*Episode 6

Maria kembali menutup lemari itu setelah dia tahu apa isi dari lemari tersebut. Tangannya bahkan dangat engan hanya untuk menyentuh pakaian yang ada dalam lemari itu. Jangankan memakainya, menyentuh saja sepertinya sangat berat.

"Tidak bisa. Aku harus belanja agar Maria ini bisa merasakan jadi anak manja yang sesungguhnya. Mana ada anak manja dari orang kaya yang terlihat begitu miskin seperti ini. Aku yang hidup sederhana saja punya banyak pakaian yang bagus-bagus."

"Eh, iya. Walaupun itu semua pilihan mama sih. Semua pakaian milikku mama yang belikan," ucap Maria sambil senyum nyengir kuda pada dirinya sendiri.

Dia mondar-mandir di kamar sambil berusaha memikirkan apa yang harus dia lakukan sekarang. Memutar otak untuk melawan orang jahat, itu memang gampang-gampang susah. Apalagi identitas yang dia miliki saat ini adalah Maria yang selalu saja diperhatikan sekecil apapun kesalahan yang dia perbuat.

"Ah, apa pedulinya aku dengan identitas Maria. Karena aku yang sudah masuk ke sini. Maka aku harus menjalankan identitas Maria sesuai keinginan aku."

"Huh ... semangat Lila. Berantas semua kejatahan dan ketidak adilan ini. Yah, meskipun ini cuma novel, tapi kamu hidup di sini sekarang. Ayo Lila! Ayo! Mana sikap tegas yang kamu miliki. Bikin mereka semua tidak berkutik Lila."

Maria tersenyum karena telah berhasil mengusir pikiran kacau dalam dirinya. Sekarang, tujuan Maria sudah bulat. Dia akan mencari cara agar orang-orang yang tinggal di rumahnya bisa dia usir keluar dari rumah ini satu persatu.

___

Sore itu, seperti yang sudah dia pikirkan sebelumnya. Dia di panggil ke ruang keluarga oleh si paman karena laporan dari sepupu juga bibi yang pintar bersandiwara.

Saat sampai ke ruangan tersebut, dia melihat pamannya duduk dengan wajah kusut karena menahan emosi. Sementara bibi dan sepupunya sedang memasang wajah sedih yang begitu tertindas dengan posisi yang saling berpelukan.

'Nah ... pertujukan akan segera di mulai. Kita lihat saja siapa yang akan memenangkan pentas drama kali ini. Aku, atau kalian berdua ya?' Maria berucap dalam hati sambil terus berjalan.

"Paman. Apa ada paman memanggilku?" tanya Maria dengan suara pelan.

"Duduk, Maria! Setelah duduk baru kamu bicara. Anak tidak tahu sopan santun. Bagaimana bisa keluarga Hartono menjadikan kamu sebagai tunangan putra pertama mereka dengan sikap kamu seperti ini?"

"Apa maksud paman bicara seperti itu barusan? Kenapa baru bertemu dengan aku langsung marah-marah? Apa salahku sebenarnya, paman?"

"Bagus! Sekarang kamu sudah pintar menjawab perkataan ku, Maria? Benar-benar perubahan yang besar dari kamu setelah pertunangan itu terjadi ya."

"Kenapa pembicaraan paman semakin membuat aku kebingungan? Aku sungguh tidak tahu di mana salahku sampai paman pulang langsung marah-marah. Bukankah itu sungguh tidak adil jika aku diam saja. Menerima amarah yang paman lontarkan, sedangkan aku tidak tahu di mana kesalahan yang sudah aku perbuat."

"Baiklah, jika kamu tanya di mana salah kamu, maka aku akan dengan senang hati mengatakannya. Kamu lihat Tiara sepupumu itu bukan? Lihat pipinya, kenapa bisa memerah? Apa yang sudah kamu lakukan pada dia, Maria?" Paman Maria yang bernama Bimo itu bicara sambil mengarahkan telunjuknya pada si anak yang sedang berada dalam pelukan mamanya.

Maria ikut menoleh ke arah ibu dan anak yang sedang duduk sambil berpelukan di satu sofa.

Dia tersenyum saat melihat bekas tamparan yang memerah di pipi sebelah kanan Tiara.

"Apa yang sudah aku lakukan pada dia, paman? Aku tidak tahu sama sekali. Kenapa malah paman tanya padaku sih?"

"Maria. Kenapa kamu tidak mau mengaku apa yang sudah kamu lakukan pada sepupumu, ha? Kamu sudah menampar dia hanya karena hal sepele." Tantri berucap dengan kesal.

"Oh, aku tampar dia karena hal sepele? Hal sepele apa emangnya?"

"Maria! Kenapa kamu tidak ada sedikitpun menunjukkan rasa bersalah setelah menyakiti sepupumu, ha?" Bimo membentak Maria dengan nada tinggi.

Kalau itu karakter Maria yang tertulis dalam novel ini, mungkin dia sudah bersimpuh di kaki pamannya. Dia akan mengakui semua kesalahan yang telah dituduhkan. Meski sebenarnya, dia tidak melakukan semua itu.

"Ya Tuhan, Paman. Bagaimana aku ingin menunjukkan rasa bersalah aku sekarang? Karena memang aku tidak bersalah sama sekali. Aku tidak menamparnya. Lagian, aku juga tidak tahu hal sepele apa yang membuat aku harus menampar dia."

"Karena dia bilang kamu ceroboh sampai bisa mengacaukan rencana besar keluarga Hartono, kamu marah sampai menampar dia. Apa itu tidak termasuk kesalahan yang kamu buat, Maria."

"Oh, karena itu? Paman Bimo, biar aku jelaskan dengan detail apa yang telah terjadi. Tolong dengarkan baik-baik apa yang aku katakan."

"Pertama, aku tidak ada berdebat dengan dia. Apalagi sampai harus marah hanya karena kata-kata yang dia ucapkan. Yang kedua, aku tidak menampar dia. Lagipula, jika aku menamparnya, bukan pipi yang kanan yang akan memerah, tapi pipi kiri. Karena aku tidak kidal paman. Aku pasti akan menggunakan tangan kanan jika menampar anakmu itu."

Sontak saja, ibu dan anak itu jadi kaget bukan kepalang. Mereka yang saling berpelukan, akhirnya bagun dengan cepat sambil melepaskan pelukan mereka.

"Pa, dia bohong. Dia yang telah menampar aku, Pa. Lagian, mana papa tahu kalau dia bisa kiri kanan. Namanya juga mukul orang."

"Ah, benarkah? Apakah kamu butuh contoh? Jika iya, mari kita coba."

"Tapi sebelum itu, bisakah aku ingatkan satu hal dulu? Yang kidal di rumah ini, bibi Tantri bukan? Sedangkan aku, tidak."

Mendengar hal itu, wajah Tantri memerah akibat takut.

"Ap--apa yang kamu katakan, Maria? Jangan ... bicara sembarangan kamu. Tidak mungkin aku yang menampar anakku sendiri. Itu mustahil."

Tantri bicara dengan nada gelagapan karena takut. Sementara Bimo, dia yang sedari tadi diam, kini bangun dari duduknya.

"Sandiwara apa yang telah kalian mainkan sekarang, ha? Kenapa kalian berani membuat aku sangat pusing dengan ulah kalian semua."

"Papa, kami tidak bersandiwara. Kenapa papa malah mempercayai Maria dari pada kami. Yang bohong itu Maria, Pa. Bukan kami."

"Iya, Mas. Kenapa kamu malah terpengaruh dengan kata-kata yang Maria ucapkan? Dia bohong, Mas."

"Diam! Kalian sudah bikin aku yang lelah di kantor, semakin lelah di rumah. Jangan bicara lagi atau aku akan bikin kalian menyesal."

"Untuk kamu Maria. Lupakan saja apa yang baru saja terjadi di sini. Kita adalah satu keluarga. Jadi tidak perlu memperbesar masalah, bukan?"

"Apakah itu adil untukku paman?"

"Apa maksud kamu?"

"Tidak ada. Aku hanya merasa itu sangat tidak adil buat aku, paman. Karena biasanya, jika aku yang salah, maka aku akan dapat hukuman. Tapi saat bibi dan Tiara yang terbukti bersalah, paman sama sekali tidak menghukum mereka. Bukankah itu sangat tidak adil buat aku?"

Terpopuler

Comments

Aqiyu

Aqiyu

bagus Lila

2022-09-27

3

Ida Blado

Ida Blado

kenapa gk di usir aja

2022-08-13

2

Hasan

Hasan

👍👍👍👍👍

2022-08-02

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!