*Episode 20

"Maria! Ternyata kamu?" Terdengar nada kecewa yang cukup jelas dari ucapan itu. Namun, nada itu segera menghilang saat Tantri melihat barang bawaan Maria yang banyak.

"Dari mana saja kamu, hah! Gak pulang semalaman. Tapi pas pulang, tau-taunya bawa belanjaan banyak banget."

"Tunggu! Apa jangan-jangan, kamu tadi malam habis nginap di hotel sama om-om ya, Maria? Makanya, kamu sekarang punya uang yang cukup banyak buat foya-foya seperti sekarang." Tantri berucap dengan nada penuh ejekan.

Maria mendengus kesal. Ingin rasanya dia marah karena kata-kata yang bibinya ucapkan barusan. Tapi, dia sadar, tidak ada gunanya dia marah dan berdebat dengan perempuan paruh baya itu. Bukannya mengurangi masalah, tapi malah menambah masalah yang ada nantinya. Lebih baik menghindar dari pada bikin masalah sekarang. Karena tujuan Maria yang sebenarnya, bukan keluarga ini, melainkan, calon suaminya.

Maria memilih diam sambil terus melangkah masuk ke dalam. Masuk dengan mengabaikan Tantri yang masih berada di hadapannya.

Merasa diabaikan, Tantri yang kesal jadi semakin kesal. Dia tahan lengan Maria agak gadis itu tidak beranjak meninggalkannya begitu saja.

"Aku belum selesai bicara, Maria. Kenapa kamu bisa pergi seenaknya saja, ha? Di mana hormat juga sopan santun mu sebagai keponakan suamiku?"

"Aku keponakan suamimu, bibi. Bukan keponakan kamu, bukan? Jadi, buat apa aku tunjukkan sopan santunku pada bibi. Toh bibi bukan bibiku juga."

"Maria!" Tantri kesal dengan kata-kata itu. Dia langsung memanggil Maria dengan suara tinggi.

"Jangan banyak mengurus aku, bibi. Karena aku bukan anakmu. Yang perlu kamu urus itu anakmu, bukan? Jadi, biarkan aku melakukan apa yang ingin aku lakukan. Selagi aku tidak mengganggu kalian, maka aku sarankan, jangan ganggu aku," ucap Maria sambil menatap tajam Tantri.

Tatapan itu membuat Tantri bergidik ngeri. Bukan hanya menatap, Maria juga menyingkirkan tangan Tantri yang masih memegang lengannya. Setelah itu, Maria berlalu meninggalkan Tantri sendirian di depan pintu.

Tanpa bisa berbuat apa-apa, Tantri hanya bisa terdiam mematung. Memikirkan apa yang baru saja terjadi di tambah pemikiran akan Tiara yang tidak kunjung pulang sekarang.

Maria sampai di kamar, lalu melepaskan semua barang bawaannya ke atas kasur. Kemudian, dia juga menjatuhkan tubuhnya di antara barang-barang yang berserakan.

Lelah, sungguh lelah. Kini baru dia rasakan betapa lelahnya dia setelah sampai ke rumah. Maria mengangkat ponselnya untuk melihat jam. Menghitung waktu untuk istirahat, dengan waktu untuk berangkat ke kediaman Arkan.

"Ah, masih punya banyak waktu. Setidaknya, masih ada empat atau lima jam. Aku bisa istirahat sebentar sebelum melanjutkan tugasku di sini," ucap Maria sambil menutup mata dengan kedua tangan dia rentangkan.

Sementara itu, di depan pintu masuk, Tantri kembali mendapatkan rasa kekecewaan ketika dia membuka pintu tersebut. Yang dia harapkan pulang adalah anaknya, tapi yang dia lihat malah Ratna.

"Ratna? Ternyata kamu?" Tantri berucap dengan nada dan wajah yang penuh dengan rasa kekecewaan.

Melihat hal itu, Ratna yang sangat mengerti apa yang Tantri rasakan, langsung menaikkan satu alisnya.

"Ada apa, bibi? Kenapa kalau yang datang itu aku, hm? Apa bibi kecewa?"

"Tidak. Aku tidak kecewa. Siapa bilang aku kecewa?"

"Bibi tidak bilang. Tapi nada bicara bibi barusan itu sungguh jelas sekali kalau sekarang, bibi sedang menahan rasa kecewa."

"Hm ... aku tahu apa penyebab bibi kecewa saat melihat aku. Pasti bibi sedang menanti kedatangan seseorang sekarang bukan? Iyakan? Ayo ngaku .... "

"Bukan urusan kamu, Ratna. Kamu tidak perlu tahu dan tidak perlu mengurus urusan aku. Sebaiknya, kamu urus tuh sahabatmu yang baru saja pulang setelah pergi tadi malam." Tantri mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.

Rencana pengalihan itu berhasil. Ratna terlihat begitu kaget dan sangat tak percaya dengan kata-kata yang Tantri ucapkan barusan. Dia menatap lekat wajah Tantri untuk mencari kebenaran dari apa yang Tantri katakan.

"Kenapa kamu melihat aku seperti itu, ha? Gak percaya kamu dengan apa yang aku katakan barusan, Ratna?"

"Tentu saja aku tidak percaya. Karena apa yang bibi katakan barusan itu sepertinya sama sekali tidak mungkin."

"Tidak mungkin menurutmu, tapi itulah kenyataan yang sebenarnya. Aku malas berdebat dengan kamu sekarang, Ratna. Jika kamu anggap apa yang aku katakan itu tidak benar, ya silahkan langsung lihat saja ke kamarnya. Dia mungkin sedang membongkar barang-barang yang dia bawa dari luar tadi."

"Barang-barang?" Ratna semakin memasang wajah tak percaya dengan apa yang kupingnya dengar.

"Iya. Barang-barang belanjaan dalam jumlah, mm ... cukup banyak. Aku yakin kalau dia baru habis belanja sepuasnya sebelum dia pulang ke rumah."

"Belanja? Ini tidak mungkin, bibi. Maria tidak mungkin belanja tanpa aku. Bibi juga tahu bukan? Kalau Maria .... "

"Ah, sudah-sudah. Aku tahu. Aku juga tahu kalau kamu tidak akan percaya dengan apa yang aku katakan. Seperti yang sudah aku katakan padamu tadi, aku tidak ingin berdebat dengan kamu. Jika kamu tidak percaya dengan apa yang aku katakan, ya silahkan langsung ke kamarnya. Lihat langsung dengan mata kepalamu sendiri. Dengan begitu, mungkin kamu bisa menerima kenyataan dan percaya apa yang aku katakan barusan."

Tidak ingin banyak bicara, Ratna langsung mendengarkan saran dari Tantri. Berjalan cepat menuju kamar Maria dengan hati yang sungguh menyimpan rasa ketidakpercayaan.

Sampai di depan kamar Maria, Ratna langsung menerobos masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Matanya membulat ketika melihat Maria yang sedang berbaring di antara paper bag yang bergelimpangan di atas kasur.

Tanpa basa basi terlebih dahulu, Ratna langsung saja berucap dengan nada tinggi.

"Maria! Kamu habis belanja banyak, hah!"

Ucapan itu sontak membuat Maria yang baru saja ingin terlelap, jadi bangun dengan perasan kaget. Dia menatap Ratna dengan tatapan yang sangat kesal.

"Maria, kamu ini bisa-bisanya ya, belanja banyak seperti ini tanpa ajak aku. Kamu lupa sama aku sekarang? Kamu lupa kalau kamu punya teman, ha? Lupa kamu? Lupa?"

Maria mendengus kesal. Kalau dia turut kan kata hati, mungkin dia sudah membentak Ratna dengan nada yang lebih keras dari nada bicara Ratna barusan. Tapi sayangnya, dia tidak bisa melakukan itu karena belum saatnya.

"Hei ... bisa gak sih, kamu bicara itu tanpa emosi, Ratna? Aku belanja ya emang karena aku sedang butuh semua barang-barang ini. Lagian, kamu juga gak ada di rumah kemarin, gimana caranya aku harus ajak kamu, sedangkan kamu gak ada."

"Kamu kan bisa jemput aku, Maria. Atau pun, kamu juga bisa tunggu aku pulang baru belanja."

Maria tersenyum menyeringai mendengarkan ucapan Ratna barusan. Ingin dia ceburkan perempuan itu ke kolam renang supaya sadar diri dan gak terbawa mimpi terus-terusan.

Terpopuler

Comments

Helen Nirawan

Helen Nirawan

ikut2 apa lu , mang lu penting gt mesti ngajak elu hah , ntar diajak klo maria mau kentut ,ajak.lu ,kentut di muka lu , enak kan /Toasted//Toasted/

2024-05-06

0

Aqiyu

Aqiyu

pengen tak plintir lidahnya si Ratna

2022-09-27

2

Ida Blado

Ida Blado

buat apa sih berpura pura jg,mlh terkesan berteke tele ceritanya.langsung libas aja kan lbh seru dari pada berperan jdi cewek naif yg cuma bisa m^nggrtu doang

2022-08-13

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!