Berjalan menyusuri lorong – lorong bangunan berlantai 3, dengan tatapan kurang enak plus celoteh miring orang - orangnya, membuatku merasa tak nyaman sekali. Aku harus segera enyah dari kantor busuk dan celaka ini. Semula besar harapanku untuk menerbitkan beberapa karya tulis di Star Image Building ini, tapi, Mbak Lis kepala redaktur yang juga sebenarnya adalah sanak familiku menolaknya dengan kata – kata yang menyakitkan.
“Karya tulismu itu buruk sekali ! Justru akan membuat citra tabloid STAR kita buruk. Aku yakin tak ada penerbit yang mau menerimanya !! Pergilah, dan jangan pernah kembali lagi !!!” itu adalah salah satu dari sekian banyak kata-kata yang pernah dilontarkan redaktur wanita muda, genit dan sombong itu. Jika aku tak melihat bahwa sebenarnya dia adalah saudaraku ... mungkin, dia sudah kupukuli habis-habisan.
Aku terus berjalan hingga akhirnya tiba di luar gedung. Mataku menyapu ke segala penjuru deretan gedung-gedung pencakar langit itu. Gedung tempat Lis bekerja diapit oleh beberapa gedung megah dan menantang langit, jika dibandingkan dengan STAR IMAGE BUILDING, gedung-gedung pengapit itu lebih mewah dan lebih besar, “Cepat atau lambat ... Star Image Building bakal kehilangan pamornya. Diantara sekian banyak kantor penerbit itu ... masa sih tidak ada yang mau menerbitkan cerita-cerita yang kutulis ?” aku mencoba untuk mengembalikan kepercayaan dan harga diriku yang sudah dihancurkan oleh si Lis itu.
Tempat parkir kendaraan, akhirnya sampai juga. Honda Civic buntutku kebetulan diparkir tak jauh dari pintu keluar, tanpa banyak pikir lagi aku segera masuk dan menyalakan mesin, sedetik kemudian deru mesin, bunyi roda melindas badan jalan menghantarkanku meninggalkan tempat Lis bekerja diiringi alunan musik bernada sedikit metal menggetarkan seluruh speaker mobil. Semoga saja bisa menyingkirkan kesal di hati ini.
STAR IMAGE BUILDING, sudah tertinggal jauh di belakang demikian pula gedung-gedung lain yang pernah kumasuki. Saat langit bagian Barat memerah, baru roda-roda mobilku berjalan memasuki halaman rumahku. “Benar-benar hari yang melelahkan,” keluhku, “Apa yang salah sich dari cerita yang kutulis ini ?” aku terus mengeluh hingga sepasang mataku melihat ada sebuah mobil lain di parkir di halaman rumah.
Dari dalam rumah muncul seorang wanita cantik berlari dan menghampiriku, “Hai, Intan .... apa kau sudah lupa denganku ? Bagaimana kabarmu ?” tanyanya sambil memelukku erat sekali.
TARA. Aku balas memeluknya, hilang sudah segala-gala yang membuatku stress, frustasi, putus asa gara – gara Si Lis itu. Kedatangan TARA, sahabat karib semasa masih SMP yang mendadak itu benar-benar menghiburku. Aku memang merindukannya, setelah kami lulus dari SMP, dia melanjutkan sekolah di kota yang sangat jauh... kami jarang telepon atau berkirim surat. AKU BENAR-BENAR MERINDUKANNYA.
Untuk sesaat kami berpelukan erat, lalu bersama-sama melangkah masuk ke dalam, “Tanpa kacamata, kau benar-benar terlihat cantik Tara... aku benar-benar pangling. Kau sekarang ada dimana ? Apa kerjamu ?” aku menghujani sahabatku itu dengan banyak pertanyaan, tanpa sadar dia telah kubuat bingung karena memang aku benar-benar merindukannya.
“Kau ini tak berubah, Intan .... bagaimana caranya aku menjawab semua pertanyaanmu itu... santai saja, sayang ... aku sudah minta ijin ke orang tuamu untuk menginap di rumahmu 2 atau 4 hari ke depan. Jadi, santai saja masih banyak waktu, kok,” ujar Tara. Dia tetap lemah lembut seperti dulu, dia tidak berubah. Tapi, yang jelas nasibnya lebih baik daripadaku, terlihat dari kendaraan yang dikendarai juga penampilannya yang anggun dan mempesona. Sial, dari dulu TARA memang cantik ... aku jadi iri, tapi, karena itulah akhirnya kami saling mengisi dan bertukar pikiran. Siapapun yang jadi suaminya, dialah orang yang paling beruntung.
_____
Tara. Dia memiliki hobby yang sama denganku : MENULIS CERITA. Tapi, nasibnya memang lebih baik dariku. Beberapa novel yang ditulisnya menjadi BEST SELLER, banyak penerbit yang memuat karya-karyanya. Sekalipun menganggur, uang datang dengan sendirinya. Padahal aku tahu sendiri ... cerita yang kutulis justru lebih bagus darinya.
“Apa yang menyebabkan karya tulismu diminati banyak orang, Tara ?” tanyaku.
“Entahlah, padahal seperti yang sama-sama kita tahu, kau lebih berbakat daripadaku. Kudengar, karya tulismu selalu ditolak mentah-mentah oleh kantor penerbit, bukan ? Untuk itulah aku datang ke rumahmu ini ... aku ingin membantumu,” kata Tara setengah berbisik, “Aku ingin kita sama-sama jadi orang-orang sukses,” sambungnya.
Dasar, Tara ... dia selalu energik dan tingkah lakunya benar-benar membuatku tak bisa menolak semua ide dan gagasan-gagasannya. Terlebih lagi saat ini, dimana karya-karya tulisku ditolak hampir di semua kantor penerbit.
“Bisa kau ceritakan ide-ide gilamu itu, Tara ...” pintaku.
Tara menghela nafas panjang, “Kau tahu ... dulu aku juga pernah mengalami nasib serupa denganmu. Tapi, setelah bertemu dengan Ki Lewu ... karirku mulai menanjak, dan inilah hasilnya. Untuk itu, aku ingin mengajakmu menemui Ki Lewu ... siapa tahu dia bisa memberimu saran / pendapat. Bawalah serta beberapa hasil karya tulismu kepadanya,”
“Hmm... melihatmu seperti ini, aku jadi penasaran seperti apa Ki Lewu itu orangnya. Kapan kita bisa menemuinya ? Apakah rumahnya jauh ?”
“Bagaimana kalau besok ? Kita berangkat dengan mobil mercy-ku,”
“Baiklah, tapi ... mobil mercy itu terlalu boros, solarnya saja ....”
“Jangan khawatir, sayang ... kalau ada aku semuanya akan beres. Semua biaya aku yang tanggung... tapi, kalau kau sudah menjadi orang sukses nanti, gantian, ya ?!” goda Tara sambil tertawa.
Keesokan harinya, kami berdua berangkat menuju ke Kota Banyuwangi, seumur hidup, baru pertama kali ini merasakan nyamannya naik mobil yang tergolong mewah. Banyak sekali cerita atau mitos mengenal hal-hal yang sulit diterima oleh akal sehat. Demikian pula mengenai panorama alam juga lingkungan sekitar Banyuwangi yang kala itu masih belum banyak bangunan-bangunan pencakar langit seperti di kota-kota besar lain, sebagian kota Banyuwangi masih banyak tanaman liar dan tumbuh lebat di tepi jalan. Sejauh mata memandang yang ada hanyalah pematang sawah hijau lagi subur dengan latar belakang gunung dan perbukitan.
Hingga akhirnya, tibalah kami pada sebuah jalan setapak dan berhenti di sebuah tanah lapang. Sayup-sayup telingaku mendengar seperti bunyi deburan air terjun, “Kita sudah sampai di Glagah,” kata Tara sambil keluar dari mobil, sepasang matanya menatap ke lereng-lereng pegunungan hijau dan tinggi, aku ikut turun dan bunyi deburan air terjun itu terdengar makin jelas, “Lho, katanya kita mau ke rumah Ki Lewu ? Kok berhenti disini ?” tanyaku. Tara menaruh telunjuk kanannya ke bibirnya yang merah muda, isyarat bagiku untuk berhenti berbicara. Aku menurut, kutarik nafas dalam-dalam, kupenuhi rongga dadaku dengan udara sejuk itu, “Ah, lega rasanya,” aku menghembuskan nafasku perlahan sambil memandang ke arah Tara yang masih sibuk menggerakkan tangan, pinggang dan kepala setelah itu berkata, “Jangan buru-buru, sayang .... coba pasang telingamu baik-baik .... apa yang kau dengar ?”
“Bunyi air terjun,” kataku.
“Benar. Apakah kau bisa melihat pemandangan air terjun di depan sana ?”
Aku bisa melihat ke arah yang ditunjuk oleh Tara dan disana terdapat pemandangan yang cukup indah. Diantara bukit-bukit berbatu, aku melihat aliran air yang cukup deras, ternyata bunyi yang kudengar berasal dari sana.
“Itu adalah salah satu air terjun yang menjadi tempat wisata di kota Banyuwangi ini. Namanya : AIR TERJUN JAGIR. Sebuah tempat yang dianggap sakral oleh penduduk di Kampung Anyar ini, dan apa kau bisa melihat tak jauh dari air terjun itu ada sebuah gubuk ?”
“Yah, aku melihatnya,”
“Disitulah Ki Lewu tinggal. Beliau adalah salah satu juru kunci tempat ini. Kita tidak bisa ke sana dengan mengendarai mobil, kita harus jalan kaki,” Tara menjelaskan.
“Kalau memang harus demikian, mengapa kau tidak memarkirkan mobilmu di tempat terdekat ? Apakah tidak takut kalau mobilmu dicuri orang ?” tanyaku.
Tara tersenyum manis, “Jangan khawatir, di tempat ini bisa dibilang aman. Lagipula, hanya orang bodoh dan nekad saja yang berusaha mencurinya. Ayo kita berangkat,” ajaknya. Kamipun mulai melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki. Kami melewati jalanan terjal dan agak curam juga licin, angin yang membawa butiran-butiran air yang memercik dari air terjun membuatku menggigil kedinginan. Semula aku mengeluh karena harus melewati tebing-tebing karang yang benar-benar membuatku ngeri tapi, tekadku mengalahkan hawa dingin tersebut.
Setelah berjalan lebih kurang setengah jam, sampailah kami di gubuk Ki Lewu. Aku dihadapkan kepada sebuah pemandangan alam yang mempesona, air terjun jagir yang terletak di Dusun Kampung Anyar, Desa Taman Suruh, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi ini. Selain terdiri dari 3 buah air terjun kembar di lokasi yang sama, airnya dingin dan jernih. Menurut Tara, air terjun ini berasal dari sumber yang berbeda-beda. Hijaunya tanaman-tanaman yang tumbuh di sekitar air terjun itu, membuat rasa letih yang sempat menderaku selama perjalanan dari Malang hingga ke tempat ini lenyap begitu saja.
Dari dalam gubuk Ki Lewu, hidungku mencium bau wangi-wangian dan saat memasuki ruangan, aku merasakan kedamaian, kenyamanan dan ketenangan. Pada dinding-dinding ruangan yang terbuat dari anyaman bambu itu tergantung benda-benda pernak-pernik seperti benda pusaka dan lukisan-lukisan indah. Semuanya diatur begitu rapi dan bersih. Hanya satu yang membuat bulu kudukku berdiri, yakni : sebuah meja yang kecil dengan berbagai jenis sesajen juga dupa yang masih menyala. Angin berhembus perlahan membuat kepulan asap dari dupa itu menyebar ke segala penjuru ruangan, seketika itu bau harum kembali tercium.
“Selamat siang, Ki... ini Tara dari kota Malang datang berkunjung bersama Intan teman saya. Apakah Ki Lewu ada di rumah ?” Tara memberi salam, suaranya menggema. Beberapa saat kemudian, seorang laki-laki paruh baya mengenakan pakaian batik berwarna merah muncul dari dalam. Laki-laki itu membawa tongkat setinggi dada, “He... he... he... saya kira siapa yang datang ternyata kau TARA,” katanya sambil menyalami kami berdua, “Bagaimana kabarmu, nak ?”
“Baik-baik saja, Ki... “ jawab TARA sambil memperkenalkanku, “Dia ini bernama Intan, Ki ... sahabat karibku yang pernah kusebut-sebut beberapa waktu yang lalu,”
Aku menganggukkan kepala, “Intan, Ki ... senang bertemu dengan Anda,”
Ki Lewu menatapku dalam-dalam, sepasang matanya yang sedikit tersembunyi di balik alis putih dan lebat itu membuatku salah tingkah. Sesaat kemudian dia kembali berkata, “Nasibmu sama persis dengan Tara keponakanku ini. Yah, selain nasib ... watakmu sama. Tapi, kau lebih keras dibanding dia, duduklah, nak,”
Ucapan Ki Lewu ini benar, sekalipun sedikit tersinggung, tapi, aku diam-diam mulai menaruh simpatik padanya. Setelah kami duduk di lantai beralaskan tikar pandan, kamipun terlibat dalam pembicaraan dan Ki Lewu memegang kunci dari pembicaraan itu.
Heran, tanpa bercerita keperluanku datang ke rumahnya, Ki Lewu sudah mengetahui semuanya dan saat kami hendak pulang, ia menyerahkan sebuah kotak kecil kepadaku, “Nak Intan ... di dalam kotak ini tersimpan berbagai macam alat rias wajah. Memang tidak bagus, tapi, ini bisa membantumu pergunakanlah secara bijak. Jangan serakah, sebab, buahnya malah tidak baik. Mudah-mudahan ini bisa membantumu mencapai apa yang kau cita-citakan. Kalau kau tidak tahu cara memakainya, minta tolong Tara untuk membantumu,”
Sekalipun heran, aku menerimanya, aku tak tahu bagaimana cara memakai kosmetik, sebab, seumur hidup, aku tak pernah menggunakannya. Selesai makan siang dan mengucapkan terima kasih, kami segera meninggalkan tempat indah itu.
_____
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Kardi Kardi
hmmmm. nice storyyy😇
2022-10-19
0