*Episode 19

Bimo juga meminta bawahannya membelikan air buat Maria. Maria menolak, karena ada satu beban yang masih mengganjal dalam benaknya saat ini.

"Beban apa lagi yang belum kamu katakan pada paman, Maria? Katakan saja sekarang! Jangan disimpan."

"Paman, aku sedang memikirkan soal makan malam ku dengan Arkan nanti malam. Bagaimana jika aku tidak datang, paman?"

"Tidak bisa, Maria. Kamu tidak bisa tidak datang ke acara makan malam pribadi itu."

"Kenapa tidak bisa, paman? Bukankah itu hanya makan malam saja?"

"Maria, kamu tahu bukan? Keluarga Arkan adalah keluarga terpandang. Jangan menyingung mereka jika kita tidak ingin dapat masalah. Kamu tahu, jika kamu tidak datang, maka itu artinya, kamu sudah menyinggung mereka."

Selesai berucap, Bimo langsung bangun dari duduknya. Dia lalu berjalan menuju jendela yang ada di ruangan tersebut.

"Kamu tahu Maria, jika tidak takut mereka tersinggung, paman mungkin sudah menggantikan kamu dengan Tiara sepupumu. Karena paman tahu, kamu tidak suka dengan perjodohan paksa ini."

Maria mengangkat satu alisnya mendengar penuturan barusan. Dia sungguh tak mengerti dengan jalan pikiran pamannya ini.

'Apa? Dia bilang aku tidak setuju? Ah, maksudku, Maria yang tidak setuju. Yang ada, dia yang terlalu bodoh. Mau-maunya mendengarkan apa yang anak dan isterinya katakan. Iya kalau apa yang mereka katakan itu benar. Tapi masalahnya, apa yang mereka katakan itu salah besar. Maria tidak pernah bilang tidak suka dengan perjodohan ini. Malahan, dia sangat senang.'

'Yang tidak suka dengan perjodohan ini itu anakmu, paman. Bukan Maria,' ucap Maria dalam dengan sangat kesal.

Ingin rasanya dia memukul kepala Bimo untuk menyadarkan laki-laki paruh baya itu dari pengaruh buruk anak dan istrinya. Tapi sayangnya, itu tidak mungkin untuk dia lakukan. Karena jika dia pukul, semua rencana yang sedang dia jalankan, pasti akan rusak berantakan.

"Maria, apa yang sedang kamu pikirkan? Kenapa kamu malah melamun sekarang?"

Pertanyaan itu sontak membuat Maria yang memang sedang melamun sadar seketika. Dia pasang wajah tidak enak pada Bimo sebagai rasa sesal yang tidak seharusnya dia rasakan.

"Maafkan aku, paman. Aku sedang memikirkan apa yang paman katakan. Paman tidak perlu mengorbankan Tiara untuk menjalankan kehidupan rumah tangga dengan perjodohan. Kasihan dia paman. Dia tidak layak menderita hanya karena aku."

"Biarlah paman. Biarlah aku yang menjalankan semua ini dengan suka rela. Perjodohan ini memang untuk aku. Aku tidak akan membiarkan Tiara mengambil alih derita yang seharusnya menjadi derita hidupku."

"Maria .... "

"Aku sayang kalian semua, paman. Hanya kalian yang aku punya setelah kepergian mama dan papa. Jadi, aku tidak ingin ada yang menderita lagi dari kalian. Karena aku rasa, kalian sudah cukup hidup menderita bersamaku selama ini."

Kata-kata yang langsung memukul hati terdalam Bimo. Membuat Bimo langsung memasang wajah tidak enak karena rasa bersalah pada Maria.

"Paman, aku tidak akan membuat kamu berada dalam masalah lagi mulai dari sekarang. Tapi ... aku juga tidak bisa pergi makan malam nanti, paman."

"Kenapa tidak bisa, Maria? Apa alasannya?"

"Kita baru saja kerampokan. Aku tidak punya uang atau barang berharga sedikitpun untuk aku kenakan nanti malam. Aku tidak mungkin memakai baju lusuh buat datang ke acara makan malam ini, paman."

Bimo mendengus pelan mendengarkan penuturan itu. Dia lalu mengeluarkan dompet dari saku celananya.

"Jangan cemaskan soal itu, Maria. Ini ambil!" Bimo berucap sambil menyodorkan kartu ATM yang baru saja dia keluarkan.

"Belanja lah semua yang kamu butuhkan untuk nanti malam, Maria. Ingat! Tampil dengan cantik saat datang ke kediaman Arkan nanti malam."

Maria sedang memasang wajah bingung sekarang. Dia bingung dengan apa yang Bimo lakukan saat ini. Tapi sebenarnya, kebingungan itu hanya sebatas kepura-puraan saja. Yang Maria rasakan sekarang adalah kebahagiaan yang menyelimuti hati juga pemikirannya.

Alasannya ya memang, tujuan Maria datang ke kantor ini bertemu Bimo hanya untuk meminta uang, agar bisa membeli apa yang dia butuhkan supaya bisa tampil cantik saat makan nanti. Sebenarnya, bukan karena dia tidak punya uang. Tapi, karena sandiwara kerampokan yang sedang dia jalani membuat dia harus terlihat sangat miskin dihadapan pamannya sekarang.

"Ambil Maria! Setelah itu, kamu segera pergi ke mall atau butik untuk membeli baju. Jangan buang-buang waktu, karena waktu tidak akan menunggumu. Hari semakin siang dan sebentar lagi akan menuju sore. Maka segera berangkat."

"Ba--baik, Paman. Ter--terima kasih banyak."

Maria lalu meninggalkan ruangan tersebut. Dia tersenyum begitu bahagia saat sudah berada di luar ruangan pamannya.

'Uh .... aku tidak menyangka kalau si paman benar-benar mudah untuk aku tangani. Gampang banget buat dia percaya dengan apa yang aku katakan. Sampai-sampai, aku tidak perlu Johan untuk ikut bersandiwara lagi tadi.'

'Tapi ... aku juga tidak boleh lengah. Karena sesuatu yang mudah biasanya punya sesuatu yang sulit pula di belakangnya. Harus tetap waspada dan selalu hati-hati dalam melangkah.'

'Ah, ya sudahlah. Untuk sekarang, fokus sama tujuan nanti malam saja. Berdandan seperti apa ya? Biar aku gak terlihat terlalu menor, tapi juga tidak terlalu menyedihkan.'

Maria terus memikirkan tentang langkah selanjutnya sambil terus berjalan. Tanpa mengurangi tingkat kewaspadaan yang dia miliki tentunya, dia langsung meninggalkan gedung tersebut.

Tidak ada hal yang mencurigakan sepanjang perjalanan mereka menuju mall yang ingin mereka tuju. Tapi, saat ingin sampai di mall, Maria baru menyadari kalau ada sebuah mobil yang terus saja mengikuti merek sejak tadi.

"Johan, apa kamu merasa kalau kita ada yang mengikuti?" tanya Maria sebelum turun dari mobil.

"Ada, nona. Aku sudah sadar sejak kita berada di pertengahan jalan tadi. Tapi, aku abaikan saja. Karena aku pikir, selagi mereka tidak bikin ulah, maka kita biarkan saja."

"Iya juga. Kamu benar, Johan. Abaikan saja jika tidak bikin gara-gara dengan kita. Mm ... tapi kita harus tetap waspada. Karena aku merasa, itu orang suruhan pamanku untuk mengikuti aku."

Maria tidak ingin menghiraukan orang itu, dia langsung masuk ke dalam mall untuk membeli

apa yang dia butuhkan. Hampir satu setengah jam Maria berbelanja di dalam mall tersebut, akhirnya, dia keluar juga dengan banyak barang di tangan.

****

Menjelang sore, Maria sudah pulang ke rumah. Saat dia sampai di depan pintu masuk, dia langsung di sambut Tantri dengan wajah cemas. Tentunya, bukan cemas dengan keadaan Maria. Melainkan, cemas karena Tiara anaknya tidak kunjung pulang ke rumah setelah pergi tadi pagi.

"Maria! Ternyata kamu? Dari mana saja kamu, hah? Gak pulang semalaman, tapi pas pulang, tau-taunya bawa belanjaan banyak banget."

Terpopuler

Comments

Aqiyu

Aqiyu

iya lah pulang habis malak suami loooo

2022-09-27

3

Hasan

Hasan

lanjotttt

2022-08-05

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!