Mobil yang kukendarai menyusuri jalanan-jalanan gelap Desa Banjar, hari yang melelahkan. Candaan konyol teman-teman, khususnya Ratmi hanya sekejab saja menghilangkan rasa jenuh dan lelah itu. Yah, Ratmi adalah sekertaris pribadiku yang dulunya, juga seorang wanita yang kucintai dan kusayangi, tapi, pernikahannya dengan Kevin memupuskan harapanku untuk mengambil dia sebagai isteri, apalagi waktu itu aku adalah seorang pemuda melarat dan bisa dibilang tak punya masa depan / tujuan. Hubungan kami kini hanyalah sebagai teman biasa, dia tetap menarik sekalipun sudah memiliki 3 orang anak. Tadi, aku sempat makan malam bersama dan mengantarkannya pulang. Untuk sesaat aku membiarkan diriku mengenang saat-saat dimana kami bersama. Tapi, mendadak bayangan wajah TRINIL muncul, membuyarkan lamunanku tentang Ratmi. Trinil adalah nama yang kuberikan pada boneka wanita yang telah membantuku menjadi orang yang cukup disegani dan dihormati sebagai seorang seniman eksentrik dan mumpuni.
Detik berikut aku menginjak rem mobil dengan tiba-tiba, di depan seorang wanita berambut hitam panjang tanpa busana berdiri, sementara sepasang matanya menatap tajam ke arahku. TRINIL.
Aku membuka pintu mobil dan berjalan menghampiri sambil bertanya, "Hei, apa yang kau lakukan di tempat ini ?"
Wanita itu tak menjawab, airmukanya menunjukkan rasa tidak suka, belum pernah kulihat dia bersikap seperti itu, "Apa yang terjadi ?" tanyaku lagi sambil melepas jaket kulitku untuk kemudian kupakaikan pada tubuhnya, "Pakailah ini, angin malam tak baik untuk kesehatanmu,"
Mendadak tangan Trinil mencengkeram kemejaku dan menarikku keras-keras, hingga hidung kami nyaris bertabrakan.
Cukup lama kami berdiri berhadap-hadapan, dia mengamatiku dalam-dalam seakan hendak menembus kulit dan daging pada wajahku, lalu dia berkata dengan dingin, "Jika sampai aku melihatmu berduaan dengan wanita lain selain aku ... aku akan membunuhnya," setelah itu ia mencampakkan kemejaku lalu berjalan menjauhiku.
"Hei, kemarilah ..." kataku sambil menarik lengannya lalu bersama-sama masuk ke dalam mobil. Trinil tetap diam, aku bisa melihat dengan jelas dari pancaran matanya, DIA CEMBURU. Aku tersenyum, "Trinil, aku dan Ratmi hanya berteman saja, lagipula dia sudah menikah, bagaimana pendapat orang nanti tentangku,"
Trinil tetap tak bersuara, sepasang matanya menerawang jauh dan aku semakin bingung bagaimana harus meyakinkannya, "Jangan seperti itu, bicaralah," pintaku. Baru saja kututup bibirku, HP berbunyi, Ibu menelepon, "Hallo ..." kataku.
Di seberang sana, kudengar isak tangis ibuku dan wajahku berubah manakala mendengar kata-katanya. Secepat kilat kuinjak pedal gas dan mobilku meluncur kencang menerobos kabut yang mulai turun dan membuat jalanan semakin gelap dan dingin. Aku memutar mobil ke arah yang berlawanan dengan arah rumah, kami menuju ke rumah Lik Dar.
_____
Halaman rumah Lik Dar sudah dipenuhi orang. Ibuku dan sanak familiku sudah berkumpul disana. Mereka semua melantunkan doa-doa orang meninggal. Yah, Lik Dar meninggal. Dokter tidak bisa menentukan apa penyebab kematiannya.Saat aku melihat jenazahnya di halaman belakang, beliau tampak seperti sedang tidur, ada sedikit senyum di wajahnya. Beliau tampak tenang dan damai. Aku teringat bagaimana aku merawatnya, aku teringat pesan-pesannya sewaktu beliau masih hidup, itulah yang membuat hatiku seakan-akan disayat-sayat sembilu, tanpa terasa mataku basah oleh airmata.
"Tidak ada waktu untuk berduka, Den Bagus ..." mendadak terdengar suara dari samping kiriku. Buru-buru aku menoleh, seorang pria paruh baya mengenakan pakaian putih berdiri menatapku, "Siapakah Anda ? Bagaimana kau bisa tahu namaku, sedang, aku tak mengenalmu ?"
Pria tua itu tersenyum, "Sebenarnya, aku sudah mengenalmu sejak kau pindah di Desa Banjar ini. Aku adalah salah satu daripada para tetua desa ini. Jadi, semua yang terjadi di desa ini aku tahu semua. Jika selamanya kau menyimpan boneka dalam saku kananmu itu, maka, akan jatuh korban lebih banyak lagi, termasuk dirimu sendiri,"
Aku tersentak, "Jadi ... Anda sudah mengetahuinya ? Bagaimana bisa demikian ?"
"Ceritanya panjang sekali. Tapi, itu adalah urusan keluarga kami, jadi, biarkan kamilah yang akan menyelesaikannya sendiri tanpa melibatkan orang-orang di sekitar kami. Kemarikan boneka itu, biar kumusnahkan saja," jelas laki-laki tua itu dengan nada bersungguh-sungguh.
"Aku takkan memberikan boneka ini pada siapapun juga, aku akan menjaga dan melindunginya sebagaimana dia telah menjaga dan melindungiku,"
"Den Bagus... jangan keras kepala. Apakah kau akan membiarkan korban-korban berjatuhan untuk kesekian kalinya ? Mana ... mana boneka itu, berikan padaku,"
"Tidak ! Siapapun kau dan sekalipun berniat baik, toh, semua yang meninggal akibat kesalahan mereka sendiri. Lagipula, dia takkan menggangguku dan kalaupun kuberikan boneka ini, takkan mampu menghidupkan mereka lagi. Sebaiknya, kau segera pergi meninggalkan tempat ini,"
"Hmm, jadi kaupun sudah tahu, bahwa boneka itu bisa menebar petaka ? Maka, aku akan memusnahkan boneka itu dengan caraku sendiri," sambil berkata demikian laki-laki itu mengangkat tangan kanannya dan pada saat itulah aku merasakan saku kanan celana panjangku terbakar dan mengepulkan asap tipis merah kehitaman diiringi rintihan perlahan. Akupun merasakan boneka itu bergerak-gerak hendak terlempar keluar, buru-buru, aku memasukkan tanganku ke dalam saku, niatku untuk membuat boneka itu tetap berada di saku tapi, kejadian itu begitu cepat, aku merasakan tanganku memegang debu. Boneka itu sudah hancur dan entah mengapa aku juga merasakan sebagian diriku hancur.
Tak bisa kulukiskan perasaanku saat itu. Aku hanya menatap tajam ke arah laki-laki itu. Jari telunjuk kananku menuding lurus ke wajahnya lalu berkata, "Penampilanmu saja seperti orang suci, tapi, sikapmu buruk sekali. Trinil hanya membunuh orang-orang yang semasa hidupnya bergelimang darah dan dosa Tak pernah menjamah ataupun mengganggu orang lain. Trinil masih lebih baik darimu !! Kelak, kau akan mendapat karmanya, Pak Tua !!!" setelah berkata demikian aku melangkah meninggalkan orang tua. Dia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil sesekali menahan nafas, "Kau tak mengerti Den Bagus," itulah kata-kata terakhir yang kudengar darinya tapi, aku tak peduli. Aku benar-benar marah dan gusar tapi, mau kulampiaskan pada siapa ?
_____
Kanvas setinggi orang dewasa itu kosong, sekosong hati dan jiwaku. Tangan kanan yang memegang kuas bergetar hebat, kugigit bibirku keras-keras, aku tak peduli betapa sakitnya saat gigi-gigiku ini menggigit bibir. Aku tak peduli darah merembes dari luka akibat gigitan itu. Kupejam mata ini dan mengingat kembali saat-saat Trinil masih di sisiku. Tanpa sadar tangan-tangan ini bergerak, menorehkan warna-warna gelap ke permukaan kanvas kosong itu, sesekali mata ini melirik ke arah jendela kamarku, disitulah Trinil duduk sambil memandang ke arah halaman belakang rumahku dan aku berharap ia ada disitu saat aku melukis. Tapi, yang ada hanyalah kehampaan. Seandainya angin malam yang turun dari kaki-kaki bukit mampu menghilangkan kekosongan dan kehampaan ini akan lebih baik, tapi, itu adalah harapan yang semu.
Trinil sudah pergi, dia takkan kembali lagi dan aku hanya bisa melukis segala sesuatu yang dimilikinya : Wajah, tubuh, senyum dan saat terakhir ia marah padaku. Kenangan indah juga kenangan pahit bercampur menjadi satu kupadukan dengan warna-warna yang ada di permukaan kanvas hingga akhirnya lukisan itu kuselesaikan. Sebuah lukisan seorang wanita cantik berdiri di antara bayangan pepohonan yang rimbun, ia tersenyum padaku. Kupandangi lukisan itu lekat-lekat, setelah membereskan alat-alat lukisku... aku melangkah ke halaman belakang.
Langkahku terhenti di hadapan sebuah pohon kayu jati yang sudah lama mati, perlahan-lahan tangan-tanganku bekerja... mengukir dan memahat sementara imajinasiku mengarah pada wajah Trinil berikut segala yang dimilikinya. Aku tak peduli hari berganti hari, tak peduli potongan-potongan kayu dan serat-seratnya bercampur aduk dengan rambut, baju, kulit dan tubuhku. Aku tak peduli keringat dan debu menyelimutiku, tak peduli langit terang ataupun gelap, tak peduli haus dan lapar serta luka-luka pada jari-jemari yang kian melebar juga darah membasahi peralatan ukir dan pahatku.
Aku berhenti bekerja saat di hadapanku berdiri sebuah patung wanita cantik jelita. Aku tersenyum, "Trinil... kau sudah kembali berada di sisiku. Kini tak seorangpun bisa menghancurkanmu dan aku akan selalu menjaga dan melindungimu disini, SELAMANYA," desahku perlahan. Samar-samar aku melihat patung itu bergerak, ia tersenyum manis kepadaku sambil berkata, "Terima kasih. Mari kita pergi dari sini, sayang ...." ia mengenggam erat tanganku. Aku menganggukkan kepala, "SELESAILAH SUDAH," kataku.
( 19 - Sept -2018 )
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Kardi Kardi
hmmmm. over the gameee
2022-11-01
0