab IV - Kosmetik 3 ( Si Pemain Musik ) - Babak Pertama
6
Bab V - Kosmetik 3 ( Si Pemain Musik ) - Babak Kedua
7
Bab VI - Kosmetik 4 ( Si Pelukis )
8
Bab VII - Suster Michelle - Babak Pertama
9
Bab VIII - Suster Michelle - Babak Kedua
10
Bab IX - Aku [ masih ] Hidup - Babak Pertama
11
Bab X - Aku [ masih ] Hidup - Babak Kedua
12
Bab XI - Patung - Babak Pertama
13
Bab XII - P a t u n g - Babak Kedua
14
Bab XIII - A N G E L I C A - Babak Pertama
15
Bab XIV - A N G E L I C A - Babak Kedua
16
Bab XV - Dia Adalah Kekasihku
17
Bab XVI - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Pertama
18
Bab XVII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kedua
19
Bab XVIII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Ketiga
20
Bab XIX - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Keempat
21
Bab XX - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kelima
22
Bab XXI - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Keenam
23
Bab XXII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Ketujuh
24
Bab XXIII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kedelapan
25
Bab XXIV - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kesembilan
26
Bab XXV - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kesepuluh
27
Bab XXVI - K u r i r ( babak pertama )
28
Bab XXVII - K u r i r ( babak kedua )
29
Bab XXVIII - K u r i r ( babak ketiga )
30
Bab XXIX : K u r i r ( babak keempat )
31
Bab XXX : K u r i r ( babak kelima )
32
Bab XXXI : K u r i r ( babak keenam )
33
Bab XXXII : K u r i r ( babak ketujuh )
34
Bab XXVI : Tiga Kisah Hantu Sekolah ( Malam Pertama )
35
Bab XXVII : Empat Kisah Hantu Sekolah ( Malam Kedua )
36
Bab XXVIII : Malam Terakhir
37
Bab XXIX - R i t u a l ( Babak Pendahuluan )
38
Bab XXX - R i t u a l #1 ( Babak pertama )
39
Bab XXXI - R i t u a l #2 ( babak kedua )
40
Bab XXXII - R i t u a l #3 ( babak ketiga )
41
Bab XXXIII - R i t u a l #4 ( babak keempat )
42
Bab XXXIV - R i t u a l #5 ( babak kelima ) [ Tamat ]
43
Bab XXXVI - R I T U A L #6 ( Alternatif Ending )
44
[ Horor ] [ Misteri ] K u r i r ( Babak Kedelapan )
45
[ Horor ] [ Misteri ] K u r i r ( Babak Kesembilan - End )

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!