Bab XI - Patung - Babak Pertama

"Bbrruuaakk !"

Sepedaku menabrak pembatas jalan yang terbuat dari semen cor. Stangnya patah, mustahil bisa digunakan lagi padahal perjalanan menuju rumah Lik Dar masih cukup jauh.

Biasanya jalanan ini sepi terlebih menjelang fajar seperti ini. Tapi, entah mengapa ada seorang laki-laki tua, bongkok mengenakan camping tidur sembarangan di tengah jalan.

"Anak muda, kau tidak apa-apa, bukan? maaf kakek sekedar melepas lelah di tempat ini, karena jarang dilewati kendaraan. Kakek sudah berjalan seharian hendak menuju rumah cucu kakek yang berada di desa sebelah,"

kata laki-laki tua itu sambil tersenyum ramah.

Aku mendongkol sekali melihatnya tidur sembarangan, tapi, sapaan ramah dan lemah lembut darinya, membuatku iba. "Tidak apa-apa, kek... kakek sendiri apakah baik-baik saja,"

"Tidak apa-apa, den... tapi, sepertinya sepedamu rusak parah dan tampaknya kau tergesa-gesa sekali,"

"Sepeda masih bisa diperbaiki, kek...

yang penting, kakek tidak apa-apa," kataku sambil tertawa tawar.

"Namamu, Den Bagus, ya ? Kakek tidak punya apa-apa untuk mengganti sepedamu itu. Tapi, kakek punya sesuatu buatmu," sambil berkata demikian, orang itu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah batu seukuran 2 jari jempol orang dewasa. Aroma harum bunga melati, menggelitik hidungku saat benda itu disodorkan.

"Apa ini, kek ?" tanyaku sambil mengamati benda tersebut. Aku bisa melihat dengan jelas... batu pualam. Namun, setelah berpindah ke tanganku, batu tersebut mendadak berubah menjadi sebuah boneka. BONEKA SEORANG WANITA CANTIK.

Kakek bongkok itu tersenyum, "Kita bertemu di tempat ini, itu artinya berjodoh.... berjanjilah pada kakek, benda itu sangatlah berharga, memang tidak semahal sepedamu, tapi, jika kau bisa merawat dan memperlakukannya dengan baik, maka, keberuntungan senantiasa menyertaimu, sebaliknya, jika kau mengabaikannya... benda itu bisa mencelakakanmu juga orang-orang di sekitarmu,"

"Baiklah, kek... tapi, jika benda ini sangat berharga, mengapa kakek memberikannya padaku?" tanyaku.

Tak ada jawaban. Aku tersentak, kakek itu sudah hilang dari pandanganku. Apakah aku berhalusinasi ? Tidak. Kakek itu tadi benar-benar ada di hadapanku, tapi, sekarang... kemana perginya? Dan, sepeda... sepedaku tiba-tiba saja sudah berada tak jauh dari tempatku berdiri dan tidak ada kerusakan yang berarti... padahal tadi aku dapat melihat dengan jelas... stangnya patah jadi dua... tapi, kini sudah menyambung lagi dan terlihat seperti baru. Apa sebenarnya yang terjadi ? Siapakah kakek itu ? aku tak mengenalnya, tapi dia mengenalku...

_____

Lik Dar terbaring lemah di pembaringannya, wajahnya pucat bak kertas, senyumnya, senyum penuh keputusasaan saat melihatku masuk.

Aroma busuk tercium, lalat-lalat beterbangan mengerubuti sehelai kain Kumal pada punggung kaki kirinya.

Sudah 3 tahun ini, diabetes menggerogoti Lik Dar. Para dokter sudah tak mampu menanganinya, vonis masa hidupnya tidak kurang dari 2 bulan lagi. Tapi, semangat hidup beliaulah yang memaksanya bertahan hingga saat ini. Dan setelah isterinya meninggal, akulah yang merawat dan menjaganya sekalipun jarak antara rumahku dengan rumahnya jauh.

"Le ...." sapa Lik Dar lemah, "Sebenarnya, kau tak perlu melakukan ini setiap hari, lebih baik kau urus saja bapak-ibumu. Mereka seharusnya yang lebih diperhatikan,"

"Tidak apa-apa, Lik..." kataku sementara tangan bekerja cepat mengganti kain penutup luka, membersihkan lukanya yang senantiasa mengeluarkan nanah, "Lik sudah banyak membantu keluarga kami, maka, inilah yang bisa kulakukan untuk membalas budi baik Lik... saya berharap, Lik segera sembuh dan beraktivitas lagi seperti dulu," sambungku.

Mendadak, angin berhembus perlahan, sayup-sayup terdengar suara, "Sudah dilakukan," aku tersentak, mencari-cari darimana asal suara itu. Di rumah ini cuma ada aku dan Lik Dar saja, tak ada orang lain lagi.

"Lik, apakah Lik mendengar sesuatu?" tanyaku.

"Aku tak mendengar apa-apa, le ?! Memangnya, kau mendengar apa?" tanyanya.

"Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Tapi..." kataku.

Lik Dar bangun dari tempat tidurnya ... wajahnya yang semula pucat seperti kertas, mendadak berubah menjadi ceria dan perlahan-lahan bau busuk yang masih tercium dari luka pada kaki-kaki pamanku itu lenyap. Kain yang membalut luka dan tadi bercampur nanah mengering. Kain itu kembali ke asalnya kain bersih dan kering.

"Le, apa Lik sedang bermimpi ?" tanya Lik Dar.

"Ada apa, Lik ?"

Lik Dar tidak menjawab melainkan bangun dan berjalan kesana-kemari memutari pembaringan. DIA SUDAH SEMBUH. "Tidak mungkin ..." kataku dalam hati, hampir seluruh dokter mengatakan bahwa hidup Lik Dar tinggal 1 minggu lagi... tapi, jika melihat kenyataan ini... yah, dia sudah sembuh. Penyakitnya hilang entah kemana.

Lik Dar tertawa, "Terima Kasih gusti pangeran, terima kasih ... tak tahu bagaimana aku harus membalas semuanya ini," katanya sambil melompat kegirangan, ia kemudian menatap ke arahku, "Le... bilang sama ibumu, Lik Dar sudah sembuh dan bisa membantunya bekerja lagi," Kubiarkan tanganku dicengkeram keras-keras olehnya, "Ba ... baik, lik..." kataku singkat setelah cukup lama bengong dan akupun pamit pulang sambil membawa sejuta pertanyaan yang mungkin belum bisa terjawab untuk saat ini.

_____

Aku kembali mengendarai sepeda, menyusuri jalanan berbatu yang telah kulewati saat hendak menuju ke rumah Lik Dar. Mendadak saja wajah kakek tua itu terbayang juga benda pemberiannya. Saat tiba di sebuah pematang sawah yang hijau, kuhentikan laju sepedaku dan duduk di tempat yang kuanggap enak untuk beristirahat / melepas lelah. Pada pematang sawah itu terdapat anak sungai berair jernih dan berarus tenang. Mataku menerawang jauh dan tanpa sadar tangan kananku merogoh saku dimana boneka pemberian kakek aneh itu tersimpan.

Aku terkejut, boneka itu tidak ada di tempatnya, "Astaga, dimana boneka itu terjatuh," seruku sambil mencarinya di sepanjang jalanan. Tidak ada. Bagaimana bisa hilang ? Aku kebingungan. Sayup-sayup terdengar suara tawa riang seorang wanita. Suara itu tak jauh dari tempatku berdiri, menggelitik rasa penasaranku dan perlahan-lahan menghampirinya.

Diantara kilauan cahaya keperakan mentari senja, di dalam air sungai bandayuda yang berarus tenang dan jernih ... sepasang mataku melihat seorang wanita cantik tengah berendam sambil memercikkan air sungai ke wajahnya. Sebagian air membasahi rambutnya yang panjang, hitam dan berombak, sebagian lagi mengalir membasahi tubuhnya yang telanjang dan berkuning langsat. Dalam keadaan seperti itu dia bagaikan seorang bidadari berselimutkan mutiara, menebarkan pesona siapa saja yang memandangnya termasuk diriku yang masih lajang dan sudah berkepala tiga. SEMPURNA, untuk seorang wanita itu menurutku.

Lama sudah aku mengamatinya dan dia seakan tidak peduli, hingga akhirnya percikan air mendarat di wajahku, membuyarkan semua lamunanku tentang wanita asing itu. "Den Bagus, daripada kau duduk sendirian disitu, kemarilah temani aku mandi dan bermain-main di dalam air yang jernih ini," katanya sambil tertawa. Aku melamun hingga mendengar suara lembut dan manja itu untuk kesekian kali, "Den Bagus. Apa yang kaulamunkan ? Kemarilah, temani aku," aku segera tersadar dengan pemandangan di depanku, buru-buru aku membuang muka sebab, seumur hidup baru kali ini aku melihat seorang wanita asing mandi telanjang di tempat terbuka seperti itu. Biasanya wanita-wanita atau gadis-gadis di daerah Banjar ini kalau mandi di sungai, mereka mengenakan sehelai kain, paling tidak untuk menutupi bagian kewanitaannya, sehingga tak mengundang bencana.

Kututup wajahku dengan tangan, tapi, bayangan wanita itu tak bisa menghilang begitu saja dan telinga ini mendengar suara cekikikan, "Den Bagus... " kembali wanita itu menyapa kini suaranya semakin lama semakin dekat hingga aku merasakan pakaian pada bahu kananku basah. Kualihkan pandanganku dan jari-jemari lentik yang indah serta mulus tengah memegang bahuku itu, mau tak mau aku menoleh dan wanita itu sudah berada tepat di hidungku. Wajah wanita itu benar-benar cantik, aku pernah bertemu dengan wanita itu ... tapi, dimana,ya ? Untuk sesaat aku mencoba mengingat-ingat.

Akan tetapi, sebuah suara mengejutkanku dari arah lain, "Kamu Den Bagus, kan ? Apa yang kau lakukan di tempat ini sendirian apalagi saat hari menjelang petang seperti ini,"

Aku menoleh, seorang laki-laki setengah baya berdiri sambil membawa sebuah cangkul yang masih basah dengan tanah berlumpur juga rumput di bahu kanannya. "Kang Iwan..." aku berjalan menghampirinya, "Sebenarnya, saya hendak mencari barangku yang terjatuh tapi ... " aku merogoh sakuku dan tanganku seperti memegang sebuah benda, "Yah... tampaknya sudah ketemu," sambungku meski ada rasa heran.

"Kalau begitu ... cepatlah pulang. Tahukah kau, itulah yang oleh penduduk desa ini terkenal keangkerannya, apalagi di malam jum'at legi seperti ini,"

"Baik, kang... sekarang juga aku akan pulang. Terima kasih," kataku sambil meraih sepedaku yang diparkir tak jauh dari situ, sepeda kujalankan dan kembali menyusuri jalanan berbatu dan bersamaan dengan itu kang Iwan juga buru-buru meninggalkan tempat itu.

Sepeda terhenti manakala di depan ada iring-iringan penduduk desa, aku mengenal semuanya termasuk 6 orang yang berjalan paling depan, mereka memanggul peti sambil melantunkan ayat-ayat suci al qur'an. Pada barisan belakang, Neng Didien, Neng Irul dan Neng Lastri tampak tengah mengenakan pakaian adat desa kami kebaya dan rambutnya disanggul, ada 2 helai bunga kamboja terselip pada telinga mereka. Tampaknya mereka bertugas sebagai pendamping keluarga orang yang meninggal.

"Neng Didien, siapa yang meninggal ?" tanyaku.

"Lik Tar, Kang ... dia meninggal. Jatuh terpeleset di kamar mandi, kami akan memakamkannya malam ini di TPA Banjar. Apa akang tidak ikut menghantarkannya ke sana ?" ujar Neng Didien.

"Lik Tar ?" tanyaku, "Baiklah, kalian pergilah dulu setelah itu aku menyusul, mungkin aku akan ikut tahlil di rumahnya," aku kembali mengayuh sepedaku. Lik Tar, sebenarnya dia adalah bekas Kepala rampok, tapi, sudah menjalani hukuman penjara selama lebih kurang 5 tahun. Begitu bebas, ia bertobat menjadi guru dakwah, tapi, menurutku dakwahnya terlalu berlebihan dan monoton serta menonjolkan keegoannya padahal belum tentu diterima semua orang.

Kejadian sepanjang hari ini, membuatku banyak melamun : kakek aneh, sembuhnya Lik Dar secara tiba-tiba, menghilangnya patung / boneka lalu kembali kutemukan, pertemuanku dengan wanita misterius yang mandi di sungai ... ah, masih banyak pertanyaan yang tidak bisa terjawab. Tapi, jika aku membicarakan dengan orang lain, bisa-bisa dianggap gila.

_____

Malam mulai larut, kabut-kabut tipis yang dibawa oleh hembusan angin malam merayap, merasuk ke dinding-dinding kamarku. Bunyi serangga malam diiringi dengan gesekan ranting dan daun pohon bambu yang tumbuh lebat di halaman belakang, bagaikan gesekan alat-alat musik yang dimainkan oleh dewa-dewi di Khayangan, membuat suasana begitu tenang dan damai. Seperti biasa kubuka jendela kamarku dan kubiarkan angin malam berhembus perlahan menerpa wajahku. Aku berharap angin dan kabut malam itu membawa pergi semua kejenuhan yang selama ini senantiasa membayang-bayangiku, tapi, tidak mampu menghapus semua peristiwa yang terjadi sepanjang siang tadi.

Lagi. Baru saja aku menutup mulutku, terdengar suara seorang wanita, kali ini suara itu benar-benar dekat denganku, "Apakah kau yakin dengan ucapanmu itu, Den Bagus ?" bersamaan dengan itu, angin berhembus kencang, boneka itu perlahan-lahan berubah menjadi butiran-butiran debu yang bergulung-gulung menjadi satu, melayang, berputar-putar di udara dan membentuk sesosok tubuh seorang wanita cantik tanpa busana, detik berikut dia sudah berdiri tepat di hadapanku, ia tersenyum manis dan membuatku tak bisa berkata apa-apa.

Melihat sikap kikukku, wanita itu balas menatapku dengan tatapan tajam menusuk, "Benarkah apa yang kau katakan itu, Den Bagus ?" tanyanya setengah mendesak.

"Apa maksudmu ?" tanyaku.

"Benarkah, kau hendak mengambilku sebagai isteri?"

Aku bingung harus menjawab apa, tapi, harus kuakui dia memang seorang wanita yang cantik jelita, dia adalah salah satu tipe wanita kesukaanku.

Wanita itu terus-menerus menatapku, hingga tanpa sadar bibirku terbuka dan kata-kata inilah yang keluar dari bibirku, "Ya. Aku tak mau menyangkalnya,"

Wanita itu tersenyum simpul, lalu mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan. Wajahku memerah, malu melihat keadaan kamarku ini, terlebih seorang wanita asing. Buru-buru aku meraih sebuah kain dan kulampirkan pada bahunya, "Udara dingin malam ini, kenakanlah kain ini untuk menghangatkan badanmu. Besok akan kucarikan pakaian yang cocok untukmu," kataku. Wanita itu tidak peduli, sepasang bola matanya seakan berputar, mengamati lukisan yang tergantung pada dinding kamarku, "Apakah lukisan-lukisan ini kau yang membuatnya ?" tanyanya.

"I... Iya, aku selalu menghabiskan waktuku dengan melukis, tapi, selama ini tak ada yang mempedulikannya," jawabku.

"Maksudmu, kau ingin semua lukisan ini menarik perhatian para seniman dan kolektor ?"

"Be ... Benar,"

"Kalau begitu, SELESAI," ujarnya singkat.

"A... apa maksudmu, neng ?"

"Kau lihat saja besok. Tapi, aku minta tolong ... di hadapan orang-orang lain kau jangan sebut-sebut aku. Hanya padamulah aku berbicara dan hanya padamulah aku menampakkan semua yang kumiliki... aku adalah milikmu, Den Bagus,"

Aku terkejut, "Hah, apa maksudmu ?"

Wanita itu tersenyum, "Dengar ... aku akan senantiasa menjaga dan melindungimu jika kau memperlakukanku dengan baik seperti yang dikatakan Aki Kolot, tapi, jika kau berbuat macam-macam padaku... maka aku takkan mempedulikanmu lagi ... bahkan nasibmu bakal lebih buruk daripada saat ini,"

Di balik kata-kata yang terlontar begitu halus dan lembut, terselip juga ancaman dan aku merasakan kehadirannya dalam hidupku, akan merubah semua yang ada. Lagipula, hanya orang bodohlah yang memperlakukan wanita ini seenak perutnya sendiri. Tak peduli siapa dia, darimana asalnya ... CINTA TELAH MEMBUATKU MENJADI ORANG BERBEDA.

Kami berdua berdiri berhadap-hadapan, mataku tak berkedip manakala memandang wajah wanita ini, hingga sebuah ketukan menyadarkanku sekaligus membuatku bingung, "Le, bukalah pintu ini sebentar, ibu mau bicara denganmu,"

"Itu, ibuku ... bersembunyilah. Kalau beliau tahu ada wanita apalagi tanpa busana seperti ini, bisa-bisa aku kena marah habis-habisan," kataku setengah berbisik, tapi, tampaknya, wanita itu seakan tak peduli. Saat aku hendak membuka pintu, mendadak pintu sudah dibuka dari luar dan ibu sudah menerobos masuk.

Ibuku menatap dengan pandangan heran, "Kau bicara dengan siapa, le ? kenapa wajahmu pucat sekali,"

Perlu waktu yang cukup lama bagiku untuk menenangkan diri, tapi, ibuku seperti tak melihat adanya wanita berdiri di tengah ruangan, apakah benar ibuku tak melihatnya. "Le, apakah kau tidak enak badan ?" tanya ibuku.

"Ti... tidak, bu... saya tidak apa-apa... mungkin karena letih saja," jawabku sengaja berbohong.

"Kemarilah," ibu menarik tanganku dan kami duduk di tepi pembaringan, "Ibu dengar, Lik Dar sudah sembuh, ya ? ini sama sekali tak bisa dipercaya," sambungnya.

"Itulah kenyataannya, Bu. Ia sudah sembuh padahal beberapa hari yang lalu sempat mengeluh dan putus asa," jelasku setelah aku benar-benar bisa menenangkan diri dan memastikan ibuku tak melihat wanita yang ada di kamarku itu padahal aku bisa melihat wanita itu berdiri di hadapan kami sementara sepasang matanya mengamati ibuku dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.

"Kalau begitu ... syukurlah. Oya, sewaktu kamu pergi siang tadi... ada seorang pria datang dan menanyakanmu, le..."

"Siapakah dia, bu ?"

"Entahlah, tapi, dia mengatakan bahwa adalah seorang kolektor barang antik termasuk lukisan-lukisanmu itu, le...Apakah kau mengenalnya atau setidaknya mempunyai teman kolektor barang-barang antik seperti itu ?"

"Tidak, bu. Tapi, biarlah besok akan saya temui. Sebab, kita tak perlu lagi mengkhawatirkan keadaan Lik Dar,"

"Baiklah. Sekarang istirahatlah, mudah-mudahan mulai besok dan selanjutnya, nasib baik akan senantiasa menyertaimu, le," sambil berkata demikian ibu melangkah meninggalkan kamar tidur.

"Terima kasih, bu,"

Saat pintu tertutup dan suara langkah-langkah kaki ibu terdengar menjauh, aku menoleh ke arah wanita yang duduk setengah terbaring. Aku berjalan menghampirinya, wajahku dan wajahnya bertemu, "Siapapun engkau, aku tak peduli, terima kasih karena telah dipertemukan denganmu," kudekatkan bibirku ke kening wanita itu, kukecup lembut dahinya yang halus dan kuning itu . Wanita itu tidak menolak, ia tersenyum dan kami pun tenggelam dalam gelora lautan asmara.

Keesokan harinya, benar-benar menjadi hari yang paling bersejarah dalam hidupku. Lukisanku diborong oleh seorang kolektor barang antik, dia berani membayar mahal atas semuanya, termasuk biaya untuk mengadakan pameran di galerynya. Yah, semuanya berubah. Dulu aku adalah pemuda pengangguran, luntang-lantung cari kerja dan gagal dalam segala hal. Aku putus asa, sepertinya TUHAN tak adil, tapi, kini ... segala sesuatunya sudah berubah. Seiring dengan melambungnya namaku, saat itu pula kejadian-kejadian yang tidak bisa diterima oleh akal sehat terjadi.

_____

Terpopuler

Comments

Kardi Kardi

Kardi Kardi

hmm. must becarefulllll

2022-11-01

0

lihat semua
Episodes
1 P R A K A T A :
2 Bab I - Kosmetik ( Si Pembawa Pesan )
3 Bab II - Kosmetik 2 ( Si Penulis ) - Babak Pertama
4 Bab III - Kosmetik 2 ( Si Penulis ) - Babak Kedua
5 Bab IV - Kosmetik 3 ( Si Pemain Musik ) - Babak Pertama
6 Bab V - Kosmetik 3 ( Si Pemain Musik ) - Babak Kedua
7 Bab VI - Kosmetik 4 ( Si Pelukis )
8 Bab VII - Suster Michelle - Babak Pertama
9 Bab VIII - Suster Michelle - Babak Kedua
10 Bab IX - Aku [ masih ] Hidup - Babak Pertama
11 Bab X - Aku [ masih ] Hidup - Babak Kedua
12 Bab XI - Patung - Babak Pertama
13 Bab XII - P a t u n g - Babak Kedua
14 Bab XIII - A N G E L I C A - Babak Pertama
15 Bab XIV - A N G E L I C A - Babak Kedua
16 Bab XV - Dia Adalah Kekasihku
17 Bab XVI - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Pertama
18 Bab XVII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kedua
19 Bab XVIII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Ketiga
20 Bab XIX - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Keempat
21 Bab XX - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kelima
22 Bab XXI - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Keenam
23 Bab XXII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Ketujuh
24 Bab XXIII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kedelapan
25 Bab XXIV - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kesembilan
26 Bab XXV - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kesepuluh
27 Bab XXVI - K u r i r ( babak pertama )
28 Bab XXVII - K u r i r ( babak kedua )
29 Bab XXVIII - K u r i r ( babak ketiga )
30 Bab XXIX : K u r i r ( babak keempat )
31 Bab XXX : K u r i r ( babak kelima )
32 Bab XXXI : K u r i r ( babak keenam )
33 Bab XXXII : K u r i r ( babak ketujuh )
34 Bab XXVI : Tiga Kisah Hantu Sekolah ( Malam Pertama )
35 Bab XXVII : Empat Kisah Hantu Sekolah ( Malam Kedua )
36 Bab XXVIII : Malam Terakhir
37 Bab XXIX - R i t u a l ( Babak Pendahuluan )
38 Bab XXX - R i t u a l #1 ( Babak pertama )
39 Bab XXXI - R i t u a l #2 ( babak kedua )
40 Bab XXXII - R i t u a l #3 ( babak ketiga )
41 Bab XXXIII - R i t u a l #4 ( babak keempat )
42 Bab XXXIV - R i t u a l #5 ( babak kelima ) [ Tamat ]
43 Bab XXXVI - R I T U A L #6 ( Alternatif Ending )
44 [ Horor ] [ Misteri ] K u r i r ( Babak Kedelapan )
45 [ Horor ] [ Misteri ] K u r i r ( Babak Kesembilan - End )
Episodes

Updated 45 Episodes

1
P R A K A T A :
2
Bab I - Kosmetik ( Si Pembawa Pesan )
3
Bab II - Kosmetik 2 ( Si Penulis ) - Babak Pertama
4
Bab III - Kosmetik 2 ( Si Penulis ) - Babak Kedua
5
Bab IV - Kosmetik 3 ( Si Pemain Musik ) - Babak Pertama
6
Bab V - Kosmetik 3 ( Si Pemain Musik ) - Babak Kedua
7
Bab VI - Kosmetik 4 ( Si Pelukis )
8
Bab VII - Suster Michelle - Babak Pertama
9
Bab VIII - Suster Michelle - Babak Kedua
10
Bab IX - Aku [ masih ] Hidup - Babak Pertama
11
Bab X - Aku [ masih ] Hidup - Babak Kedua
12
Bab XI - Patung - Babak Pertama
13
Bab XII - P a t u n g - Babak Kedua
14
Bab XIII - A N G E L I C A - Babak Pertama
15
Bab XIV - A N G E L I C A - Babak Kedua
16
Bab XV - Dia Adalah Kekasihku
17
Bab XVI - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Pertama
18
Bab XVII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kedua
19
Bab XVIII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Ketiga
20
Bab XIX - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Keempat
21
Bab XX - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kelima
22
Bab XXI - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Keenam
23
Bab XXII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Ketujuh
24
Bab XXIII - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kedelapan
25
Bab XXIV - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kesembilan
26
Bab XXV - ( Kutukan ) Arwah Penghuni Rumah Angker - Babak Kesepuluh
27
Bab XXVI - K u r i r ( babak pertama )
28
Bab XXVII - K u r i r ( babak kedua )
29
Bab XXVIII - K u r i r ( babak ketiga )
30
Bab XXIX : K u r i r ( babak keempat )
31
Bab XXX : K u r i r ( babak kelima )
32
Bab XXXI : K u r i r ( babak keenam )
33
Bab XXXII : K u r i r ( babak ketujuh )
34
Bab XXVI : Tiga Kisah Hantu Sekolah ( Malam Pertama )
35
Bab XXVII : Empat Kisah Hantu Sekolah ( Malam Kedua )
36
Bab XXVIII : Malam Terakhir
37
Bab XXIX - R i t u a l ( Babak Pendahuluan )
38
Bab XXX - R i t u a l #1 ( Babak pertama )
39
Bab XXXI - R i t u a l #2 ( babak kedua )
40
Bab XXXII - R i t u a l #3 ( babak ketiga )
41
Bab XXXIII - R i t u a l #4 ( babak keempat )
42
Bab XXXIV - R i t u a l #5 ( babak kelima ) [ Tamat ]
43
Bab XXXVI - R I T U A L #6 ( Alternatif Ending )
44
[ Horor ] [ Misteri ] K u r i r ( Babak Kedelapan )
45
[ Horor ] [ Misteri ] K u r i r ( Babak Kesembilan - End )

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!