Saat mata ini terbuka, tak terlihat apa-apa, gelap. Tubuhku terbungkus kain kafan diikat pada bagian perut dan kaki, terbaring dalam sebuah tempat yang sempit. Kucoba melepaskan tali-tali yang mengikat kain kafan pembungkus tubuhku ini. Setelah berusaha keras dalam waktu kurang lebih setengah jam, tali-tali pengikat perut kaki dan kepala itu terlepas.
Kotak seukuran 1,5 m persegi, tertutup rapat, disitulah aku terbaring. Aku harus keluar dari tempat ini, itulah tekadku. Maka, dengan tangan-tangan yang terkepal keras, kugedor bagian atas berharap ada seseorang yang menolong atau paling tidak mendengar gedoran tersebut.
“Duak ! Duak ! Duak ! Duak!"
Gagal. Sekali lagi. Gagal pula. Aku tak merasa jantungku berdetak, tak merasa letih ataupun sakit saat tangan-tanganku beradu. Tak ingat sudah berapa lama terbaring di tempat ini. Tak ada satupun ingatan yang membantuku menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalaku.
Tenang... tenang sepasang mataku mengamati keadaan di sekitar... Aku ternyata berada di dalam sebuah peti mati, apakah aku memang sudah mati dan bangkit lagi ? Mengapa tak ada sepotong ingatan pun yang bisa membantuku memahami apa yang sudah terjadi?
Aku tidak mau berada di tempat ini terus, aku harus keluar. Kembali kugedor bagian atas, namun kali ini aku seperti melewatinya saja dan sudah berada di sebuah tanah lapang yang cukup luas dengan bahan-bahan material menumpuk disana-sini.
Berbagai jenis peralatan berat di parkir sembarangan sehingga mirip sampah yang berserakan.
Tak jauh dariku sudah berdiri beberapa pondasi bangunan yang cukup kokoh, tampaknya tempat ini akan dijadikan tempat industri atau pertokoan. Jika aku sudah meninggal, mengapa tak dimakamkan ke pemakaman atau sejenisnya, mengapa harus ditaruh di tempat ini. Juga tidak mendapati batu nisan. Apa sebenarnya yang telah terjadi ?
Aku duduk termenung sekian lama di gundukan tanah dimana aku melesat keluar. Saat sinar matahari mulai memerah, aku berdiri dan melangkah meninggalkan tempat itu. Aku harus mencari jawabannya. Tujuanku adalah rumah tempat tinggalku.
_____
Aku tak bisa mengingat apa yang telah terjadi tapi masih ingat jalan menuju ke rumah bahkan sekalipun, menjadi orang asing atau lama berada di luar negeri.
Aku tak merasakan tapak kakiku menyentuh tanah tapi melayang begitu ringan membiarkan udara malam membawaku kemanapun pergi, melayang bagaikan kabut turun dari punggung-punggung perbukitan. Melayang ringan, seringan kapas.
Pepohonan-pepohonan yang tumbuh lebat, tak menghalangi tubuh ini terbang, tubuh ini hanya melewatinya saja dan akhirnya tibalah di tempat tujuan. Tak perlu membuka pintu, karena tubuhku tembus begitu saja, melihat ayah-ibu hanya duduk di ruang keluarga sementara, adikku tidak ada.
Terdengar senandung merdu dari ruang atas, itu adalah kamar dimana aku dan adikku tidur. “Selamat malam ayah, ibu ... Lena sudah pulang,” sapaku pada ayah-ibu, tapi, mereka seakan tak mendengarku.
Kembali aku menyapa, mereka tetap tak mendengarnya. Karena tak ada jawaban dari mereka, aku melangkah ke lantai dua.
Sluku sluku bathok, bathoke ela-elo
Si Rama menyang kutha, leh olehe payung mutha
Mak Jenthit lololobah, wong mati ora obah
Yen obah medheni bocah, yen urip goleka dhuwit
Itu adalah lagu yang sering kunyanyikan sebelum adikku tidur. Dia sudah menghafal lagu tersebut. Aku tersenyum lalu masuk ke dalam kamar Vera, ia membelakangiku sambil memain-mainkan sebuah boneka berbentuk kelinci. Aku berjalan mendekatinya.
Baru beberapa langkah, Vera berhenti bermain dan sambil menatap kaca ia bertanya, “Apakah itu Kak Lena ? Kakak sudah datang, ya ?” sambil membalikkan badan, sepasang matanya yang bulat menatapku dalam-dalam, “Kakak tak perlu takut lagi dengan ayah-ibu, mereka tak menyadari kedatangan kakak, bukan ?”
Aku tersenyum, “Apa yang terjadi pada mereka, mengapa mereka tak menghiraukan kedatangan kakak ? Mengapa aku harus takut pada mereka, mereka adalah orang tua kita, bukan ?” tanyaku.
“Apakah kakak tidak ingat apa yang telah terjadi pada kakak 7 hari yang lalu ?”
“Vera, kakak tak mengerti apa yang kau bicarakan. Kakak benar-benar tidak ingat apa-apa selain mendapati saat bangun, kakak sudah berada di dalam peti mati, dan dikuburkan di sebuah tanah lapang itu saja,” kataku, “Bisakah Vera menceritakannya pada kakak ?” tanyaku kemudian.
“Yang Vera tahu, 7 hari yang lalu kakak tiba-tiba menghilang dan Ayah-Ibu sepertinya tidak mempedulikannya. Saat Vera tanyakan keberadaan kakak, ibu hanya mengatakan ... mungkin kakakmu lagi bersenang-senang bersama teman-temannya. Jangan tiru kakakmu yang sesukanya sendiri, atau kami akan menyerahkanmu ke panti asuhan,”
Baru saja Vera menutup mulutnya, pintu kamar terbuka ibuku masuk sambil berkata, “Tak tahukah, kau hari sudah malam, sudah waktunya tidur. Kau bicara dengan siapa, Vera ?!”
Vera bengong, sepasang bola matanya bergerak ke arahku, “Hei, Ibu bicara denganmu, apa kau tak mendengarnya ?”
“Kakak datang, bu .... apa ibu tidak mengetahuinya ?”
“Mungkin kakakmu sudah lupa dengan rumahnya. 1 minggu sudah ia meninggalkan rumah. Lebih baik tak usah kau cari dia. Cepat tidur atau ibu akan membawamu ke panti asuhan,”
Vera tak menjawab, ia langsung membaringkan tubuhnya ke tempat tidur, tapi, begitu ibu sudah menutup pintu dan meninggalkan tempat itu, Vera menatapku, “Kak, bisakah kakak menemani Vera disini ?”
“Tentu saja,” jawabku.
“Tampaknya, ibu tak menyadari kedatangan kakak, ya ? Apakah kakak sudah menjadi hantu ?” tanya Vera dengan lugunya.
Aku termenung, pertanyaan Vera ini tak bisa kujawab dengan mudah. Setelah termenung cukup lama, akhirnya aku berkata, “Entahlah, kakak sendiri tidak tahu apa yang terjadi pada diri kakak. Di rumah ini kakak lahir dan tumbuh dewasa, dan sekarang tampaknya ayah-ibu tak mempedulikan kakak. Nah, sekarang tidurlah, kakak akan menyanyikan lagu supaya kau cepat tidur, ya...”
“Terima kasih, kak, kalau bukan kakak yang menyanyikan rasanya kurang merdu. Oya, kalaupun kakak sudah menjadi hantu, saya tidak takut. Besok saya akan memperkenalkan kakak pada Cindy. Siapa tahu dia bisa membantu kakak,” kata Vera sambil memejamkan kedua matanya.
Aku menatap wajah imut Vera, sekalipun dia masih kecil namun, cara berpikirnya terkadang bisa melebihi orang dewasa, sejauh ini yang kuingat adalah dialah yang paling dekat denganku. Yah, aku ingat semuanya, tapi, peristiwa yang terjadi 7 hari yang lalu, mengapa tak bisa kuingat sama sekali. Tak ada yang bisa kulakukan sekarang selain mendendangkan lagu untuk Vera.
Aku tak menyanyi lagi, adikku sudah tertidur cukup pulas, “Selamat tidur, adikku,” kataku dalam hati sambil mengamati tempat tidur kosong yang ada di samping tempat tidur Vera.
Jam-jam segini, seharusnya aku sudah pulas, tapi, entah mengapa tidak mengantuk sama sekali.
Untuk menghilangkan rasa bosanku, aku berjalan mengelilingi ruangan, membuka tirai jendela dan memandang pemandangan di luar kamar. Tak ada yang menarik, akupun memilih keluar dari kamar dan menuruni anak tangga. Berjalan kesana-kemari dan sesekali menengok ke dalam kamar orang tuaku. Mereka masih belum tidur, tampaknya tengah membicarakan sesuatu.
“Apa kau tak mendengar suara langkah-langkah kaki di luar ?” tanya ibuku.
“Ahh, paling-paling Vera yang berjalan, apakah kau tak tahu kebiasaannya jalan sambil tidur ?” ujar ayahku yang tampak terbaring malas di dekat ibu.
“Tapi, langkah-langkah itu, sepertinya bukan milik Vera. Bisakah kau memeriksanya ?”
“Kau ini, aku mengantuk sekali, sepanjang hari kerja untuk menafkahi kalian. Aku letih sekali ... masakan kau tak berani memeriksanya sendiri ?”
“Aku takut, mas ... kumohon temani aku,”
“Kau tahu ini jam berapa ? Besok aku harus masuk pagi, tahu ... sudahlah abaikan saja. Pergilah tidur dan jangan ganggu aku lagi,”
Ibu tidak berani berdebat lagi, beliau perlahan-lahan turun dari tempat tidur dan melangkah keluar menuju kamar Vera.
Vera tertidur pulas sambil memeluk boneka kelincinya. Beliau menutup pintu dan berjalan menuruni anak tangga, tubuhnya sempat berbenturan dengan tubuhku, tapi, tak kurasakan apa-apa, tubuh ibu bagaikan hembusan angin hangat. Tapi sebaliknya, ibu menggosok-gosok kedua pangkal lengannya secara bergantian, ia menatap kesana-kemari seakan mencari-cari sesuatu.
Mendadak saja ibu berlari ke arah kamar dengan wajah ketakutan, setelah masuk ke dalam kamarnya, ia tidak keluar-keluar lagi dari daun pintu aku mendengar ibu menangis tersedu-sedu sambil berkata, “Maafkan, ibu anakku... ibu tak bermaksud demikian padamu. Lena, maafkan ibumu yang bodoh ini,”
_____
Cindy Permatasari, demikianlah nama wanita yang kini tinggal di sebelah rumah. Pindahan dari kota Bandung. Vera terlihat akrab sekali dengannya. Umurnya saat itu lebih tua 2 tahun dari adikku.
Begitu melihat kedatanganku dia bertanya, “Apakah itu kakakmu yang bernama Lena, Vera ?”
“Ya, dia adalah kakakku. Entah bagaimana ceritanya sampai-sampai kedua orang tuaku tak bisa melihat kedatangannya ?” sahut Vera.
“Tentu saja tak sembarangan orang bisa melihatnya ... sebab, dia adalah salah satu dari sekian banyak ARWAH-ARWAH PENASARAN yang hidup berdampingan dengan kita.,” jelas Cindy.
“Tidak mungkin !! Aku masih hidup,” teriakku.
“Maaf, kak Lena ... itulah kenyataannya. Seharusnya, kakak sudah meninggal tujuh hari yang lalu. Tapi, entah kenapa roh kakak masih ada di tempat ini. Mungkin, ada urusan yang belum kakak selesaikan di dunia ini, sehingga roh kakak masih bergentayangan di dunia ini,” Cindy mencoba meyakinkan.
“Mengapa ini terjadi padaku ? Apa salahku ? Dan mengapa, aku tidak ingat apapun 7 hari yang lalu,”
“Untuk itulah... Vera mengajak kakak datang ke rumah Cindy ini, kak... siapa tahu dia bisa membantu kakak,” Vera menimpali.
“Apakah benar kau bisa membantu kakak, Cindy ?” tanyaku.
Cindy menganggukkan kepala, pada saat itulah aku melihat sesosok anak kecil berkaca mata muncul dan berbisik padanya, “Cindy, apa kau yakin bisa membantu hantu wanita ini ?” tanyanya. Gadis cilik itu tersenyum, “Siapa yang membantumu berbaur dengan kami Jenshen ? Nasibnya tak berbeda denganmu. Kau tidak memiliki siapa-siapa, tapi, dia beruntung masih ada Vera. Mungkin Vera adalah orang satu-satunya yang masih memberikan perhatian untuknya,” setelah berkata demikian Cindy menatapku, “Kak Lena ... ini adalah salah satu teman hantu yang senantiasa menemani Cindy saat sendirian seperti ini. Sebenarnya, Cindy memiliki banyak teman hantu. Mereka datang dan pergi sesuka hatinya, hanya 5 hantu saja yang selalu menemani Cindy sepanjang hari. Mereka adalah : Sepasang kakak beradik, Estefanny – Febiola, mereka suka sekali musik Estefanny si pemegang seruling perak yang patah, Febiola si pemegang harmonika; Dan ini Jen-Shen, dia suka sekali bepergian, Timothy dan Tobias, mereka juga sepasang kakak beradik yang tidak bisa diam. Yang satu suka melukis dan yang satunya cerewet sekali ...”
“Kau menyindirku, Cindy ?” mendadak seorang anak muncul dari dalam lantai diikuti seorang anak yang memeluk sebuah Sketch Book di dadanya.
Kedatangan mereka mengejutkanku, tapi, Cindy menanggapinya dengan muka gusar, “Kenapa kalian suka muncul tiba-tiba, Timmy ? Kalian ingin Cindy kena penyakit jantung, ya ?”
“Kalau kau tak menyindirku, mungkin kami takkan muncul tiba-tiba seperti tadi. Terlebih lagi, sindiranmu membuatku sakit hati ....” ucapan sosok bocah yang memiliki gigi besar di tengah atas terpotong saat Cindy menjulurkan sebuah wortel ke depan hidungnya. Potongan wortel tersebut segera disambar lalu bocah laki-laki itu memakannya dengan lahap. Aku tersenyum melihat tingkah lakunya.
“Dia adalah Timmy, kak...sekalipun dia cerewet tapi sebenarnya baik. Itulah sebabnya Cindy menyukainya,” kata Cindy sementara sosok yang satunya mulai memainkan mata penanya pada Sketch Book, “Dia bernama Tobby, tak banyak bicara seperti adiknya. Ia suka sekali menggambar,” sambungnya.
“Kau tahu, Cindy ...” mendadak sosok yang bernama Tobby itu berbicara, “Apa yang kutemui sewaktu kami mendatangi tempat tinggalmu yang baru ini ?”
“Bisakah kau menceritakannya ?” tanya Cindy penuh minat.
“Sebenarnya, kami sudah tiba di kota Malang ini beberapa hari yang lalu ... kami sempat melihat-lihat suasana kota yang sejuk ini sebentar. Waktu itu, hari sudah malam, aku dan adikku sempat melihat sebuah mobil kijang mendatangi sebuah tanah lapang yang hendak dibangun kawasan industri. Seorang wanita kira-kira berusia 43 tahun turun dari mobil diikuti oleh seorang pemuda. Mereka menggotong sebuah peti mati dan memasukkannya ke dalam sebuah lubang yang tampaknya digali tidak lama. Semuanya sudah saya lukis di sketch book ini,” kata Tobby sambil memberikan sketch book-nya pada Cindy.
Cindy menerima dan membolak balik halaman Sketch Book yang diberikan Tobby. Aku dan Vera menghampiri Cindy dan melihat lukisan yang dibuat oleh Tobby. Mataku terbelalak manakala melihat bahwa lukisan wanita itu mirip dengan ibuku sementara yang laki-laki, sama sekali tidak kukenali demikian pula mobil yang dikendarainya.
“Aku penasaran dengan pria yang bersama-sama dengan ibuku, dugaanku diantara mereka saling mengenal satu sama lain. Tapi, peti itu ... peti itulah yang menyimpan tubuhku,” kataku.
“Pemuda itulah yang sering datang mengunjungi ibu saat ayah tidak ada,” sahut Vera sambil terus membolak-balik sketch book, hingga akhirnya berhenti pada halaman dimana mobil kijang itu bergerak menjauh dari tanah lapang, “Mereka juga sering keluar dengan mengendarai mobil ini. Kijang berwarna putih keperakan.
“Ini tak bisa dibiarkan,” kataku.
“Memang, kak... tapi, bagaimana cara kita menghentikan semua ini ?”
“Cindy dan teman-teman punya ide untuk membantu kalian. Mudah-mudahan cara sederhana ini bisa menghentikan semuanya. Mudah-mudahan dengan cara ini pula ingatan Kak Lena bisa kembali,” sahut Cindy.
_____
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
Kardi Kardi
wowww. nice storyyy
2022-10-31
0